Tuesday, January 1, 2013

Menorehkan 'Finishing Well' Pada Sejarah

 
Sudah beberapa minggu ini pikiran saya terganggu oleh dua kata. Entah apa hebatnya dua kata itu, dan entah mengapa seolah dua kata itu begitu powerful sampai membuat saya terus-menerus memikirkannya. Yang jelas dua kata itu menggelisahkan saya. Dua kata itu tidak lain adalah: Finishing well.
Kata-kata “Finishing well” ini sudah sering saya dengar, tetapi hanya sebentar saja singgah di otak saya, dan setelah beberapa waktu kemudian ia pergi lagi. Lama tidak pernah memikirkannya, tahu-tahu dua kata ini mampir lagi di pikiran saya. Semua ini gara-gara berita menghebohkan di Amerika Serikat baru-baru ini, yang dengan cepat lantas menyebar ke seluruh penjuru dunia termasuk ke Indonesia.
Suatu pagi tanggal 11 November, saya membaca surat kabar langganan saya, The Jakarta Post, dan terkejut menemukan berita di halaman depan berjudul “Admitting to affair, Petraeus resigns as CIA chief”. Yang ditulis di berita itu tidak lain adalah David Petraeus, seorang Jenderal Angkatan Darat Amerika Serikat yang sangat disegani dan saat itu bertugas sebagai Direktur Central Intelligence Agency (CIA) sejak 6 September 2011.

Petraeus adalah seorang bintang yang sangat bersinar. Karir militernya sungguh mempesona dengan sukses demi sukses yang diraihnya mulai dari bawah ketika baru lulus dari Akademi Militer West Point tahun 1974, kemudian menyelesaikan tugas demi tugas kemiliteran dengan gemilang. Segudang jabatan prestise pernah disandangnya. Sebelum pensiun sebagai tentara pada 31 Agustus 2011, ia menjabat sebagai komandan International Security Assistance Force (ISAF), komandan U.S Forces Afghanistan (USFOR-A), komandan U.S Central Command (USCENTCOM), dan komandan Multi National Force-Iraq (MNF-I) yang memimpin pasukan koalisi di Irak. Sebagai komandan MNF-I di Irak, ia memimpin seluruh pasukan dari negara-negara lain untuk menggulingkan Saddam Hussein.
Membaca Curriculum Vitae dari Jenderal David Petraeus akan membawa decak kagum, tetapi sekaligus capek karena saking panjangnya deretan medali dan penghargaan yang diterimanya. Ia bukan hanya brilliant dalam soal kemiliteran, tetapi juga smart dalam soal akademik. Ia adalah PhD International Relations dari Woodrow Wilson School of Public and International Affairs dari Universitas Princeton. Pada tahun 2007, Majalah TIME menobatkan Petraeus sebagai 100 pemimpin paling berpengaruh di dunia. Pada tahun yang sama The Daily Telegraph juga menobatkannya sebagai “Man of The Year”.

Sewaktu namanya sangat masyhur dalam tugasnya di medan perang Afghanistan dan Irak, David Petraeus dijuluki sebagai “King David” mungkin untuk menyejajarkan dirinya dengan Raja Daud di Alkitab karena selalu menang perang ke manapun ia ditugaskan. Iapun sempat disebut-sebut sebagai kandidat potensial presiden Amerika Serikat setelah era Barack Obama.
Tetapi apa mau dikata, ia tersandung affair dengan seorang wanita bernama Paula Broadwell, seorang penulis, akademisi dan juga anggota tentara cadangan Amerika (United States Army Reserve) yang menulis biografinya berjudul “All In: The Education of General David Petraeus”. Menulis biografi berarti menguak seluruh kehidupan seseorang dari segala sisi, hingga mungkin hal itu yang membuat Broadwell jadi semakin terkagum-kagum kepada Sang Jenderal. Di pihak lain, Sang Jenderal menjadi mabuk oleh pujian dan sanjungan sehingga ia tidak sadar bahwa pisau telah menempel tepat di lehernya.

Kisah jatuhnya Petraeus ini begitu remeh dan sederhana, bahwa seorang Jenderal yang sangat dihormati dunia karena selalu sukses menaklukkan musuh dengan strategi perangnya ternyata dapat ditaklukkan oleh buaian seorang wanita yang lebih muda 22 tahun dari umurnya. Kisah tersebut seolah mengulangi sejarah. Orang yang menjuluki Petraeus dengan “King David” pasti tidak mengharapkan ia tersandung seperti Raja Daud tersandung Batsyeba. Tetapi sejarah telah mencatat, Daud yang kemanapun selalu menang perang tak sanggup memenangkan keinginan matanya untuk melihat perempuan sedang mandi. Simson yang gagah perkasa - yang begitu mudah merobek mulut singa dengan tangan kosong - ternyata tidak mampu melawan manisnya rayuan Delila. Dan Salomo yang menjadi orang paling bijaksana sepanjang masa – yang menulis amsal penuh kata-kata nasihat bijaksana – juga tak bisa berbuat apa-apa ketika seribu istri mengurungnya dan membuat pikirannya “corrupted”. Ia melupakan Allahnya dan menyembah setan. Betapa sejarah selalu berulang seperti kata Karl Marx: “History repeats itself, first as tragedy, second as farce.
Ketika skandal Petraeus terbongkar, ia langsung mengirim surat pengundurkan diri sebagai Direktur CIA kepada Presiden Barack Obama. Dalam pernyataannya tertanggal 9 November itu ia menulis: “Yesterday afternoon, I went to the White House and asked the President to be allowed, for personal reasons, to resign from my position as D/CIA. After being married for over 37 years, I showed extremely poor judgment by engaging in an extramarital affair. Such behavior is unacceptable, both as a husband and as the leader of an organization such as ours. This afternoon, the President graciously accepted my resignation.

Ketersandungan David Petraeus membawa rasa “gelo” ke dalam hati saya (gelo dalam bahasa Jawa kurang lebih adalah kecewa tapi rasa gelo itu lebih getir daripada sekedar kecewa), padahal apa urusan Petraeus dengan saya karena kenalpun tidak? Tetapi setiap manusia selalu punya idola, bukan? Bayangkan apa yang telah ditorehkan oleh sang idola sepanjang hidupnya, lalu tiba-tiba ada bagian yang rusak. Bayangkan jika kita adalah penggemar fanatik sepak bola, dan team favorit kita sedang berlaga. Bayangkan Petraeus seolah Steven Gerrard yang sedang menggiring bola, berlari kencang dan meliuk-liukkan badannya melewati tiga-empat-lima pemain lawan, dan tinggal berdiri satu lawan satu di depan penjaga gawang. Tinggal satu sontekan saja bola itu langsung melesat lurus untuk menggetarkan jala gawang lawan. Tapi ahhh…tiba-tiba ia terjatuh! Tidakkah kita akan memukul meja di depan kita sambil berteriak?
Dan entah mengapa, sejak dulu saya selalu mengidolakan figur-figur militer Amerika, terutama mereka yang memimpin perang melawan penguasa angkara murka, diktator, yang sepak-terjangnya bisa saya ikuti pada masa-masa saya sudah mampu berlangganan koran dan punya banyak waktu menonton TV.

Di masa perang Teluk Persia tahun 1990, ketika Amerika mengusir Irak dari Kuwait, saya mengidolakan Jenderal Norman Schwarzkopf, panglima pasukan koalisi (yang perannya mirip dengan apa yang dilakukan oleh David Petraeus sekarang). Di masa yang sama itu, Jenderal Colin Powell yang menjadi Chairman of Joint Chiefs of Staffs yang men-supervisi perang Teluk Persia juga saya idolakan hingga kemudian ia terjun ke politik dan menjadi Secretary of State (Menteri Luar Negeri) Amerika Serikat di masa Presiden George W Bush. Colin Powell adalah orang pertama dan satu-satunya (hingga saat ini) keturunan Afrika-Amerika yang menduduki jabatan tinggi itu.
Saya merenung dalam kegelisahan. Jika mereka yang sudah terlatih dalam perang seperti Petraeus, diurapi Tuhan sejak dalam kandungan seperti Simson, dipilih Tuhan menjadi raja seperti Daud, dianugerahi hikmat bijaksana seperti Salomo, lalu pada menjelang akhir periode hidupnya jatuh terhempas, tidakkah kita sebagai manusia yang biasa-biasa saja ini menjadi “miris”? Lalu timbullah pertanyaan di benak kita, apakah mereka yang luar biasa itu tidak bisa berpikir jernih dan lebih berhati-hati dalam setiap tindakan yang diambil padahal tahu persis setiap konsekuensi dari setiap perbuatannya?

Maka tidak heran jika saya - walaupun sama sekali tidak mengenal mereka - merasa “gelo” karena Curriculum Vitae mereka yang fantastis itu kemudian ternoda oleh satu bagian kelam dalam hidup mereka. Ketika membaca Alkitab pun, ingin rasanya saya melewatkan bagian itu karena tidak rela ada “cacat” merusak wajah idola saya, sebab “cacat” itu menjadi scarlet yang takkan mungkin bisa terhapus walaupun dikelantang dengan obat pemutih kualitas nomor satu.

Jadi haruskah kita pesimis?
Bisakah kita menutup episode akhir dalam hidup kita dengan baik? Dua kata “finishing well” memang menjadi sebuah tantangan bagi kita, karena sehebat apapun rekam jejak kita saat ini tidak akan ada artinya lagi jika langkah terakhir kita bersaksi sebaliknya.

Sebagai orang Kristen, kita justru lebih berat karena harus memainkan dua peran, satu di dunia kerja kita dan lainnya di dunia pelayanan kita sebagai hamba Allah, dan kedua-duanya harus berakhir dengan “finishing well”. Tidak peduli sesukses apapun prestasi kita di dunia kerja, jika dalam penugasan kita sebagai orang-orang yang melayani Tuhan kita tidak sampai menyelesaikannya dengan baik, maka kita adalah orang-orang yang gagal. Jangan dikira bahwa kegagalan itu hanya seputar soal-soal affair (selingkuh) atau korupsi saja misalnya, sebab sebagai orang yang dipilih Allah menjadi hamba-Nya, mundur dari pelayanan karena kecewa dengan seseorang pun sudah tidak bisa dikatakan “finishing well”.
Ada nasihat orang bijak mengatakan, Tuhan tidak menginginkan kita untuk sukses, tetapi taat. Maka saya teringat bahwa satu-satunya tokoh yang berani mengatakan “sudah selesai” tidak lain adalah Yesus sendiri. Ketika Ia sedang bergumul di Taman Getsemani, dan memohon kepada Bapa agar cawan itu lalu daripada-Nya, hanya ketaatan yang memenangkan-Nya. Demikianlah Ia naik ke kayu salib dan akhirnya mengatakan: “Sudah selesai…

Ibarat seorang pelari halang-rintang, David Petraeus sudah menyelesaikan seluruh putaran tetapi sayangnya tidak berhasil melewati palang rintang terakhir. Tidak seperti pendahulunya, Norman Schwarzkopf, atau Colin Powell, yang sampai hari ini namanya tetap harum dan dikenang sebagai orang-orang yang telah menyelesaikan tugasnya dengan baik. Rasul Paulus juga sama. Ia menutup buku sejarah hidupnya dengan manis ketika mengatakan:Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman.” (2 Tim 4:7)
Kita memang tidak perlu menjadi seperti Schwarzkopf atau Powell, karena masing-masing kita mempunyai peran sendiri-sendiri. Bukan perbuatan besar, strategi yang brilliant atau kesuksesan yang fantastis, melainkan ketaatan yang menjadi kata kunci untuk bisa finishing well. Tapi andaikan kita pernah tersandung, Tuhan tetap menjadi sahabat orang-orang gagal jika kita mau kembali kepada-Nya – walaupun disayangkan bahwa scarlet itu sudah tertoreh pada nama kita dan tetap tercatat dalam sejarah.

***
Leadership is a potent combination of strategy and character. But if you must be without one, be without the strategy. (Norman Schwarzkopf)

Serpong, Dec 2012
Titus J.

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...