Sunday, August 31, 2014

Cerita Seorang Santri

Dalam perjalanan saya ke Solo baru-baru ini, di pesawat terbang saya duduk bersebelahan dengan seorang pemuda. Pemuda itu berpakaian baju koko warna putih, rambutnya disisir rapi dan berkumis tipis.

Waktu itu liburan Lebaran baru usai dan banyak orang dari daerah yang berlibur ke Jakarta berbondong-bondong kembali ke daerahnya masing-masing. Deretan kursi pesawat terbang yang saya tumpangi penuh. Dari hiruk-pikuk obrolan para penumpang, saya tahu bahwa mereka kebanyakan berasal dari daerah.

Ketika pesawat sudah lepas landas, saya tergerak untuk menyapa pemuda berkulit kuning langsat itu yang dari sikap dan raut wajahnya meyakinkan bahwa ia adalah seorang yang sopan.

“Mau pulang ke Solo, dik?” sapa saya.
“Tidak Pak, ana mau ke Karanganyar,” jawabnya. Oh, dia memakai kata ‘ana’ untuk menyebut dirinya. ‘Ana’ adalah ‘saya’ dalam bahasa Arab.
“Rumah adik di Karanganyar?” tanya saya.
“Hmm..bukan, rumah ana di Jakarta, ini mau ke pondok.”
“Pondok pesantren? Sekolah?”
“Hmm..ana sudah lulus kelas 3, ini mau pengabdian 1 tahun,” jawabnya.
“Pengabdian? Maksud pengabdian gimana Dik?
“Membantu kakak-kakak Pembina dan Ustadz, mengajar atau kegiatan lain di pondok.”
“Wahh.. bagus ya, abis lulus ada 1 tahun pengabdian. Di pondok pesantren mana?”
Ia menyebut nama pondok pesantren di kabupaten Karanganyar.

Setelah itu kami asyik mengobrol. Pemuda itu memperkenalkan dirinya dengan nama ‘Mustofa’ (bukan nama sebenarnya). Mengingat usianya jauh di bawah saya, maka saya bilang kepadanya untuk memanggil Mustofa saja. Saya bertanya mengenai kegiatannya selama belajar di pondok pesantren, dan alasan mengapa ia lebih memilih sekolah di pondok pesantren ketimbang di sekolah umum.

“Dikirim oleh ayah atau ibu? Atau mau sendiri?” tanya saya.
Ana mau sendiri. Kurikulum pondok pesantren mirip dengan sekolah umum, tetapi ilmu agama Islamnya diperkuat, dan sehari-hari kami diwajibkan pakai bahasa Arab.”
“Setelah selesai 1 tahun pengabdian nanti, mau melanjutkan kuliah kemana?”
“Ke Medinah, Islamic University of Madina,” jawabnya.
 “Abis lulus dari Medinah mau kerja apa?”
Ana mau jadi pengajar...”

Pesawat yang kami tumpangi dalam beberapa detik mengalami guncangan. Saya menengok ke jendela, cerah, tidak ada tanda-tanda mau hujan. Hari itu saya tidak jadi membaca buku, padahal saya sudah menyiapkan buku otobiografi Ronald Reagan untuk menemani perjalanan saya. Mengobrol dengan Mustofa soal pondok pesantren cukup menarik. Maka Reagan pun saya diamkan saja di pangkuan saya.

“Di pondok ada perpustakaan?”
“Ada.”
“Internet?”
“Ada, tetapi kami tidak boleh pakai internet sendiri.”
“Lho kenapa? Di internet juga banyak ilmu. Misalkan kalau perlu data untuk tugas sekolah.”
“Kalau perlu cari referensi, minta ke Ustadz atau kakak Pembina untuk browsing,” jawabnya.
“Ohh..”

Beberapa saat kemudian ganti Mustofa bertanya kepada saya. Ia menanyakan tentang tujuan perjalanan saya ke Solo, kemudian soal pekerjaan saya, anak-anak dan keluarga. Ketika kami ngobrol soal keluarga, di sinilah cerita yang mengagumkan dimulai. Cerita berawal ketika ia mengatakan, “Saya empat bersaudara, eh, bukan, lima bersaudara.” Sebelum saya sempat bertanya, ia melanjutkan, “Hmm…empat saudara kandung, abis itu ibu ana mengambil anak lagi.”

“Sudah punya 4 anak, masih mengadopsi lagi?” Saya bertanya penasaran.
“Benar,” jawabnya.
Sekilas saya teringat ada banyak contoh keluarga-keluarga yang mengadopsi anak dari sanak-keluarga mereka yang “kebanyakan” anak. Jaman saya masih kecil saya sering mendengar cerita dari orang-tua saya perihal keluarga yang “kebanyakan” anak, yang tiap tahun melahirkan padahal kondisi ekonominya sangat tidak cukup.

“Oh, mungkin mengadopsi dari family yang tidak mampu begitu ya?”
“Hmm…bukan, eh, hmm.. ibu ambil di stasiun,” jawabnya sambil memandang ke arah saya.
Saya agak ragu-ragu sebentar, tapi saya bertanya lagi untuk meyakinkan telinga saya, “Ambil di stasiun?”

Lalu berceritalah Mustofa.

“Waktu ibu ana sudah mempunyai 4 anak, kandungannya disterilisasi. Tetapi selang beberapa tahun kemudian, ibu bermimpi. Dalam mimpinya itu ibu menggendong bayi. Mimpi itu tidak terjadi sekali, tetapi beberapa waktu kemudian mimpi yang sama berulang. Ibu menceritakan pada ayah, tetapi mereka tidak mengerti apa arti mimpi itu. Mungkin saking bingungnya, mereka ke dokter minta bagaimana caranya agar ibu bisa hamil lagi. Tetapi dokter bilang tidak bisa.”

“Kalau sudah steril memang tidak bisa,” kata saya.

“Beberapa waktu kemudian, ketika ibu ana berangkat bekerja, setibanya di stasiun Cilebut (sebelum stasiun Bogor), ibu melihat seorang perempuan menggendong bayi yang masih merah. Bayi itu sedang menangis. Ibu bayi itu – yang ternyata adalah seorang pemulung – tampak kebingungan dan tidak mampu membujuk bayinya. Melihat hal itu ibu langsung mendatangi perempuan itu. Setelah bercakap-cakap sebentar, perempuan itu mengajak ibu ke tempat tinggalnya. Rumahnya bedeng di dekat rel kereta api.”

“Apakah perempuan itu punya anak-anak lain selain bayi itu?” tanya saya.
“Punya, beberapa,” jawab Mustofa.
“Suaminya dimana?”
“Nah, ketika perempuan itu ditanya mana suaminya, ia menunjuk seorang laki-laki lusuh yang pada saat itu juga ada di situ.”

Kemudian Mustofa melanjutkan: “Ibu ana bilang kepada perempuan itu, boleh nggak bayinya diminta. Perempuan itu tidak mau memberikan. Beberapa lama ibu menjelaskan bahwa lebih baik bayi itu kami rawat dan pelihara, bahkan ibu berjanji untuk menyekolahkan dan mendidik dengan baik, tetapi perempuan itu tetap menolak. Sampai terakhir kali, ibu mencopot cincin kawinnya dan memberikan kepada perempuan itu. Perempuan itu mulai ragu, tetapi laki-laki yang lusuh itu, begitu melihat cincin kawin itu, segera meminta agar bayi itu lekas diserahkan.”

“Wahh..sampai segitunya ibu kamu ya,” kata saya. “Mau mengambil bayi yang tidak jelas begitu?” saya melanjutkan dengan perasaan campur aduk.
Mustofa diam.
“Bagaimana dengan ayah? Tadi ibu kan memutuskan sendiri di stasiun, tidak minta pertimbangan ayah.”
“Alhamdullillah, ayah ana tidak komplain sama-sekali.”

Bayi yang kemudian dinamai Syaiful (bukan nama sebenarnya) itu sekarang telah berumur 11 tahun. Dan perempuan yang mengandungnya di stasiun itu tak pernah tahu dimana rimbanya, karena orang-tua Mustofa memang tidak ingin mencarinya. Mereka berkomitmen untuk merahasiakan darimana anak itu berasal. Orang-tua Mustofa benar-benar menjadikannya seperti anak sendiri dalam keluarga mereka.

Mustofa menceritakan, dalam tumbuh-kembangnya Syaiful sangat nakal, hiperaktif, dan suka memberontak (tidak taat). Pendeknya tabiatnya jauh berbeda dengan kakak-kakaknya. Tetapi walaupun demikian, Mustofa mengatakan bahwa ibu dan ayahnya tetap berusaha bersikap adil. Syaiful tetap diperhatikan sebagai “anak bungsu”, dicukupi kebutuhannya dan disekolahkan di sekolah yang baik.

“Bagaimana perasaanmu melihat Syaiful sangat nakal dan suka bikin onar di keluarga?” tanya saya.
“Terkadang kami jengkel dan marah juga, tetapi kami diajar untuk menyayangi, sehingga tidak pernah membencinya walaupun kami tahu ia adik tiri.”
“Apakah betul-betul ia tidak tahu bahwa dirinya bukan anak kandung di keluargamu?”
“Kami menjaga rahasia itu.”
“Hmm…saya membayangkan bagaimana Syaiful akan bersyukur luar biasa dan berterimakasih kepada ibu dan ayahmu kelak, seandainya Tuhan mengijinkannya untuk tahu siapa ia sebenarnya dan darimana ia berasal,” kata saya.

Sampai disitu cerita berhenti. Kami terdiam cukup lama di pesawat terbang. Pikiran saya berkecamuk antara kagum, terharu dan bertanya-tanya. Saya teringat waktu saya dan istri saya belum dikaruniai anak dan harus menunggu dengan sabar selama 8 tahun. Waktu itu kami juga ingin mengadopsi anak. Kami membicarakannya dan bermaksud mencarinya di panti asuhan, bukan di stasiun. Kami ingin mencari anak (bayi) yang cantik, bersih, dan lucu untuk kami bawa pulang. Tapi niat itu kami batalkan.

Tetapi ibu Mustofa (dan suaminya) benar-benar mempunyai hati bagaikan permata. Mereka tidak memilih bayi dari tempat yang selayaknya, tetapi mengangkat anak dari stasiun, bayi yang masih merah dari seorang perempuan yang hidupnya tidak jelas. Bayi itu kemungkinan berperawakan jelek, kurus, dan dekil karena terlahir di pinggir rel kereta api. Bayi itu tak mungkin bayi yang lucu dan menggemaskan. Tangisan bayi itu mungkin akibat kedinginan karena tak diselimuti, kelaparan karena tak disusui, dan ketakutan karena tak dibelai dengan penuh kasih sayang. Tetapi toh tetap dibawanya bayi itu pulang, dirawatnya, diasuhnya, dididiknya dan disekolahkannya hingga besar, tak peduli anak itu perilakunya begitu berbeda dengan anak-anak kandungnya sendiri.

Cinta macam apakah yang ada pada mereka?

Saya heran cinta seperti itu dibuahkan oleh seorang Muslim. Tetapi saya lebih heran karena saya jarang menjumpai orang Kristen di sekitar kita yang membuahkan cinta semulia itu di jaman sekarang. Cinta orang Kristen kebanyakan masih cinta yang memilih-milih. Sayapun masih seperti itu, memilih orang yang ingin saya kasihi. “Jika kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Orang yang tidak mengenal Allahpun melakukannya,” kata Yesus.

Betapa saya bersyukur karena ternyata cinta seperti itu masih ada di bumi ini. Tetapi mengapa cinta seperti itu justru lahir di jalanan? Bukankah seharusnya gereja lebih kaya akan cinta karena memiliki Kristus Sang Cinta itu? Mungkin ibu Mustofa bukan satu-satunya, tetapi adakah kita menemukan yang serupa? Entahkah cinta itu adalah natural love yang lahir dari dalam dirinya, ataukah divine love yang lahir dari Allah, cinta sangat dibutuhkan untuk menyiram bumi yang sedang menggelepar karena aniaya ini. Andaikan cinta itu pergi dan tidak kembali, maka bumi kita hanya menunggu mati. “Take away love and our earth is a tomb,” kata dramawan Inggris, Robert Browning.

Kita tak pernah tahu apa motivasi ibu dan ayah Mustofa melakukan hal itu. Mungkin sebagian dari kita dengan sinis “menuduh” mereka melakukannya untuk mengejar pahala. Tetapi, apakah pahala mampu untuk membuatnya sabar selama 11 tahun mengasuh kenakalan seorang yang bukan siapa-siapa baginya? Tetapi andaikan ibu dan ayah Mustofa melakukannya demi sebuah pahala, hal itu masih lebih baik, ketimbang orang Kristen yang tidak melakukan apa-apa.

Ketika pesawat terbang mendarat di bandara Adi Sumarmo, Solo, Mustofa menemani dan mengantar saya sampai ke terminal Tirtonadi. Dari situ, ia melanjutkan naik taksi ke pondok pesantren tempat ia mau mengabdi selama 1 tahun. Saya termangu, menunggu bis jurusan Ponorogo.

***

You can give without loving, but you can never love without giving (Robert Louis Stevenson)

Serpong, Agst 2014
Titus J.

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...