Kata-kata
“Finishing well” ini sudah sering saya dengar, tetapi hanya sebentar saja
singgah di otak saya, dan setelah beberapa waktu kemudian ia pergi lagi. Lama
tidak pernah memikirkannya, tahu-tahu dua kata ini mampir lagi di pikiran saya.
Semua ini gara-gara berita menghebohkan di Amerika Serikat baru-baru ini, yang
dengan cepat lantas menyebar ke seluruh penjuru dunia termasuk ke Indonesia.
Suatu pagi
tanggal 11 November, saya membaca surat kabar langganan saya, The Jakarta Post, dan terkejut menemukan
berita di halaman depan berjudul “Admitting
to affair, Petraeus resigns as CIA chief”. Yang ditulis di berita itu tidak
lain adalah David Petraeus, seorang Jenderal Angkatan Darat Amerika Serikat
yang sangat disegani dan saat itu bertugas sebagai Direktur Central
Intelligence Agency (CIA) sejak 6 September 2011.
Petraeus
adalah seorang bintang yang sangat bersinar. Karir militernya sungguh mempesona
dengan sukses demi sukses yang diraihnya mulai dari bawah ketika baru lulus
dari Akademi Militer West Point tahun 1974, kemudian menyelesaikan tugas demi
tugas kemiliteran dengan gemilang. Segudang jabatan prestise pernah
disandangnya. Sebelum pensiun sebagai tentara pada 31 Agustus 2011, ia menjabat
sebagai komandan International Security Assistance Force (ISAF), komandan U.S
Forces Afghanistan (USFOR-A), komandan U.S Central Command (USCENTCOM), dan
komandan Multi National Force-Iraq (MNF-I) yang memimpin pasukan koalisi di
Irak. Sebagai komandan MNF-I di Irak, ia memimpin seluruh pasukan dari
negara-negara lain untuk menggulingkan Saddam Hussein.
Membaca
Curriculum Vitae dari Jenderal David Petraeus akan membawa decak kagum, tetapi
sekaligus capek karena saking panjangnya deretan medali dan penghargaan yang
diterimanya. Ia bukan hanya brilliant
dalam soal kemiliteran, tetapi juga smart
dalam soal akademik. Ia adalah PhD International Relations dari Woodrow Wilson
School of Public and International Affairs dari Universitas Princeton. Pada
tahun 2007, Majalah TIME menobatkan Petraeus sebagai 100 pemimpin paling
berpengaruh di dunia. Pada tahun yang sama The
Daily Telegraph juga menobatkannya sebagai “Man of The Year”.
Sewaktu
namanya sangat masyhur dalam tugasnya di medan perang Afghanistan dan Irak, David
Petraeus dijuluki sebagai “King David” mungkin untuk menyejajarkan dirinya
dengan Raja Daud di Alkitab karena selalu menang perang ke manapun ia
ditugaskan. Iapun sempat disebut-sebut sebagai kandidat potensial presiden
Amerika Serikat setelah era Barack Obama.
Tetapi apa
mau dikata, ia tersandung affair
dengan seorang wanita bernama Paula Broadwell, seorang penulis, akademisi dan
juga anggota tentara cadangan Amerika (United States Army Reserve) yang menulis
biografinya berjudul “All In: The Education of General David Petraeus”. Menulis
biografi berarti menguak seluruh kehidupan seseorang dari segala sisi, hingga
mungkin hal itu yang membuat Broadwell jadi semakin terkagum-kagum kepada Sang
Jenderal. Di pihak lain, Sang Jenderal menjadi mabuk oleh pujian dan sanjungan
sehingga ia tidak sadar bahwa pisau telah menempel tepat di lehernya.
Kisah
jatuhnya Petraeus ini begitu remeh dan sederhana, bahwa seorang Jenderal yang
sangat dihormati dunia karena selalu sukses menaklukkan musuh dengan strategi
perangnya ternyata dapat ditaklukkan oleh buaian seorang wanita yang lebih muda
22 tahun dari umurnya. Kisah tersebut seolah mengulangi sejarah. Orang yang
menjuluki Petraeus dengan “King David” pasti tidak mengharapkan ia tersandung
seperti Raja Daud tersandung Batsyeba. Tetapi sejarah telah mencatat, Daud yang
kemanapun selalu menang perang tak sanggup memenangkan keinginan matanya untuk melihat
perempuan sedang mandi. Simson yang gagah perkasa - yang begitu mudah merobek
mulut singa dengan tangan kosong - ternyata tidak mampu melawan manisnya rayuan
Delila. Dan Salomo yang menjadi orang paling bijaksana sepanjang masa – yang
menulis amsal penuh kata-kata nasihat bijaksana – juga tak bisa berbuat apa-apa
ketika seribu istri mengurungnya dan membuat pikirannya “corrupted”. Ia
melupakan Allahnya dan menyembah setan. Betapa sejarah selalu berulang seperti
kata Karl Marx: “History repeats itself, first as tragedy, second as farce.”
Ketika
skandal Petraeus terbongkar, ia langsung mengirim surat pengundurkan diri
sebagai Direktur CIA kepada Presiden Barack Obama. Dalam pernyataannya
tertanggal 9 November itu ia menulis: “Yesterday
afternoon, I went to the White House and asked the President to be allowed, for
personal reasons, to resign from my position as D/CIA. After being married for
over 37 years, I showed extremely poor judgment by engaging in an extramarital
affair. Such behavior is unacceptable, both as a husband and as the leader of
an organization such as ours. This afternoon, the President graciously accepted
my resignation.”
Ketersandungan
David Petraeus membawa rasa “gelo” ke dalam hati saya (gelo dalam bahasa Jawa kurang lebih adalah kecewa tapi rasa gelo itu lebih getir daripada sekedar
kecewa), padahal apa urusan Petraeus dengan saya karena kenalpun tidak? Tetapi
setiap manusia selalu punya idola, bukan? Bayangkan apa yang telah ditorehkan
oleh sang idola sepanjang hidupnya, lalu tiba-tiba ada bagian yang rusak.
Bayangkan jika kita adalah penggemar fanatik sepak bola, dan team favorit kita
sedang berlaga. Bayangkan Petraeus seolah Steven Gerrard yang sedang menggiring
bola, berlari kencang dan meliuk-liukkan badannya melewati tiga-empat-lima
pemain lawan, dan tinggal berdiri satu lawan satu di depan penjaga gawang. Tinggal
satu sontekan saja bola itu langsung melesat lurus untuk menggetarkan jala
gawang lawan. Tapi ahhh…tiba-tiba ia terjatuh! Tidakkah kita akan memukul meja
di depan kita sambil berteriak?
Dan entah
mengapa, sejak dulu saya selalu mengidolakan figur-figur militer Amerika,
terutama mereka yang memimpin perang melawan penguasa angkara murka, diktator,
yang sepak-terjangnya bisa saya ikuti pada masa-masa saya sudah mampu
berlangganan koran dan punya banyak waktu menonton TV.
Di masa
perang Teluk Persia tahun 1990, ketika Amerika mengusir Irak dari Kuwait, saya
mengidolakan Jenderal Norman Schwarzkopf, panglima pasukan koalisi (yang
perannya mirip dengan apa yang dilakukan oleh David Petraeus sekarang). Di masa
yang sama itu, Jenderal Colin Powell yang menjadi Chairman of Joint Chiefs of Staffs yang men-supervisi perang Teluk
Persia juga saya idolakan hingga kemudian ia terjun ke politik dan menjadi
Secretary of State (Menteri Luar Negeri) Amerika Serikat di masa Presiden
George W Bush. Colin Powell adalah orang pertama dan satu-satunya (hingga saat
ini) keturunan Afrika-Amerika yang menduduki jabatan tinggi itu.
Saya merenung
dalam kegelisahan. Jika mereka yang sudah terlatih dalam perang seperti
Petraeus, diurapi Tuhan sejak dalam kandungan seperti Simson, dipilih Tuhan
menjadi raja seperti Daud, dianugerahi hikmat bijaksana seperti Salomo, lalu
pada menjelang akhir periode hidupnya jatuh terhempas, tidakkah kita sebagai
manusia yang biasa-biasa saja ini menjadi “miris”? Lalu timbullah pertanyaan di
benak kita, apakah mereka yang luar biasa itu tidak bisa berpikir jernih dan
lebih berhati-hati dalam setiap tindakan yang diambil padahal tahu persis
setiap konsekuensi dari setiap perbuatannya?
Maka tidak
heran jika saya - walaupun sama sekali tidak mengenal mereka - merasa “gelo”
karena Curriculum Vitae mereka yang fantastis itu kemudian ternoda oleh satu
bagian kelam dalam hidup mereka. Ketika membaca Alkitab pun, ingin rasanya saya
melewatkan bagian itu karena tidak rela ada “cacat” merusak wajah idola saya,
sebab “cacat” itu menjadi scarlet
yang takkan mungkin bisa terhapus walaupun dikelantang dengan obat pemutih
kualitas nomor satu.
Jadi haruskah
kita pesimis?
Bisakah kita
menutup episode akhir dalam hidup kita dengan baik? Dua kata “finishing well”
memang menjadi sebuah tantangan bagi kita, karena sehebat apapun rekam jejak
kita saat ini tidak akan ada artinya lagi jika langkah terakhir kita bersaksi
sebaliknya.
Sebagai orang
Kristen, kita justru lebih berat karena harus memainkan dua peran, satu di
dunia kerja kita dan lainnya di dunia pelayanan kita sebagai hamba Allah, dan
kedua-duanya harus berakhir dengan “finishing well”. Tidak peduli sesukses
apapun prestasi kita di dunia kerja, jika dalam penugasan kita sebagai
orang-orang yang melayani Tuhan kita tidak sampai menyelesaikannya dengan baik,
maka kita adalah orang-orang yang gagal. Jangan dikira bahwa kegagalan itu
hanya seputar soal-soal affair
(selingkuh) atau korupsi saja misalnya, sebab sebagai orang yang dipilih Allah
menjadi hamba-Nya, mundur dari pelayanan karena kecewa dengan seseorang pun
sudah tidak bisa dikatakan “finishing well”.
Ada nasihat
orang bijak mengatakan, Tuhan tidak menginginkan kita untuk sukses, tetapi
taat. Maka saya teringat bahwa satu-satunya tokoh yang berani mengatakan “sudah
selesai” tidak lain adalah Yesus sendiri. Ketika Ia sedang bergumul di Taman
Getsemani, dan memohon kepada Bapa agar cawan itu lalu daripada-Nya, hanya
ketaatan yang memenangkan-Nya. Demikianlah Ia naik ke kayu salib dan akhirnya mengatakan:
“Sudah selesai…”
Ibarat
seorang pelari halang-rintang, David Petraeus sudah menyelesaikan seluruh
putaran tetapi sayangnya tidak berhasil melewati palang rintang terakhir. Tidak
seperti pendahulunya, Norman Schwarzkopf, atau Colin Powell, yang sampai hari
ini namanya tetap harum dan dikenang sebagai orang-orang yang telah
menyelesaikan tugasnya dengan baik. Rasul Paulus juga sama. Ia menutup buku
sejarah hidupnya dengan manis ketika mengatakan: “Aku telah mengakhiri pertandingan
yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman.”
(2 Tim 4:7)
Kita memang
tidak perlu menjadi seperti Schwarzkopf atau Powell, karena masing-masing kita
mempunyai peran sendiri-sendiri. Bukan perbuatan besar, strategi yang brilliant atau kesuksesan yang
fantastis, melainkan ketaatan yang menjadi kata kunci untuk bisa finishing well. Tapi andaikan kita pernah
tersandung, Tuhan tetap menjadi sahabat orang-orang gagal jika kita mau kembali
kepada-Nya – walaupun disayangkan bahwa scarlet
itu sudah tertoreh pada nama kita dan tetap tercatat dalam sejarah.
***
Leadership is a potent combination of strategy and character. But
if you must be without one, be without the strategy. (Norman Schwarzkopf)Serpong, Dec 2012
Titus J.