Saturday, November 29, 2014

Roy dan Susi

Beberapa tahun yang lalu di kantor saya yang lama, saya sedang melakukan rekrutmen seorang engineer. Beberapa kandidat sudah selesai saya interview, dan tinggal 1 kandidat lagi. Saya menunggu beberapa lama tetapi yang saya tunggu tidak kunjung datang. Beberapa kali saya keluar-masuk ruangan, mondar-mandir sebentar, kemudian duduk lagi. Saya sudah mau membatalkan interview terakhir itu sampai kemudian masuklah seorang, dan pelahan mendekati saya sambil bertanya dengan amat sopan, “Pak, jadi interview-nya?”

Upss.., saya gugup dan terkejut, “Hmmm…,” saya menggumam sambil memandangnya. Sedetik itu saya seperti blank, otak saya serasa macet, tidak bisa berpikir. Belum sempat saya bertanya, pemuda itu berkata, “Saya Roy, Pak.”

Ya ampun…, pemuda itu sejak tadi ketika saya keluar-masuk ruangan sudah duduk di kursi di ruang tunggu itu. Saya ingat, saya melihatnya. Tetapi siapa sangka ia adalah kandidat yang saya undang untuk interview? Ia begitu kurus, kulitnya coklat tua mengarah kehitaman, dan… dekil. Rambutnya yang kering itu tidak disisir. Saya menyangkanya kurir pengantar surat. Ia mungkin lupa sedang melamar pekerjaan di sebuah bank. Tetapi ketika berhadapan dengan saya, pemuda itu tak kehilangan senyumnya. Betapa saya malu, dan sungguh merasa bersalah.

Ketika interview, pemuda itu benar-benar mengesankan lebih dari kandidat-kandidat sebelumnya. Akhirnya proses rekrutmen saya tutup dan posisi itu saya berikan kepadanya. Dalam menjalankan tugasnya, Roy membuktikan ia bisa diandalkan.

Jika teringat Roy, saya diingatkan untuk selalu respect kepada siapapun dan tidak terpaku kepada atribut-atribut lahiriah: penampilan fisik, status ekonomi, gelar, ijazah, jabatan, dan sebagainya.

Di jaman Perjanjian Lama kita mengenal Daud. Ia diremehkan oleh kakak-kakaknya sendiri, karena ia bukan lulusan tentara tetapi coba-coba mendekati medan perang. Ketika itu tentara Israel sedang gemetar dihardik oleh jawara-jawara Filistin, salah satunya Goliath, keturunan raksasa yang tingginya sekitar 3 meter. Oleh Goliath ia dihina-hina karena posturnya kecil, masih ‘ingusan’, wajahnya kemerah-merahan (belum brewokan yang menandakan kedewasaan), dan terlalu polos-lugu. Tetapi ketika tentara Israel sedang menunggu nasib untuk dijadikan ‘sate’ oleh tentara Filistin, justru Daud yang kemudian memenggal kepala Goliath.

Di jaman Perjanjian Baru kita mengenal Petrus. Ia diremehkan oleh orang-orang Yahudi terutama oleh para ulama (ahli Taurat) karena background-nya adalah seorang nelayan yang tidak terpelajar. Tetapi Petrus tiba-tiba menjelma menjadi orang yang powerful. Ia berkhotbah dan mengharu-birukan hati 3000 orang yang kemudian menjadi percaya kepada Kristus. Ia menyembuhkan orang lumpuh yang mengemis di halaman bait Allah dengan satu kalimat: “Demi Yesus orang Nazareth, bangun dan berjalanlah!” Para alim ulama yang tidak alim sama sekali itu terheran-heran, bagaimana Petrus yang tidak pernah “makan bangku sekolahan” itu bisa melakukan perkara itu?

Lalu…, di jaman informasi digital ini kita mengenal Susi Pudjiastuti, seorang perempuan yang baru dipilih oleh Presiden Jokowi menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan. Menteri Susi langsung bikin heboh sesaat setelah Jokowi selesai mengumumkan susunan kabinetnya di istana, karena tiba-tiba dia ‘ndeprok’ (duduk di lantai dengan santai) dan dengan cuek-nya ia menyulut rokoknya. Dan para wartawan yang bermata tajam itu makin surprise lagi melihat Bu Susi kelihatan ada tattoo di kakinya.

Maka tidak terlalu lama beredarlah foto dan berita tentang Bu Susi di media online dan media sosial. Keesokan harinya ketika saya login ke twitter saya, topik yang paling banyak di-twit adalah Bu Susi. Para netizen itu banyak yang mem-bully Bu Susi di media sosial. “Wow..ada menteri hanya tamatan SMP, apa ngga ada yang lain?” twit seseorang. “Menteri kok hidupnya kacau, sudah merokok, bertato, kawin sampai tiga kali pula…,” twit yang lain lagi.

Walaupun banyak yang mem-bully-nya, tetapi masih lebih banyak yang membelanya.
“Steve Jobs dan Mark Zuckerberg juga nggak lulus kuliah.”
“Bu Susi yang lulusan SMP saja bisa jadi menteri, seharusnya anak Indonesia bisa bercermin dari beliau.”
“Paling tidak Bu Susi jujur, ia tidak jaim di depan orang, dan bersikap apa adanya. Tetapi sebaiknya memang jangan merokok di istana, apalagi saat wawancara dengan wartawan.” (Belakangan Bu Susi berjanji untuk berhenti merokok)

Duta besar Amerika Serikat untuk Indonesia Robert Blake menyebutnya perempuan tangguh. Rhenald Kasali menyebutnya perempuan hebat. “Dia adalah self driver”, kata Rhenald.

Susi muda memutuskan drop-out di kelas 2 SMA karena pihak sekolahnya mengancamnya agar ia tidak golput. Sejak itu ia terpaksa harus mandiri. Di pesisir pantai Selatan yang terik, ia berjualan ikan di pasar. Ketika hasil tangkapan ikannya makin banyak, ditemani sopir, ia menyewa truk dari Pangandaran, membawa ikan dan udang untuk dilelang di Jakarta. Hal itu dijalaninya selama bertahun-tahun, seorang diri.

Saya memang butuh ‘orang gila’ seperti Bu Susi yang bisa melakukan terobosan,” kata Presiden Jokowi tentang menterinya yang jam 6 pagi sudah standby di kantor kementerian itu.

Saya sendiri salut dan memuji sosok Bu Susi, walaupun gayanya nyentrik (jauh dari gaya pejabat pada umumnya), dan walaupun ia di-bully banyak orang karena ia tidak tamat sekolah, merokok di istana dan punya tattoo di kakinya. Bagi saya, apakah ia lulusan SMP atau Professor Doctor, perokok atau bukan, punya tattoo atau tidak, itu tidak terlalu penting (Bukan berarti saya setuju dengan kebiasaan merokoknya), tetapi sebagai pejabat, yang paling dibutuhkan oleh Indonesia saat ini adalah pejabat yang mau bekerja keras, mempunyai mental pantang menyerah, tidak korupsi, punya integritas dan mendahulukan kepentingan rakyat. Apa untungnya mempunyai pemimpin yang kelihatannya beriman dan suci tetapi korupsi? “It doesn’t matter whether the cat is black or white, as long as it catches mice,” kata Deng Xiaoping.

Saya salut dengan Bu Susi, dan seperti kebanyakan orang, tidak mempermasalahkan masa lalunya, sekolahnya, apalagi keimanannya. Bu Susi dipilih menjadi pemimpin dan pejabat publik, bukan pemimpin agama. Orang beriman dan taat beragama belum tentu bisa menjadi pemimpin Negara. Itulah sebabnya mengapa Daud dan bukan Nabi Natan yang memimpin bangsa Israel, Mao Tse Tung dan bukan John Sung yang memimpin RRC, Kim Dae-jung dan bukan Paul Yonggi Cho yang memimpin Korea Selatan, Nelson Mandela dan bukan Desmond Tutu yang memimpin Afrika Selatan, Bill Clinton dan bukan Billy Graham yang memimpin Amerika. Kriteria pemimpin Negara atau pejabat berbeda dengan pemimpin agama.

Ada yang bilang, kriteria pemimpin adalah apakah ia adil dan bukan apakah ia beriman. Ketika Ahok didemo oleh FPI dan ditolak menjadi Gubernur DKI Jakarta menggantikan Jokowi, banyak pihak membelanya. “Selama beliau adil dan berpihak kepada rakyat, itulah gubernur kita semua. Ukuran memilih pemimpin yang baik adalah keadilan, kejujuran, dan amanah, bukan agamanya," kata Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj.

Sepuluh tahun lalu, Bu Susi berjuang untuk mendapatkan kredit dari bank untuk membeli pesawat terbang guna mentransport ikan-ikan segar dari Pangandaran ke Jakarta, karena ia tahu harga ikan yang diawetkan dibanding ikan hidup jauh berbeda. Beberapa kali proposal kreditnya ditolak karena dianggap tidak feasible, hingga akhirnya ada bank yang mau mengucurkan kredit.


Ketika pesawat terbang itu akhirnya terbeli, terjadilah bencana tsunami di Aceh tahun 2004. Bu Susi merelakan pesawat barunya untuk dipakai. Pesawatnya adalah yang pertama mendarat di tanah Aceh, mengangkut penumpang dan bantuan logistik. Orang-orang yang diberangkatkan ke sana oleh Bu Susi kagum dan terharu, karena Bu Susi tidak memungut biaya. “Ini sedang bencana, tidak usah tanya soal ongkos,” kata Bu Susi menjawab mereka. Betapa ia tidak memikirkan untung-rugi lagi, karena hati nuraninya tergerak oleh rasa belas kasihan.

Para pengritiknya mungkin perlu segera bercermin, karena Bu Susi yang di-bully itu toh lebih banyak berbuat untuk orang lain. Ia memperkerjakan ratusan orang di bisnis perikanannya, ia memperkerjakan puluhan pilot termasuk beberapa pilot asing untuk mengoperasikan Susi Air. “Anak saya disekolahkan oleh beliau,” kata seorang karyawannya. Bu Susi, walaupun dihina-hina karena atribut-atribut lahiriahnya, toh terkenal bersih dan tidak korupsi. “Jangan coba-coba menyuap saya, karena saya tidak bisa disuap,” katanya. Ia berkomitmen bekerja keras untuk mengangkat kesejahteraan hidup para nelayan, dan mengembalikan kekayaan laut kita ke kas Negara dengan memberantas pencurian ikan oleh kapal-kapal asing. Menurut data, Indonesia mengalami kerugian Rp300 triliun/tahun akibat illegal, unreported, dan unregulated fishing.

Sekarang, apa yang sudah dan akan kita perbuat untuk orang lain dan untuk Negara ini? Apakah kita merasa lebih baik dan lebih pintar daripada Bu Susi karena gelar sarjana kita berderet-deret di depan dan belakang nama kita? Ataukah kita merasa lebih beragama daripada dia?

Di Perjanjian Baru seorang perempuan Samaria yang telah gonta-ganti hidup bersama dengan lima laki-laki yang bukan suaminya dicibir oleh orang-orang sekampungnya. Namun nyatanya Yesus sengaja menunggunya di tepi sumur Yakub dan mengajaknya berdialog, dan hidup perempuan itu berubah. Kita menemukan bahwa semakin mulia seseorang, semakin ia menghargai orang lain, semakin ia mengasihi orang lain.

Semulia apakah diri kita? Ah, kita lebih suka menghakimi orang lain, seperti saya (awalnya) memandang rendah Roy, dan kita yang terlalu cepat menghakimi Bu Susi.

***

“If you judge people, you have no time to love them” (Mother Teresa)

Serpong, Nov 2014
Titus J.

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...