“Ketekunan adalah sebuah karakter, sayang,
karakter yang pantang menyerah sebelum sebuah tujuan tercapai,” jawab ibunya
sambil membelai rambut anaknya.
“Bagaimanakah wujud karakter yang seperti itu?”
tanya anak remaja itu lagi.
Ibunya berpikir sejenak, lalu diiringi senyum
yang penuh arti ia memulai ceritanya:
Ingat kisah bahtera Nuh? Jika kisah itu dibikin
drama tiga babak, kira-kira adegan-adegannya akan seperti ini:
Babak pertama
Dimulai ketika Allah berfirman dan memerintahkan
Nuh untuk membikin bahtera, kemudian adegan dilanjutkan dengan kesibukan
membangun bahtera itu sendiri. Bertahun-tahun dihabiskan oleh Nuh untuk
merancang detail dan membikin prototype, karena mungkin design yang diterima oleh
Nuh dari Allah hanya design secara high
level (garis besar) saja.
Membangun bahtera bukan perkara gampang. Design-nya harus memenuhi
prinsip-prinsip hukum Archimedes (padahal kala itu Archimedes belum lahir,
bukan?). Berat jenis bahtera tersebut harus lebih kecil dari 1 agar bahtera
bisa mengapung. Lambung kapalnya harus kuat agar kapal tidak pecah karena
tekanan air. Nuh diminta membuat geladak/dek dengan 3 tingkat, pada setiap
tingkatnya harus ada bukaan-bukaan yang dinamakan palka
untuk menyimpan barang. Yang dimaksud “barang” dalam hal ini adalah
binatang-binatang yang akan menjadi penumpang utama bahtera itu. Jadi, bisa
dibayangkan Nuh yang tidak pernah sekolah ilmu perkapalan disuruh Tuhan untuk
membangun bahtera. Tapi sikap Nuh mengagumkan. Ia taat, dan karena ketaatan
itulah Tuhan mendampingi dan mengajar Nuh untuk melaksanakan proyek besar itu.
Setelah itu Nuh mengumpulkan material, mengukur,
memotong, membangun konstruksi dan terakhir melakukan finishing touch.
Pembangunan bahtera itu memakan waktu puluhan
tahun karena bahtera yang panjangnya 300 hasta (sekitar 130 meter) dan lebih
panjang daripada lapangan sepak bola itu hanya dikerjakan oleh 4 orang, yaitu
Nuh sendiri dan ketiga anaknya. Istri dan menantu-menantu perempuannya mungkin
hanya mendukung menyediakan konsumsi, menemani ngobrol-ngobrol agar keempat
orang itu tetap bersemangat, dan menghibur mereka ketika tetangga dan orang-orang
sekitarnya mengejek dan menertawakan mereka karena dianggap tidak waras.
Babak kedua
Di sini kita bercerita tentang “migrasi”
binatang-binatang itu yang diperintahkan keluar dari sarangnya. Babak ini mungkin
yang paling panjang dan seru karena adanya percampuran unsur keindahan,
kelucuan (humor) dan kedramatisan. Bagaimana binatang-binatang itu masuk ke
dalam bahtera secara berpasang-pasangan? Apakah hal itu terjadi pada saat yang
berbarengan atau memakan waktu bertahun-tahun hingga semua binatang terkumpul
secara lengkap?
Kemungkinan kedua lebih masuk akal, karena
binatang-binatang itu mempunyai kecepatan gerak yang berbeda-beda sehingga
tidak mungkin mencapai bahtera pada waktu yang sama. Mengapa Tuhan tidak
seketika saja mengangkat mereka dan memasukkan mereka ke dalam bahtera
sekaligus? Cara instan ini tidak mungkin dilakukan oleh Tuhan, sebab Dia juga
tidak menempuh cara instan untuk membangun bahtera itu (walaupun Ia bisa
berfirman satu kalimat saja untuk menciptakan bahtera yang Ia inginkan). Tuhan
lebih memilih cara alami, sebab di dalam cara alami terkandung banyak dimensi:
ketaatan, kesabaran, dan ketekunan. Binatang-binatang pilihan itu oleh Tuhan (melalui
Nuh) diperintahkan untuk menuju bahtera dengan caranya masing-masing. Tuhan
sangat sabar, dan Dia menunggu hingga semua binatang lengkap.
Adegan “migrasi” pasangan binatang-binatang yang
beruntung itu mengungkapkan pelbagai karakter yang sarat dengan makna.
Sepasang gajah yang beratnya berton-ton itu bisa saja mengomel karena kewalahan membawa badannya padahal mereka tidak sabar ingin segera sampai pada bahtera, apalagi ketika mereka diledek oleh sepasang kijang, zebra dan kuda yang berlomba berlari mendahului mereka. Sepasang harimau dan sepasang singa yang merasa kuat tersinggung dan langsung mengejar mereka agar tidak kalah dalam adu cepat. Gengsinya terusik sebab jika mereka tidak tiba lebih dulu pada bahtera, apa kata binatang-binatang lainnya? Tetapi ketika mereka sudah ngebut sekencang-kencangnya, dari arah belakang tiba-tiba sepasang cheetah melesat secepat kilat menyusul dan meninggalkan mereka jauh di belakang.
Di udara, pertarungan adu cepat juga terjadi,
tetapi seperti yang kita duga, pasangan burung-burung bangau, walet, pelikan, gagak,
pipit, merpati, bahkan kelelawar hanya terbengong-bengong menyaksikan sepasang
elang melesat dan menukik lurus, dan setelah menempuh perjalanan berhari-hari,
mungkin berminggu-minggu, sepasang elang itu akhirnya mencapai bahtera kemudian
bertengger di atas atapnya dengan bangga.
Tetapi…
Jauh di ujung sana, di antara rimbun
semak-semak, dua titik kecil bergerak pelahan. Gerakan dua titik kecil itu,
yang rupanya juga sepasang jantan dan betina, nyaris tak terlihat karena saking
lambannya. Bahkan desir anginpun tidak terasa ketika mereka bergeser karena
saking pelannya. Tetapi, jika diperhatikan dengan seksama, dua titik kecil itu tidak
diam. Tak bisa dikatakan berjalan sebab tak tampak kaki-kaki untuk berjalan. Mereka
bergerak dengan konsisten. Gerakannya begitu halus, tanpa suara, tanpa
celotehan apa-apa. Pelan tapi pasti dua titik kecil itu maju, beringsut satu
milimeter demi satu milimeter, tak peduli derap langkah kaki-kaki kijang,
zebra, kuda, harimau, singa dan cheetah memekakkan telinga.
Tak ada yang menawarkan bantuan untuk
membonceng mereka karena masing-masing sibuk dengan pasangannya. Bukan hanya
itu, adanya provokasi dari binatang-binatang yang merasa larinya cepat dan
tenaganya kuat membuat migrasi itu menjadi arena perlombaan pacuan. Bahkan
kura-kura pun mencibir mereka karena merasa larinya lebih cepat.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan,
bulan berganti tahun, sepasang titik itu terus bergerak sesuai dengan perintah
yang mereka dengar tatkala Tuhan menunjukkan arah kemana mereka harus menuju.
Perjalanan itu bukan di tanah rata melainkan berbatu-batu dan mendaki, sebab
bahtera itu dibangun Nuh di atas gunung.
Suara hiruk-pikuk yang dulunya ada sudah
berganti sepi. Suasana sepi itu berujung lengang ketika kura-kura pun sudah
tidak kelihatan.
Sepasang titik kecil itu sekarang tertinggal
jauh. Kelelahan mulai menghiasi wajah mereka karena sudah berbulan-bulan mereka
bergerak tanpa istirahat. Mereka ingin beristirahat sejenak tetapi perintah itu
selalu terngiang di telinga mereka, bahwa di depan sana ada bahtera yang sudah
siap berangkat. Begitu jelas dan berwibawanya perintah itu sehingga mereka
kemudian harus beringsut kembali. Dalam keheningan malam terdengar yang betina
menguatkan yang jantan untuk tidak menyerah. Pada malam-malam yang lain giliran
yang jantan menguatkan yang betina yang sempat berpikir untuk berhenti dan kembali
ke sarang mereka yang nyaman yang telah mereka tinggalkan.
“Masih jauhkah bahtera itu?” tanya yang betina.
“Entahlah, kita hanya diperintahkan ke arah
sana,” jawab yang jantan.
“Engkau yakin bahtera itu menunggu di sana?”
“Keyakinanku terhadap perintah itu belum
goyah.”
“Tetapi kita sudah berbulan-bulan berjalan. Jalan
ini mungkin tak ada ujung…,” kata yang betina sembari menghela nafas.
Keduanya terus merambat, terlihat yang satu
memegang yang lain. Walaupun terseok-seok, terlihat mereka tetap bergerak maju.
“Di manakah suara yang tadi kita dengar
memerintahkan kita berangkat?” tanya yang betina.
Yang jantan diam tidak menyahut.
“Diapun sudah pergi jauh meninggalkan kita,”
kata yang betina lagi.
“Tenanglah sejenak, maka engkau akan merasakan
getaran kaki-Nya di sini,” jawab yang jantan.
Sepasang titik kecil itu terus beringsut satu
milimeter demi satu milimeter. Karena sudah berbulan-bulan berjalan tanpa
berhenti, mucus (pelumas) badannya
mulai mengering. Bagian bawahnya yang lembut mulai robek karena tergores
kerikil dan semak-semak yang tajam. Terkadang terdengar suara mereka mengaduh,
tetapi teringat perintah itu, mereka menguatkan tekadnya.
Dalam bulan yang kesekian, pada pohon terakhir
yang mereka lewati, sayup-sayup terdengarlah suara yang mendengung-dengung
seperti lebah. Mereka mendekat. Dari balik semak-semak yang kering mereka
melihat ratusan binatang yang berpasang-pasangan sedang berdiri rapi di atas
geladak sebuah bahtera. Sebagian yang lain kelihatan kepalanya dari lubang
jendela. Bahtera itu sungguh mengagumkan besarnya, duduk gagah di atas gunung
sementara langit biru dan awan yang menempel seperti kapas putih menjadi background yang sangat kontras dengan
warna coklat kehitaman bahtera itu.
“Itukah bahteranya?” tanya yang betina.
“Tidak salah,” jawab yang jantan.
Ketika mereka berupaya mendekat dengan
sisa-sisa tenaga terakhir, tiba-tiba terdengarlah ringkik kuda disusul oleh aum
harimau dan macan tutul bersahutan. Suara burung pipit yang menciap-ciap
disertai suara burung gagak yang berkaok-kaok menambah keriuhan suasana disana.
Sepasang monyet bertepuk-tangan sedangkan sepasang gorilla memukul-mukul tanah
dengan tangannya yang mengepal.
“Mereka datang! mereka datang!” seekor jerapah
berseru nyaring.
“Siaappp…! Kita sambut mereka!” seru seekor
gajah sambil mengibaskan daun telinganya dan menaikkan belalainya.
“Di sana! disana!” seekor beruang betina
menepuk pasangannya yang menoleh kesana-kemari dengan wajah kebingungan.
Mendengar teriakan itu, di detik yang sama
semua binatang yang semula duduk bermalas-malasan serentak bangkit dan berebut
lubang jendela untuk mengetahui apa yang terjadi. Semua mata terbelalak
menonton.
“Tak adakah yang mau berlari mendapatkan
mereka? Lihat! mereka terluka dan kelelahan!” seru seekor elang yang matanya
begitu tajam hingga bisa melihat luka itu dari jarak jauh.
Mendengar kalimat itu, seekor anjing jantan
melompat dari tempatnya kemudian berlari mendapatkan dua titik kecil yang
ternyata adalah sepasang siput itu. Sesampainya di tempat siput itu, anjing itu
menjulurkan lidahnya dan menjilati mereka.
“Bertahanlah kawan, kami semua menunggu kalian,
sebab hujan takkan turun sebelum kalian tiba,” kata anjing itu. Dibawanya
sepasang siput itu dengan mulutnya berlari menuju bahtera itu. Sorak-sorai
bergemuruh membuat bahtera itu bergetar. Berbareng dengan itu, langit pelahan
menjadi gelap dan suara guruh mulai terdengar bersahutan di kejauhan.
Lalu Tuhan menutup pintu bahtera itu.
***
“Demikianlah cerita ini selesai, sayang,” kata ibu
itu kepada anak perempuannya.
“Tunggu, mama, bukankah ini masih babak kedua?
Bagaimana kelanjutan babak ketiganya? Hmm.. tentang hujan yang turun selama 40
hari 40 malam nonstop!” protes anak itu.
“Tidak penting lagi untuk menceritakan soal
ketekunan, sayang, sebab Charles Spurgeon sudah menutup ceritanya dengan
mengatakan: By perseverance the snail reached the ark”
***
If you can’t fly then run, if you can’t run then walk,
if you can’t walk then crawl, but whatever you do you have to keep moving
forward (Martin
Luther King, Jr.)
Serpong, Sep 2015
Titus J.