Dalam
perjalanan saya ke Solo baru-baru ini, di pesawat terbang saya duduk
bersebelahan dengan seorang pemuda. Pemuda itu berpakaian baju koko warna putih,
rambutnya disisir rapi dan berkumis tipis.
Waktu
itu liburan Lebaran baru usai dan banyak orang dari daerah yang berlibur ke
Jakarta berbondong-bondong kembali ke daerahnya masing-masing. Deretan kursi
pesawat terbang yang saya tumpangi penuh. Dari hiruk-pikuk obrolan para
penumpang, saya tahu bahwa mereka kebanyakan berasal dari daerah.
Ketika
pesawat sudah lepas landas, saya tergerak untuk menyapa pemuda berkulit kuning
langsat itu yang dari sikap dan raut wajahnya meyakinkan bahwa ia adalah
seorang yang sopan.
“Mau
pulang ke Solo, dik?” sapa saya.
“Tidak
Pak, ana mau ke Karanganyar,”
jawabnya. Oh, dia memakai kata ‘ana’ untuk menyebut dirinya. ‘Ana’ adalah
‘saya’ dalam bahasa Arab.
“Rumah
adik di Karanganyar?” tanya saya.
“Hmm..bukan,
rumah ana di Jakarta, ini mau ke
pondok.”
“Pondok
pesantren? Sekolah?”
“Hmm..ana sudah lulus kelas 3, ini mau
pengabdian 1 tahun,” jawabnya.
“Pengabdian?
Maksud pengabdian gimana Dik?
“Membantu
kakak-kakak Pembina dan Ustadz, mengajar atau kegiatan lain di pondok.”
“Wahh..
bagus ya, abis lulus ada 1 tahun
pengabdian. Di pondok pesantren mana?”
Ia
menyebut nama pondok pesantren di kabupaten Karanganyar.
Setelah
itu kami asyik mengobrol. Pemuda itu memperkenalkan dirinya dengan nama ‘Mustofa’
(bukan nama sebenarnya). Mengingat usianya jauh di bawah saya, maka saya bilang
kepadanya untuk memanggil Mustofa saja. Saya bertanya mengenai kegiatannya
selama belajar di pondok pesantren, dan alasan mengapa ia lebih memilih sekolah
di pondok pesantren ketimbang di sekolah umum.
“Dikirim
oleh ayah atau ibu? Atau mau sendiri?” tanya saya.
“Ana mau sendiri. Kurikulum pondok
pesantren mirip dengan sekolah umum, tetapi ilmu agama Islamnya diperkuat, dan sehari-hari
kami diwajibkan pakai bahasa Arab.”
“Setelah
selesai 1 tahun pengabdian nanti, mau melanjutkan kuliah kemana?”
“Ke Medinah,
Islamic University of Madina,” jawabnya.
“Abis lulus dari Medinah mau kerja apa?”
“Ana mau jadi pengajar...”
Pesawat
yang kami tumpangi dalam beberapa detik mengalami guncangan. Saya menengok ke
jendela, cerah, tidak ada tanda-tanda mau hujan. Hari itu saya tidak jadi
membaca buku, padahal saya sudah menyiapkan buku otobiografi Ronald Reagan
untuk menemani perjalanan saya. Mengobrol dengan Mustofa soal pondok pesantren
cukup menarik. Maka Reagan pun saya diamkan saja di pangkuan saya.
“Di
pondok ada perpustakaan?”
“Ada.”
“Internet?”
“Ada,
tetapi kami tidak boleh pakai internet sendiri.”
“Lho
kenapa? Di internet juga banyak ilmu. Misalkan kalau perlu data untuk tugas sekolah.”
“Kalau perlu
cari referensi, minta ke Ustadz atau kakak Pembina untuk browsing,” jawabnya.
“Ohh..”
Beberapa
saat kemudian ganti Mustofa bertanya kepada saya. Ia menanyakan tentang tujuan perjalanan
saya ke Solo, kemudian soal pekerjaan saya, anak-anak dan keluarga. Ketika kami
ngobrol soal keluarga, di sinilah cerita yang mengagumkan dimulai. Cerita
berawal ketika ia mengatakan, “Saya empat bersaudara, eh, bukan, lima
bersaudara.” Sebelum saya sempat bertanya, ia melanjutkan, “Hmm…empat saudara
kandung, abis itu ibu ana mengambil anak lagi.”
“Sudah
punya 4 anak, masih mengadopsi lagi?” Saya bertanya penasaran.
“Benar,”
jawabnya.
Sekilas
saya teringat ada banyak contoh keluarga-keluarga yang mengadopsi anak dari sanak-keluarga
mereka yang “kebanyakan” anak. Jaman saya masih kecil saya sering mendengar
cerita dari orang-tua saya perihal keluarga yang “kebanyakan” anak, yang tiap
tahun melahirkan padahal kondisi ekonominya sangat tidak cukup.
“Oh,
mungkin mengadopsi dari family yang
tidak mampu begitu ya?”
“Hmm…bukan,
eh, hmm.. ibu ambil di stasiun,” jawabnya sambil memandang ke arah saya.
Saya
agak ragu-ragu sebentar, tapi saya bertanya lagi untuk meyakinkan telinga saya,
“Ambil di stasiun?”
Lalu berceritalah Mustofa.
“Waktu
ibu ana sudah mempunyai 4 anak,
kandungannya disterilisasi. Tetapi selang beberapa tahun kemudian, ibu
bermimpi. Dalam mimpinya itu ibu menggendong bayi. Mimpi itu tidak terjadi
sekali, tetapi beberapa waktu kemudian mimpi yang sama berulang. Ibu menceritakan
pada ayah, tetapi mereka tidak mengerti apa arti mimpi itu. Mungkin saking
bingungnya, mereka ke dokter minta bagaimana caranya agar ibu bisa hamil lagi.
Tetapi dokter bilang tidak bisa.”
“Kalau
sudah steril memang tidak bisa,” kata saya.
“Beberapa
waktu kemudian, ketika ibu ana
berangkat bekerja, setibanya di stasiun Cilebut (sebelum stasiun Bogor), ibu
melihat seorang perempuan menggendong bayi yang masih merah. Bayi itu sedang
menangis. Ibu bayi itu – yang ternyata adalah seorang pemulung – tampak
kebingungan dan tidak mampu membujuk bayinya. Melihat hal itu ibu langsung
mendatangi perempuan itu. Setelah bercakap-cakap sebentar, perempuan itu
mengajak ibu ke tempat tinggalnya. Rumahnya bedeng di dekat rel kereta api.”
“Apakah
perempuan itu punya anak-anak lain selain bayi itu?” tanya saya.
“Punya,
beberapa,” jawab Mustofa.
“Suaminya
dimana?”
“Nah,
ketika perempuan itu ditanya mana suaminya, ia menunjuk seorang laki-laki lusuh
yang pada saat itu juga ada di situ.”
Kemudian
Mustofa melanjutkan: “Ibu ana bilang
kepada perempuan itu, boleh nggak bayinya diminta. Perempuan itu tidak mau
memberikan. Beberapa lama ibu menjelaskan bahwa lebih baik bayi itu kami rawat
dan pelihara, bahkan ibu berjanji untuk menyekolahkan dan mendidik dengan baik,
tetapi perempuan itu tetap menolak. Sampai terakhir kali, ibu mencopot cincin
kawinnya dan memberikan kepada perempuan itu. Perempuan itu mulai ragu, tetapi
laki-laki yang lusuh itu, begitu melihat cincin kawin itu, segera meminta agar
bayi itu lekas diserahkan.”
“Wahh..sampai
segitunya ibu kamu ya,” kata saya. “Mau mengambil bayi yang tidak jelas
begitu?” saya melanjutkan dengan perasaan campur aduk.
Mustofa
diam.
“Bagaimana
dengan ayah? Tadi ibu kan memutuskan sendiri di stasiun, tidak minta
pertimbangan ayah.”
“Alhamdullillah,
ayah ana tidak komplain sama-sekali.”
Bayi
yang kemudian dinamai Syaiful (bukan nama sebenarnya) itu sekarang telah
berumur 11 tahun. Dan perempuan yang mengandungnya di stasiun itu tak pernah
tahu dimana rimbanya, karena orang-tua Mustofa memang tidak ingin mencarinya.
Mereka berkomitmen untuk merahasiakan darimana anak itu berasal. Orang-tua
Mustofa benar-benar menjadikannya seperti anak sendiri dalam keluarga mereka.
Mustofa
menceritakan, dalam tumbuh-kembangnya Syaiful sangat nakal, hiperaktif, dan
suka memberontak (tidak taat). Pendeknya tabiatnya jauh berbeda dengan
kakak-kakaknya. Tetapi walaupun demikian, Mustofa mengatakan bahwa ibu dan
ayahnya tetap berusaha bersikap adil. Syaiful tetap diperhatikan sebagai “anak
bungsu”, dicukupi kebutuhannya dan disekolahkan di sekolah yang baik.
“Bagaimana
perasaanmu melihat Syaiful sangat nakal dan suka bikin onar di keluarga?” tanya
saya.
“Terkadang
kami jengkel dan marah juga, tetapi kami diajar untuk menyayangi, sehingga
tidak pernah membencinya walaupun kami tahu ia adik tiri.”
“Apakah
betul-betul ia tidak tahu bahwa dirinya bukan anak kandung di keluargamu?”
“Kami
menjaga rahasia itu.”
“Hmm…saya
membayangkan bagaimana Syaiful akan bersyukur luar biasa dan berterimakasih
kepada ibu dan ayahmu kelak, seandainya Tuhan mengijinkannya untuk tahu siapa
ia sebenarnya dan darimana ia berasal,” kata saya.
Sampai
disitu cerita berhenti. Kami terdiam cukup lama di pesawat terbang. Pikiran
saya berkecamuk antara kagum, terharu dan bertanya-tanya. Saya teringat waktu
saya dan istri saya belum dikaruniai anak dan harus menunggu dengan sabar
selama 8 tahun. Waktu itu kami juga ingin mengadopsi anak. Kami membicarakannya
dan bermaksud mencarinya di panti asuhan, bukan di stasiun. Kami ingin mencari
anak (bayi) yang cantik, bersih, dan lucu untuk kami bawa pulang. Tapi niat itu
kami batalkan.
Tetapi
ibu Mustofa (dan suaminya) benar-benar mempunyai hati bagaikan permata. Mereka tidak
memilih bayi dari tempat yang selayaknya, tetapi mengangkat anak dari stasiun, bayi
yang masih merah dari seorang perempuan yang hidupnya tidak jelas. Bayi itu
kemungkinan berperawakan jelek, kurus, dan dekil karena terlahir di pinggir rel
kereta api. Bayi itu tak mungkin bayi yang lucu dan menggemaskan. Tangisan bayi
itu mungkin akibat kedinginan karena tak diselimuti, kelaparan karena tak
disusui, dan ketakutan karena tak dibelai dengan penuh kasih sayang. Tetapi toh
tetap dibawanya bayi itu pulang, dirawatnya, diasuhnya, dididiknya dan disekolahkannya
hingga besar, tak peduli anak itu perilakunya begitu berbeda dengan anak-anak
kandungnya sendiri.
Cinta
macam apakah yang ada pada mereka?
Saya
heran cinta seperti itu dibuahkan oleh seorang Muslim. Tetapi saya lebih heran
karena saya jarang menjumpai orang Kristen di sekitar kita yang membuahkan
cinta semulia itu di jaman sekarang. Cinta orang Kristen kebanyakan masih cinta
yang memilih-milih. Sayapun masih seperti itu, memilih orang yang ingin saya
kasihi. “Jika kamu mengasihi orang yang
mengasihi kamu, apakah jasamu? Orang yang tidak mengenal Allahpun melakukannya,”
kata Yesus.
Betapa
saya bersyukur karena ternyata cinta seperti itu masih ada di bumi ini. Tetapi
mengapa cinta seperti itu justru lahir di jalanan? Bukankah seharusnya gereja
lebih kaya akan cinta karena memiliki Kristus Sang Cinta itu?
Mungkin ibu Mustofa bukan satu-satunya, tetapi adakah kita menemukan yang
serupa? Entahkah cinta itu adalah natural
love yang lahir dari dalam dirinya, ataukah divine love yang lahir dari Allah, cinta sangat dibutuhkan untuk
menyiram bumi yang sedang menggelepar karena aniaya ini. Andaikan cinta itu
pergi dan tidak kembali, maka bumi kita hanya menunggu mati. “Take away love and our earth is a tomb,”
kata dramawan Inggris, Robert Browning.
Kita tak
pernah tahu apa motivasi ibu dan ayah Mustofa melakukan hal itu. Mungkin
sebagian dari kita dengan sinis “menuduh” mereka melakukannya untuk mengejar
pahala. Tetapi, apakah pahala mampu untuk membuatnya sabar selama 11 tahun
mengasuh kenakalan seorang yang bukan siapa-siapa baginya? Tetapi andaikan ibu
dan ayah Mustofa melakukannya demi sebuah pahala, hal itu masih lebih baik,
ketimbang orang Kristen yang tidak melakukan apa-apa.
Ketika
pesawat terbang mendarat di bandara Adi Sumarmo, Solo, Mustofa menemani dan
mengantar saya sampai ke terminal Tirtonadi. Dari situ, ia melanjutkan naik
taksi ke pondok pesantren tempat ia mau mengabdi selama 1 tahun. Saya termangu,
menunggu bis jurusan Ponorogo.
***
You can give without loving, but you can never love without
giving (Robert Louis Stevenson)
Serpong, Agst 2014
Titus J.