Beberapa
tahun yang lalu di kantor saya yang lama, saya sedang melakukan rekrutmen
seorang engineer. Beberapa kandidat sudah selesai saya interview, dan tinggal 1
kandidat lagi. Saya menunggu beberapa lama tetapi yang saya tunggu tidak
kunjung datang. Beberapa kali saya keluar-masuk ruangan, mondar-mandir
sebentar, kemudian duduk lagi. Saya sudah mau membatalkan interview terakhir
itu sampai kemudian masuklah seorang, dan pelahan mendekati saya sambil bertanya
dengan amat sopan, “Pak, jadi interview-nya?”
Upss..,
saya gugup dan terkejut, “Hmmm…,” saya menggumam sambil memandangnya. Sedetik
itu saya seperti blank, otak saya
serasa macet, tidak bisa berpikir. Belum sempat saya bertanya, pemuda itu
berkata, “Saya Roy, Pak.”
Ya
ampun…, pemuda itu sejak tadi ketika saya keluar-masuk ruangan sudah duduk di
kursi di ruang tunggu itu. Saya ingat, saya melihatnya. Tetapi siapa sangka ia
adalah kandidat yang saya undang untuk interview? Ia begitu kurus, kulitnya
coklat tua mengarah kehitaman, dan… dekil. Rambutnya yang kering itu tidak
disisir. Saya menyangkanya kurir pengantar surat. Ia mungkin lupa sedang
melamar pekerjaan di sebuah bank. Tetapi ketika berhadapan dengan saya, pemuda
itu tak kehilangan senyumnya. Betapa saya malu, dan sungguh merasa bersalah.
Ketika
interview, pemuda itu benar-benar mengesankan lebih dari kandidat-kandidat
sebelumnya. Akhirnya proses rekrutmen saya tutup dan posisi itu saya berikan
kepadanya. Dalam menjalankan tugasnya, Roy membuktikan ia bisa diandalkan.
Jika
teringat Roy, saya diingatkan untuk selalu respect
kepada siapapun dan tidak terpaku kepada atribut-atribut lahiriah: penampilan
fisik, status ekonomi, gelar, ijazah, jabatan, dan sebagainya.
Di jaman
Perjanjian Lama kita mengenal Daud. Ia diremehkan oleh kakak-kakaknya sendiri,
karena ia bukan lulusan tentara tetapi coba-coba mendekati medan perang. Ketika
itu tentara Israel sedang gemetar dihardik oleh jawara-jawara Filistin, salah
satunya Goliath, keturunan raksasa yang tingginya sekitar 3 meter. Oleh Goliath
ia dihina-hina karena posturnya kecil, masih ‘ingusan’, wajahnya
kemerah-merahan (belum brewokan yang menandakan kedewasaan), dan terlalu polos-lugu.
Tetapi ketika tentara Israel sedang menunggu nasib untuk dijadikan ‘sate’ oleh
tentara Filistin, justru Daud yang kemudian memenggal kepala Goliath.
Di jaman
Perjanjian Baru kita mengenal Petrus. Ia diremehkan oleh orang-orang Yahudi
terutama oleh para ulama (ahli Taurat) karena background-nya adalah seorang
nelayan yang tidak terpelajar. Tetapi Petrus tiba-tiba menjelma menjadi orang
yang powerful. Ia berkhotbah dan
mengharu-birukan hati 3000 orang yang kemudian menjadi percaya kepada Kristus. Ia
menyembuhkan orang lumpuh yang mengemis di halaman bait Allah dengan satu
kalimat: “Demi Yesus orang Nazareth, bangun dan berjalanlah!” Para alim ulama
yang tidak alim sama sekali itu terheran-heran, bagaimana Petrus yang tidak
pernah “makan bangku sekolahan” itu bisa melakukan perkara itu?
Lalu…, di jaman informasi digital
ini kita mengenal Susi Pudjiastuti, seorang perempuan yang baru dipilih oleh
Presiden Jokowi menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan. Menteri Susi langsung bikin
heboh sesaat setelah Jokowi selesai mengumumkan susunan kabinetnya di istana,
karena tiba-tiba dia ‘ndeprok’ (duduk
di lantai dengan santai) dan dengan cuek-nya
ia menyulut rokoknya. Dan para wartawan yang bermata tajam itu makin surprise lagi melihat Bu Susi kelihatan
ada tattoo di kakinya.
Maka
tidak terlalu lama beredarlah foto dan berita tentang Bu Susi di media online
dan media sosial. Keesokan harinya ketika saya login ke twitter saya, topik yang paling banyak di-twit adalah Bu Susi. Para netizen
itu banyak yang mem-bully Bu Susi di
media sosial. “Wow..ada menteri hanya tamatan SMP, apa ngga ada yang lain?” twit seseorang. “Menteri kok hidupnya
kacau, sudah merokok, bertato, kawin sampai tiga kali pula…,” twit yang lain lagi.
Walaupun
banyak yang mem-bully-nya, tetapi
masih lebih banyak yang membelanya.
“Steve
Jobs dan Mark Zuckerberg juga nggak
lulus kuliah.”
“Bu
Susi yang lulusan SMP saja bisa jadi menteri, seharusnya anak Indonesia bisa
bercermin dari beliau.”
“Paling
tidak Bu Susi jujur, ia tidak jaim di
depan orang, dan bersikap apa adanya. Tetapi sebaiknya memang jangan merokok di
istana, apalagi saat wawancara dengan wartawan.” (Belakangan Bu Susi berjanji
untuk berhenti merokok)
Duta
besar Amerika Serikat untuk Indonesia Robert Blake menyebutnya perempuan
tangguh. Rhenald Kasali menyebutnya perempuan hebat. “Dia adalah self driver”, kata Rhenald.
Susi muda
memutuskan drop-out di kelas 2 SMA karena pihak sekolahnya mengancamnya agar ia
tidak golput. Sejak itu ia terpaksa harus mandiri. Di pesisir pantai Selatan
yang terik, ia berjualan ikan di pasar. Ketika hasil tangkapan ikannya makin
banyak, ditemani sopir, ia menyewa truk dari Pangandaran, membawa ikan dan
udang untuk dilelang di Jakarta. Hal itu dijalaninya selama bertahun-tahun,
seorang diri.
“Saya
memang butuh ‘orang gila’ seperti Bu Susi yang bisa melakukan terobosan,” kata
Presiden Jokowi tentang menterinya yang jam 6 pagi sudah standby di kantor kementerian itu.
Saya
sendiri salut dan memuji sosok Bu Susi, walaupun gayanya nyentrik (jauh dari gaya
pejabat pada umumnya), dan walaupun ia di-bully
banyak orang karena ia tidak tamat sekolah, merokok di istana dan punya tattoo
di kakinya. Bagi saya, apakah ia lulusan SMP atau Professor Doctor, perokok
atau bukan, punya tattoo atau tidak, itu tidak terlalu penting (Bukan berarti
saya setuju dengan kebiasaan merokoknya), tetapi sebagai pejabat, yang paling
dibutuhkan oleh Indonesia saat ini adalah pejabat yang mau bekerja keras,
mempunyai mental pantang menyerah, tidak korupsi, punya integritas dan mendahulukan
kepentingan rakyat. Apa untungnya mempunyai pemimpin yang kelihatannya beriman
dan suci tetapi korupsi? “It doesn’t
matter whether the cat is black or white, as long as it catches mice,” kata
Deng Xiaoping.
Saya
salut dengan Bu Susi, dan seperti kebanyakan orang, tidak mempermasalahkan masa
lalunya, sekolahnya, apalagi keimanannya. Bu Susi dipilih menjadi pemimpin dan
pejabat publik, bukan pemimpin agama. Orang beriman dan taat beragama belum
tentu bisa menjadi pemimpin Negara. Itulah sebabnya mengapa Daud dan bukan Nabi
Natan yang memimpin bangsa Israel, Mao Tse Tung dan bukan John Sung yang
memimpin RRC, Kim Dae-jung dan bukan Paul Yonggi Cho yang memimpin Korea
Selatan, Nelson Mandela dan bukan Desmond Tutu yang memimpin Afrika Selatan, Bill
Clinton dan bukan Billy Graham yang memimpin Amerika. Kriteria pemimpin Negara
atau pejabat berbeda dengan pemimpin agama.
Ada yang bilang, kriteria pemimpin adalah apakah ia adil dan bukan apakah ia beriman.
Ketika Ahok didemo oleh FPI dan ditolak menjadi Gubernur DKI Jakarta
menggantikan Jokowi, banyak pihak membelanya. “Selama beliau adil dan berpihak kepada rakyat,
itulah gubernur kita semua. Ukuran memilih pemimpin yang baik adalah keadilan,
kejujuran, dan amanah, bukan agamanya," kata Ketua Umum PBNU Said Aqil
Siradj.
Sepuluh
tahun lalu, Bu Susi berjuang untuk mendapatkan kredit dari bank untuk membeli
pesawat terbang guna mentransport ikan-ikan segar dari Pangandaran ke Jakarta,
karena ia tahu harga ikan yang diawetkan dibanding ikan hidup jauh berbeda.
Beberapa kali proposal kreditnya ditolak karena dianggap tidak feasible, hingga akhirnya ada bank yang
mau mengucurkan kredit.
Ketika
pesawat terbang itu akhirnya terbeli, terjadilah bencana tsunami di Aceh tahun
2004. Bu Susi merelakan pesawat barunya untuk dipakai. Pesawatnya adalah yang
pertama mendarat di tanah Aceh, mengangkut penumpang dan bantuan logistik.
Orang-orang yang diberangkatkan ke sana oleh Bu Susi kagum dan terharu, karena
Bu Susi tidak memungut biaya. “Ini sedang bencana, tidak usah tanya soal
ongkos,” kata Bu Susi menjawab mereka. Betapa ia tidak memikirkan untung-rugi
lagi, karena hati nuraninya tergerak oleh rasa belas kasihan.
Para
pengritiknya mungkin perlu segera bercermin, karena Bu Susi yang di-bully itu toh lebih banyak berbuat untuk
orang lain. Ia memperkerjakan ratusan orang di bisnis perikanannya, ia
memperkerjakan puluhan pilot termasuk beberapa pilot asing untuk mengoperasikan
Susi Air. “Anak saya disekolahkan oleh beliau,” kata seorang karyawannya. Bu
Susi, walaupun dihina-hina karena atribut-atribut lahiriahnya, toh terkenal
bersih dan tidak korupsi. “Jangan coba-coba menyuap saya, karena saya tidak
bisa disuap,” katanya. Ia berkomitmen bekerja keras untuk mengangkat kesejahteraan
hidup para nelayan, dan mengembalikan kekayaan laut kita ke kas Negara dengan
memberantas pencurian ikan oleh kapal-kapal asing. Menurut data, Indonesia mengalami kerugian
Rp300 triliun/tahun akibat illegal, unreported, dan unregulated fishing.
Sekarang,
apa yang sudah dan akan kita perbuat untuk orang lain dan untuk Negara ini?
Apakah kita merasa lebih baik dan lebih pintar daripada Bu Susi karena gelar
sarjana kita berderet-deret di depan dan belakang nama kita? Ataukah kita
merasa lebih beragama daripada dia?
Di
Perjanjian Baru seorang perempuan Samaria yang telah gonta-ganti hidup bersama
dengan lima laki-laki yang bukan suaminya dicibir oleh orang-orang
sekampungnya. Namun nyatanya Yesus sengaja menunggunya di tepi sumur Yakub dan
mengajaknya berdialog, dan hidup perempuan itu berubah. Kita menemukan bahwa
semakin mulia seseorang, semakin ia menghargai orang lain, semakin ia mengasihi
orang lain.
Semulia
apakah diri kita? Ah, kita lebih suka menghakimi orang lain, seperti saya
(awalnya) memandang rendah Roy, dan kita yang terlalu cepat menghakimi Bu Susi.
***
“If you judge people, you
have no time to love them” (Mother Teresa)
Serpong, Nov 2014
Titus J.