Thursday, April 18, 2019

Satu Menit Terakhir


**Renungan Jumat Agung**

Sudah beberapa malam ini ia tak dapat memejamkan matanya dengan lelap. Tengah malam ia terjaga dan selalu mendengar suara lolongan anjing sayup-sayup di kejauhan. Suara itu terbawa angin malam menerobos jeruji besi tempat ia dan beberapa penjahat kelas kakap dikurung.

Ia melihat kakinya, terbelenggu oleh rantai besi karatan. Kedua kakinya yang dingin oleh rantai besi itu makin terasa dingin. Suara lolongan anjing itu membuat malam makin mencekam. Sebuah lampu minyak tergantung di dinding sebelah luar selnya dan menyinarkan cahaya kekuningan, lalu hinggap pada wajah-wajah di sebelahnya yang lelap tertidur.

Di luar selnya dua orang tentara Romawi berdiri tegap. Pergantian shift jaga baru selesai dilakukan. Ia mendengar dua penjaga itu bercakap-cakap. Di antara sunyinya malam, suara percakapan itu sangat jelas tertangkap oleh telinganya. Walaupun tak sepenuhnya mengerti percakapan dalam bahasa Latin itu, ia yakin kedua penjaga itu sedang membicarakan soal eksekusi mati.

Eksekusi mati. Kali ini giliran siapakah yang akan digantung di kayu salib? Demikian ia berpikir. Ia menghitung jumlah kepala yang sedang tertidur nyenyak di samping kiri-kanannya. Masih ada sepuluh kepala. Biasanya eksekusi akan dilakukan tiga demi tiga. Acak. Apakah kali ini ia termasuk salah satu dari tiga yang akan diambil oleh penjaga itu?

Ah, walau bagaimanapun ia harus menghadapinya, sekarang atau nanti. Sebagai penjahat kelas kakap, ia sudah menghitung semua risiko. Itulah sebabnya dari semula ia hanya mau menjadi penjahat kelas kakap, bukan kelas teri, bukan penjahat tanggung. Jika kelak ia tertangkap dan divonis mati, ia ingin dikenang sebagai penjahat besar, demikian ia berpikir. 

Sebelumnya sudah banyak rekan selnya yang telah terlebih dahulu diambil oleh tentara Romawi dan digiring menuju sebuah bukit. Disanalah kabarnya eksekusi mati itu dilakukan. Dari bisik-bisik rekan yang masih tersisa, ia hanya menangkap pesan kengerian, sebuah kengerian tiada tara dari tiang gantungan tempat memakukan tubuh para penjahat besar. Ya, memang salib hanya untuk mencabut nyawa para penjahat besar.

Tetapi baginya pesan kengerian itu ia terima sebagai bentuk konsekuensi. Ia tak kan pernah memohon belas kasihan kepada tentara Romawi sebab kekejaman mereka tidak pernah luntur oleh tangisan siapapun. Ia pun tak akan berpesan kepada siapapun untuk menguburkan mayatnya. Ia tak peduli, apakah jasadnya nanti akan menjadi santapan burung nazar ataukah membusuk sendiri di tiang gantungan. Ia tak peduli. 

Predikatnya yang akan dikenang oleh masyarakat sebagai penjahat besar adalah hal terpenting baginya. Bukankah selama hidup yang dijalaninya ia telah banyak menumpahkan darah? Ia merasa hidupnya baru berguna setelah berhasil melenyapkan nyawa orang. Jadi jika sekarang nyawanya harus melayang di tiang gantungan, ia akan berlaku sebagai seorang ksatria. Ia merasa dosanya yang berjibun itu takkan terampunkan. 

Tetapi aneh. Malam itu perasaannya berbeda setelah ia mendengar kedua penjaga itu menyebut nama seseorang dalam percakapannya. Ia mendengar kata 'Orang Nazaret" diucapkan beberapa kali. Entahlah, mendengar kata itu disebut membuat hatinya berdesir. Ia yakin yang dimaksud 'Orang Nazaret' itu adalah Yesus, seorang yang dipanggil Guru dan Nabi oleh orang banyak.

Walaupun ia sedang berada di dalam penjara, angin yang berhembus tetap mengabarkan berita tentang apa saja yang terjadi di luar tembok penjara. Mendengar orang membicarakan Yesus dan segala sesuatu yang dilakukan-Nya, ia tertawa puas dalam hatinya, terutama jika yang ia dengar adalah cerita tentang Yesus yang sedang mendamprat ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Sudah lama ia merasa muak dengan sikap mereka yang berjualan agama demi keuntungan mereka sendiri, mengelabui rakyat dengan doa-doa yang panjang, dan menghakimi orang dengan ayat-ayat kitab suci.

Tetapi terkadang ia juga terharu, ketika ia mendengar kabar tentang orang-orang sakit yang disembuhkan oleh Yesus, bahkan seorang yang sudah empat hari dalam kubur dibangkitkan-Nya di sebuah kampung di Betania. Ia suka lekas-lekas mengusap matanya jika ia rasakan matanya berair, khawatir rekan-rekan seselnya melihatnya dan menganggapnya cengeng. Ia adalah penjahat besar, airmata adalah bentuk kelemahan. 

Dari percakapan dua penjaga itu ia mendengar, sepertinya Yesus Orang Nazaret itu sedang diincar oleh Imam Besar Kayafas, dan salah satu penjaga itu meyakinkan temannya bahwa sepasukan tentara akan menangkap Yesus malam ini atas permintaan dari Imam Besar Kayafas. Rekan-rekan mereka lengkap dengan senjata perangnya sudah berangkat menuju ke sebuah taman di pinggiran kota untuk sebuah penyergapan.

Hatinya seakan tak yakin bahwa Yesus akan ditangkap. Untuk tuduhan apa? Selama ini kabar yang ia terima dari balik jeruji besi tentang Yesus adalah bahwa Ia tidak pernah melanggar hukum Romawi. Ia hanya berjalan keliling dan mengajar, bahkan di tengah-tengah perjalanan-Nya Ia banyak menolong orang.
.
Apapun itu, baginya sosok Yesus adalah istimewa. Ia yakin Yesus bukan manusia biasa. Bagaimana mungkin seseorang bisa melakukan banyak tanda dan mukjizat jika bukan datang dari Allah? Tetapi ia memang pernah mendengar bahwa imam-imam dan ahli-ahli Taurat itu membenci Yesus karena iri hati. Entah darimana asalnya tiba-tiba ia mulai bersimpati dengan Yesus.

Malam itu hatinya terus berdebar. Ia memang seorang penjahat kelas kakap, tetapi mendengar rencana penangkapan Yesus Orang Benar itu hatinya terasa terusik. Ia tak dapat memejamkan matanya semalam-malaman. 

Keesokan harinya menjelang siang, pintu selnya dibuka oleh dua penjaga Romawi. Salah satu dari penjaga itu menunjuk dirinya dan seorang rekannya. Mereka digelandang dengan kaki yang masih terikat rantai besi. Hatinya berbisik, mereka berdualah yang diambil secara acak untuk dieksekusi. Ia berjalan mengikuti dua tentara Romawi di depannya. "Tetapi mengapa hanya dua?" pikirnya. Dimana penjahat yang satu lagi?

Mereka sampai di sebuah tempat. Ketika tentara Romawi itu memaksa mereka untuk memikul salib, rekannya terus mengaduh dan tak berhenti mengumpat. 

Di sebuah bukit penuh kerumunan massa mereka berhenti. Sejarak sepelempar batu di depan mereka, ia melihat Seorang mulai ditelentangkan di atas palang kayu itu. Beberapa perempuan menangis memandangi dari jarak sepuluhan meter. Orang itu berlumuran darah di sekujur tubuh-Nya, dan pada kepala-Nya mengucur darah segar akibat belukar berduri yang tertancap di kepala-Nya. Saat itulah ia tahu, pasti Orang itu adalah Yesus.

Sejurus kemudian ia dan rekannya ditelentangkan di atas palang kayu yang tadi dipikulnya. Ketika paku itu menancap di tangan dan kaki mereka, mereka berteriak sekeras-kerasnya dalam kesakitan. Ia mendengar rekannya kembali mengumpat dan menyerapah.

Dalam sakitnya yang tak tertahankan, ia melirik ke arah Yesus. Rekannya berteriak, "Heh! Jika Engkau Anak Allah, turunlah dari kayu salib itu. Selamatkan Diri-Mu dan kami!" Mendengar perkataan rekannya itu ia tergeragap. Tiba-tiba hatinya terbakar oleh kemarahan karena ucapan rekannya itu. Di antara nafasnya yang hampir putus, ia berkata sekuatnya, "Tak takutkah engkau kepada Allah? Kau dan aku memang layak digantung seperti ini karena kesalahan kita…ughhh…hhh…,” ia berhenti dengan nafas tersengal-sengal. “Tet..tetapi.. Dia ini.. hhh.. Ia tak melakukan kesalahan apapun, argghhh…” Ia menguatkan nafasnya yang nyaris putus, lalu berpaling menatap Yesus. “Yesus…, hhh.., ingatlahhh aku…ugh…hhh.. jika Engkau kelak datang… hhh.. sebagai… Raj…Raja, arghhhh…,” bisiknya dengan kekuatan terakhir.

Yesus menatapnya. Dengan memicingkan matanya karena bengkak dan penuh darah, Ia berkata, “Ughhh…hhh…hari ini juga engkau... hhh... akan bersama dengan Aku di Firdaus…hhhh…”

Penjahat kelas kakap itu tertunduk, nyawanya lepas menuju Firdaus.

Pada satu menit terakhir itu ia mengalami keagungan kasih-Nya, tanpa upaya dan perbuatan apa-apa, hanya oleh anugerah-Nya.

"Dan dalam matinya ia ada di antara penjahat-penjahat, sekalipun ia tidak berbuat kekerasan dan tipu tidak ada dalam mulutnya." (Yesaya 53:9)

***
Serpong, 18 Apr 2019
Titus J.

No comments:

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...