Thursday, March 28, 2024

Pada Semerbaknya Bau Mur

*Renungan Jumat Agung*

Pada malam itu, pada sesi pengambilan keputusan, Yusuf dari Arimatea mengangkat tangannya. Ia melihat sekeliling ruangan. Tak ada tangan lain yang teracung ke atas.

Tidak. Ternyata ia tidak sendiri. Tiba-tiba satu tangan lagi terangkat di barisan sebelah kanan. Dilihatnya tangan Nikodemus tegak lurus ke atas. Saat itulah mereka beradu pandang.

Dalam perdebatan di sidang tadi, Nikodemus mempertanyakan, “Apakah hukum kita menghukum seseorang sebelum didengar keterangannya terlebih dahulu?” Tetapi sanggahan Nikodemus dan Yusuf tertelan oleh berbagai argumen yang dikemukakan kebanyakan anggota sidang yang lebih pro Kayafas.

Yusuf dan Nikodemus masih menunggu dan berharap ada tangan-tangan lain yang terangkat. Ruang sidang sangat lengang sehingga jika ada jarum yang terjatuh akan terdengar oleh setiap telinga.

Detik-detik yang menegangkan itu tidak berlangsung lama, karena Kayafas, pemimpin rapat sidang Sanhedrin itu, kemudian berbicara dengan suara berat, “Dua lawan enam puluh sembilan. Keputusannya Si Penyesat itu harus dihukum mati. Kita akan bawa Dia kepada Pilatus agar aspek legalnya terpenuhi.”

Tak ada interupsi. Hanya suara-suara seperti lebah mendengung di seluruh ruangan.

Lalu Kayafas mengetok palunya.

Para Rabi kemudian bubar dan meninggalkan ruang sidang, kecuali Kayafas dan beberapa orang Rabi saja.

Yusuf mendekati Nikodemus. Ketika keduanya melangkah ke pintu keluar, mereka sempat mendengar Kayafas yang sedang kasak-kusuk dengan beberapa Rabi itu. Lamat-lamat Yusuf dan Nikodemus mendengar kata ‘penyergapan’ dan ‘Getsemani’. Entahlah. Keduanya berjalan dengan perasaan campur-aduk: marah, sedih, dan takut.

Di seberang jalan Yusuf mengucapkan salam kepada Nikodemus lalu mereka berpisah.

Sepanjang perjalanan menuju rumahnya, Yusuf mengingat-ingat lagi semua perkataan Yesus yang pernah didengarnya selama ia mengikuti-Nya. Sudah beberapa bulan terakhir ia menetapkan hatinya untuk menjadi murid-Nya, tetapi secara diam-diam. Dalam situasi seperti itu, memang lebih baik ia tidak terang-terangan, sebab ia tahu hampir semua rekannya sesama anggota Sanhedrin membenci Yesus.

Satu-satunya rekannya yang sepaham dengannya hanya Nikodemus. Dari Nikodemuslah ia mendapat banyak pengajaran penting.

“Guru mengatakan bahwa kita harus dilahirkan kembali untuk melihat Kerajaan Allah,” kata Nikodemus kepadanya setelah percakapannya dengan Yesus di suatu malam.

Lalu Nikodemus berbicara panjang-lebar.

Ia tidak begitu mengerti apa yang Nikodemus paparkan, tetapi ia menangkap kesan bahwa rekannya itu seperti mendapat pencerahan yang ia sendiri tak bisa mengartikannya. Ia pun sama. Di dalam hatinya seperti ada sepercik api yang tiba-tiba meletup yang membuat jiwanya tiba-tiba merasa haus dan lapar. Rasa haus dan lapar itu baru terpuaskan setiap kali ia mendengarkan perkataan-perkataan Yesus.

“Ia bukan manusia biasa,” bisiknya kepada Nikodemus di suatu hari ketika mereka bertemu di bait Allah. Mereka sedang menyimak tanya-jawab antara Yesus dan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, yang di antaranya adalah rekan-rekan Yusuf sendiri.

Tanya-jawab itu begitu serunya. Mereka mencecar Yesus dengan berbagai pertanyaan soal asal-usulNya, sesuatu yang tidak substansial sama sekali.

“Kami tidak dilahirkan dari zinah. Bapa kami satu, yaitu Allah,” kata mereka.

“Jikalau Allah adalah Bapamu, kamu akan mengasihi Aku, sebab Aku keluar dan datang dari Allah. Dan Aku datang bukan atas kehendak-Ku sendiri, melainkan Dialah yang mengutus Aku,” jawab Yesus.

“Kau ini keturunan siapa? Kalau kami.. huh, kami adalah anak-anak Abraham.”

“Jika kamu adalah anak-anak Abraham, kamu akan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang dikerjakan oleh Abraham, dan kamu juga seharusnya bersukacita karena Aku, sebab Abraham bersukacita telah melihat Aku.”

“Hah? Umur-Mu masih semuda ini dan Engkau sudah melihat Abraham?”

“Sebelum Abraham ada, Aku telah ada.”

Gegerlah ruangan bait Allah itu. Kumpulan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi itu hiruk-pikuk. Mereka tak dapat melanjutkan tanya-jawab itu karena emosional. Belum pernah selama ini ada orang yang demikian lugas menjawab para pemuka agama itu. Kebanyakan orang akan ciut nyalinya berhadapan dengan mereka. Jangankan berhadapan, melihat jubah mereka yang panjang saja kebanyakan orang akan gemetar, lebih baik menyingkir, karena jubah panjang mereka yang putih dan berkibar-kibar itu seakan mengejek mereka sebagai orang berdosa.

Para pemuka agama itu keluar dari bait Allah dan mengambil batu.

“Hmm.. orang-orang dungu,” pikir Yusuf. Ia hanya menonton dari jauh. “Kalah argumentasi main batu,” pikirnya lagi sambil berjalan meninggalkan bait Allah.

Beberapa hari kemudian terkejutlah Yusuf. Malam itu ia mendengar kabar bahwa Yesus telah ditangkap di taman Getsemani.

“Tak keliru telingaku ketika mereka kasak-kusuk sehabis sidang waktu itu,” pikir Yusuf.

Ia mengumpulkan informasi dari beberapa orang, bahkan dari lingkaran dalam istana Pilatus yang selama ini cukup dikenalnya dengan baik.

“Benar, tadi malam sewaktu Ia berdoa,” kata seseorang.

“Kayafas menyuap salah satu murid-Nya untuk memastikan mereka menangkap orang yang tepat, karena di malam hari tidak mudah membedakan Dia dengan murid-muridNya,” kata yang lain.

Dada Yusuf berdegup kencang. “Hmm.. selalu ada pengkhianat di lingkaran terdekat,” pikir Yusuf.

Semalam-malaman itu Yusuf tak bisa tidur. Ia terus memikirkan apa yang bakal terjadi setelahnya. Ia ingin menghubungi Nikodemus tetapi malam sudah terlalu larut.

Pada malam itu ia memperoleh info bahwa besok pagi Kayafas akan menggelandang Yesus menghadap Pilatus untuk menuntut hukuman mati.

Keesokan harinya pagi-pagi benar Yusuf sudah bersiap. Ia berjalan menuju ke gedung pengadilan tempat orang menghadapkan terdakwa kepada Pilatus. Dari jauh, di antara kerumunan orang Yusuf melihat Yesus dengan tangan terikat, wajah yang babak-belur dan jubah yang robek sedang didorong-dorong oleh massa. Kayafas berdiri di sebelah-Nya.

“Sepagi ini kau datang, Kayafas? Siapa yang kau bawa?” tanya Pilatus.

“Jika Dia bukan seorang penjahat, aku tidak akan membawa-Nya kepadamu,” jawab Kayafas.

“Ia menghujat Allah!” teriak seseorang di antara kerumunan.

“Jika begitu, adililah Ia menurut hukummu sendiri. Aku tidak sudi ikut campur!” kata Pilatus.

“Hukum kami melarang kami untuk membunuh!” sergah Kayafas.

Yusuf mendengar dengan jelas. “Licik! Ia memakai tangan Pilatus untuk membunuh. Munafik!” pikirnya.

Hampir dua jam pengadilan itu berlangsung. Pilatus mondar-mandir dan keluar-masuk gedung pengadilan. Sementara itu massa makin banyak berkumpul di halaman.

Ketika matahari makin tinggi dan halaman gedung itu makin hiruk-pikuk, Yusuf mendengar Pilatus menjatuhkan vonis mati sambil mencuci tangannya. Mereka mengarak Yesus dengan memikul kayu salib menuju bukit Golgota yang terletak di pinggiran kota Yerusalem.

Darah Yusuf mendidih. “Bukankah hukuman salib oleh Romawi hanya untuk para pembunuh dan pemberontak negara?” tanyanya dalam hati. Ia berjalan pulang dengan hati yang hancur.

Menjelang petang, Yusuf menguatkan tekadnya untuk menghadap Pilatus. Ia bermaksud meminta mayat Yesus untuk diturunkan dari kayu salib. Sejenak hatinya galau, karena ia ingat bahwa sebentar lagi Sabat, dan menjamah mayat tidak diperbolehkan menurut hukum Taurat. Ah, peduli amat, najis biarlah najis, pikirnya. Ia bergegas menemui Pilatus.

Cukup lama ia berbicara dengan Pilatus. Lalu ia mengeluarkan sebuah kantong dari balik jubahnya, dan diberikannya kepada Pilatus.

“Akan kau kuburkan dimana mayat-Nya?” tanya Pilatus.

“Di bakal makamku sendiri, sebuah gua batu yang telah aku siapkan,” jawab Yusuf.

“Kau cari orang sendiri untuk membantumu menurunkan mayat-Nya. Prajuritku sedang bertugas semua,” kata Pilatus mengakhiri pembicaraan.

Yusuf mempercepat langkahnya menuju rumah Nikodemus. Hari semakin gelap ketika mereka berdua sampai di Golgota. Disana mereka melihat Ibu Yesus dan Maria Magdalena masih meratap di bawah tiang salib.

Mereka menurunkan mayat Yesus lalu membawanya ke sebuah kompleks pekuburan orang-orang kaya. Yusuf menunjuk makam miliknya sendiri yang belum pernah digunakan untuk menguburkan orang. Di situlah mayat Yesus dibawa.

Setelah meminyaki mayat-Nya dan mengafaninya, mereka membaringkan mayat-Nya di dalam.

“Terimakasih atas kebaikan Tuan untuk Anakku…,” bisik Ibu Yesus lirih sambil mengisak.

Duka menyatu dengan sepinya malam. Angin menghembuskan semerbak bau mur dan minyak gaharu. Yusuf menghirup kematian Gurunya.

Mereka masih lama berada di pekuburan itu, tidak peduli hari sudah memasuki Sabat.

*

Orang menempatkan kuburnya di antara orang-orang fasik, dan makamnya di antara orang kaya.” (Yesaya 53:9a)

***

Serpong, 28 Mar 2024

Titus J.

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...