Friday, November 11, 2022

Bisakah Aku Mencintai-Mu, Tuhan?

“Oh God, I don’t love you, I don’t even want to love you, but I want to want to love you.” --Teresa of Avila

 

Tidak mudah untuk menolak cinta, ternyata.

Apalagi yang menyatakan cinta adalah Tuhan.

Banyak orang menghindari cinta Tuhan, menolak untuk mencintai Tuhan, dan tidak ingin mencintai Tuhan, bukan karena mereka orang jahat, tetapi karena cinta Tuhan adalah cinta yang paling sulit untuk dipahami.

Melibatkan diri dalam cinta Tuhan, barangkali bagi mereka, hanya membuang-buang waktu saja, karena toh tidak akan bisa memahaminya.

Bagaimana kita memahami cinta kepada seorang penjahat, penjahat yang selama hidupnya hanya berbuat jahat, tetapi pada satu menit terakhir sebelum ajal, kepadanya justru disediakan Firdaus tanpa perbuatan baik apapun yang pernah dilakukannya?

Bagaimana kita memahami cinta kepada seorang yang brutal dan ganas, yang menjadi penganiaya orang-orang yang berdoa kepada Tuhan, tetapi pada suatu ketika ia malah dipilih menjadi utusan-Nya, menjadi rasul-Nya?

Bagaimana kita memahami cinta kepada seorang pelacur, yang dianggap najis oleh para pemuka agama, yang oleh masyarakat ditempel label “perempuan berdosa”, tetapi justru kepada perempuan ini Ia menyatakan “dosamu sudah diampuni” hanya karena perempuan ini menuang minyak wangi di kaki-Nya dan menyekanya dengan rambutnya?

Dan bagaimana kita memahami cinta yang suatu ketika datang, mengetuk pintu rumah kita, lalu berkata, “Tubuhmu penuh luka, biarkan Aku membalutnya, merawatnya, dan memulihkannya.” Ia datang tanpa kita minta dan harapkan, lalu ketika kita menolak-Nya, Ia justru mengambil luka-luka kita, karena Ia tahu jika luka itu dibiarkan, maka kita akan mati. Lalu Ia mati oleh luka kita itu.

Sungguh sulit untuk menerima kenyataan cinta semacam itu, sehingga banyak orang memilih lebih baik tidak menanggapinya, apalagi membalas mencintai-Nya.

“Tuhan, aku tidak mencintai-Mu. Aku bahkan tidak ingin mencintai-Mu. Tetapi aku ingin mempunyai keinginan untuk mencintai-Mu,” kata Teresa dari Avila.

Keinginan untuk mencintai Tuhan, barangkali sudah lebih dari cukup, bagi orang yang sama sekali tidak pernah mencintai-Nya karena tidak bisa memahami cinta-Nya.

Alkisah, ada sebuah cerita kuno tentang anak durhaka.

Ah, bukan, bukan kisah tentang anak durhaka, tetapi tentang cinta seorang ayah.

Suatu hari, anak itu ingin pergi ke tempat yang jauh untuk bersenang-senang, pelesir, foya-foya. Dan untuk merealisasikan keinginannya, ia perlu sekarung uang. Ia tahu, ayahnya yang kaya raya akan memberi apa yang ia minta. Tetapi ia tidak mau hanya meminta uang secukupnya sebagai ‘sangu’ bepergian, atau sekadar uang untuk membeli tiket, hotel, makan, dan transportasi saja. Kurang banyak. Ia akan meminta warisan yang menjadi haknya.

Anak itu sudah lama menunggu ayahnya keluar dari kamarnya. Karena tak sabar ia pun mengetuk pintu.

"Aku minta warisanku sekarang, Ayah," kata anak itu. Betapa sebuah permintaan yang kurang ajar. Tersirat ia berharap ayahnya untuk lekas berpulang (karena warisan dibagi setelah orang tua meninggal, dengan sebuah wasiat).

Ayahnya hanya membatin dengan nelangsa, dan berpikir bahwa anaknya itu tidak mengerti apa yang ia perbuat. Tetapi karena cintanya maka ia pun masuk ke kamar, membuka brankas, lalu menyerahkan setengah dari kekayaannya kepada anaknya yang menunggu di depan pintu kamarnya dengan mata terbelalak. Setengah dari hartanya disimpan untuk anak satunya lagi.

Tanpa bicara apa-apa anak itu merenggut sekarung uang itu, lalu pergi. Ia menuju kota besar dan mengejar kenikmatan dengan mabuk, berjudi, dan bersenang-senang dengan perempuan, hingga suatu hari ketika ia merogoh karung uangnya, ia hanya menangkap angin. Ia membalik karung itu dan mengibaskannya, tetapi hanya debu yang tersisa.

Di kota yang ramai itu ia pun menggelandang. Usus perutnya yang terbiasa dengan makanan mewah mulai meremas-remas lambungnya. Ia mengemis kepada pemilik peternakan babi, tetapi bahkan ampas yang menjadi sisa makanan babi pun tak boleh ia cicipi untuk meredakan laparnya.

Maka teringatlah ia akan ayahnya, ayahnya yang sabar, ayahnya yang penuh pengertian. Teringatlah ia bagaimana mata ayahnya menatapnya dengan sendu ketika melepasnya pergi. Ia menangis sesenggukan seperti anak kecil. Batinnya bergolak antara pulang atau tidak. Tetapi tatapan mata ayahnya seakan memanggilnya, seperti berbicara, “Ayah tetap mencintaimu, Nak, segembel apapun keadaanmu.”

Di teras rumahnya itu ayahnya setiap hari menunggu.

Jika malam tiba, dan jalanan sudah kosong dan sepi, ayahnya menutup pintu seraya berharap tengah malam ada ketukan pintu. Ia akan melompat dari tempat tidurnya dan bergegas membukanya karena ia akan melihat wajah anaknya lagi. Juga di waktu pagi setelah ia bangun dari tidur, lekas-lekas dibukanya pintu rumahnya lebar-lebar, tanda bahwa hatinya juga begitu lebar untuk menyambut anaknya, bila anaknya pulang nanti.

"Ia tak kan kembali," kata tetangganya di sebelah kiri rumahnya.

“Lupakan saja anakmu, toh ia sudah kurang ajar kepadamu, bukan?” sahut tetangganya di sebelah kanan rumahnya.

“Benar, tidak ada ruginya hilang satu anak durhaka. Anggap saja seperti membuang telor busuk,” teriak tetangganya di seberang rumahnya.

Tetapi ayahnya bergeming. Hingga suatu sore ia melihat seseorang berjalan terseok-seok, berpakaian gembel. Tetapi dari jauh ayahnya sudah mengenalinya. “Tak salah lagi,” pikirnya. Ia melompat kegirangan seperti anak kecil.

Ayah yang sudah tua itu berlari. Ia lupa kasutnya ketinggalan di teras rumahnya. Ia juga lupa bahwa dirinya adalah orang kaya yang terhormat, yang pantang untuk berlari seperti itu karena akan dicibir orang. Tetapi ia tak peduli. Ia hanya ingin berlari karena tidak sabar untuk menjemput anaknya dan menumpahkan kerinduannya.

"Ampunilah aku, Ayah, aku sudah durhaka...," kata anaknya tersedu-sedu.

"Sudahlah, anakku," kata ayahnya sambil memeluknya, tak peduli bau gembel menyengat.

"Aku tak layak menjadi anakmu, Ayah. Aku pulang untuk menjadi orang upahanmu. Itu sudah cukup bagiku," katanya dengan tangis lebih keras.

"Jangan katakan begitu, Nak. Kau tetap anakku apapun keadaanmu," jawab ayahnya sambil menyapu air mata anaknya.

Anak itu seakan tak ingin melepaskan pelukan ayahnya.

"Ambilkan baju baru untuknya," perintah ayahnya kepada hamba-hambanya yang tertegun memandangi. Maka bergegaslah mereka melayani anak itu hingga ia selesai mandi dan berurap. Ayahnya lalu menyiapkan pesta.

Sesaat sebelum rebana ditabuh, ayahnya mengambil cincin termahal lalu mengenakannya pada jari manis anaknya itu.

Dipeluknya anak itu lagi, seakan belum tuntas ia menumpahkan kerinduannya yang sudah menumpuk. Pelukan ayah yang tua itu mengalahkan kedurhakaan. Ia begitu bersukacita, dan kepada siapapun ia selalu mengatakan, “Anakku yang hilang telah kembali, anakku yang mati telah hidup kembali.”

Anaknya yang sudah berdandan, wangi dan mengenakan cincin itu sudah kembali tinggal di rumah ayahnya. Ia kembali menikmati keindahan rumah bersama ayahnya. Ia menikmati cinta ayahnya yang bertimbun-timbun dan tak pernah habis.

Tetapi apakah ia memahami cinta ayahnya?

Bisakah ia membalas cinta ayahnya?

Memang tidak mudah untuk menolak cinta, apalagi yang mencintai adalah Allah. Karena kekuatan cinta-Nya akan terus memanggil-manggil, bahkan semakin kuat memanggil ketika kita semakin berdosa.

“Dan dimana dosa bertambah banyak, disana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah.” (Roma 5:20b)

***

Serpong, Nov 2022

Titus J.

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...