Emak adalah orang kampung, dan kemarin subuh sekitar jam 4 pagi ia sudah pulang ke “kampung”nya yang kekal.
Sudah beberapa
kali dalam beberapa bulan terakhir ini ia mengatakan ingin pulang ke rumah Bapa
di Surga, yang ia bayangkan sebagai kampung halamannya, yang terhampar sawah
dan padi, air sungai yang gemericik, dan angin gunung yang semilir.
Emak memang
orang yang polos, tidak pernah sekolah, tidak bisa baca-tulis. Kalau bicara pakai
Bahasa Jawa, sedikit bisa Bahasa Indonesia tapi belepotan. Tetapi heran, Tuhan
sayang sekali dengan Emak. Saya merasa sayangnya Tuhan kepada Emak melebihi sayangnya
Tuhan kepada saya.
Saya pernah
menulis cerita tentang Emak ini di blog ini dengan judul “Emak Menelepon Tuhan”.
Emak ini bukan
keluarga saya. Ia orang lain, bukan sanak, bukan famili, bukan siapa-siapa. Ia
ikut mama mertua saya sejak mudanya, bahkan sebelum istri saya lahir. Masa
kecil istri saya di kampungnya di Srono, Banyuwangi itu ya kebanyakan dengan
Emak. Jadi istri saya adalah momongan Emak, karena mama sibuk bekerja.
Tuhan begitu
sayang kepada Emak. Di usia mudanya ia memutuskan jadi Kristen, lalu dibaptis.
Surat baptisnya disimpannya hingga sekarang. Ia menyebut “Surat Permandian”.
Bertahun-tahun
Emak ikut keluarga mama mertua, bahkan sampai istri saya menikah dengan saya,
bahkan sampai mama dan papa mertua saya meninggal di tahun 2014, Emak tetap
ikut kami. Ia memasak nasi, bikin telur dadar, menyapu, dan aktifitas-aktifitas
ringan yang lain.
Sekitar lima
tahun lalu saat usianya semakin senja, ia minta pulang ke kampungnya di Tuban,
Jawa Timur, agar dekat dengan sanak-keluarganya. Emak sendiri tidak menikah,
jadi di kampungnya itu ia tinggal berdempetan dengan para keponakannya. Setiap
bulan, istri saya mengirim secara rutin susu, vitamin, dan sedikit uang ke kampung
untuk keperluan Emak sehari-hari.
Di tengah
keluarganya itu Emak adalah satu-satunya yang Kristen, dan Tuhan Yesus begitu
menjaganya.
Tahun 2019
sebelum jaman covid, saya dan keluarga menengok Emak di Tuban. Kondisinya baik
dan sehat. Tetapi sejak setahun terakhir kondisinya memang melemah, karena dimakan
usia. Kalau istri saya telepon, secara tersirat Emak seperti ingin “pindah”, hingga
tiga minggu yang lalu, karena kondisinya sangat lemah, istri saya menitipkan
Emak ke sebuah gereja di Tuban (gereja GPPS Tuban) untuk merawat Emak.
Di gereja
itulah Emak dirawat oleh Ibu Rina (Ibu gembala) dan Ibu Yemima yang kami tidak pernah
kenal sebelumnya. Dengan telaten kedua Ibu ini “ngopeni” Emak, mengajak berdoa,
menyanyi, dan ngobrol-ngobrol. “Ayok Mak, nyanyi. Mau lagu apa?” tanya Bu
Yemima. Lalu meluncurlah lagu sekolah minggu dari mulut Emak: “E, e, e, lihat
saya. Saya pakai mahkota. Mahkota dari Surga. Karena rajin berdoa…”.
Kemarin subuh,
22 Juli 2022, Emak berangkat. Umurnya sekitar 80-an. Begitu tenang, begitu
damai, begitu syahdu. Tubuhnya renta, kurus, lemah, tetapi ia pergi dengan
membawa imannya.
Selamat jalan,
Mak. Kalau tiba waktuku kelak, aku mau nyambangi kampung kekalmu di sana. Kowe opo
sik iso bikin telur dadar kanggo aku sarapan, Mak?
Di sana nanti,
saya akan melihat mahkota yang dipakai Emak mungkin bertatahkan 5 berlian,
sedangkan mahkota saya mungkin cuma 1 berlian. Tidak heran, karena Tuhan begitu
sayang dengan Emak, melebihi sayang-Nya kepada saya.
***
Serpong, 23
Juli 2022
Titus J.