Saturday, July 23, 2022

Emak Sudah Pulang Kampung

Emak adalah orang kampung, dan kemarin subuh sekitar jam 4 pagi ia sudah pulang ke “kampung”nya yang kekal.

Sudah beberapa kali dalam beberapa bulan terakhir ini ia mengatakan ingin pulang ke rumah Bapa di Surga, yang ia bayangkan sebagai kampung halamannya, yang terhampar sawah dan padi, air sungai yang gemericik, dan angin gunung yang semilir.

Emak memang orang yang polos, tidak pernah sekolah, tidak bisa baca-tulis. Kalau bicara pakai Bahasa Jawa, sedikit bisa Bahasa Indonesia tapi belepotan. Tetapi heran, Tuhan sayang sekali dengan Emak. Saya merasa sayangnya Tuhan kepada Emak melebihi sayangnya Tuhan kepada saya.

Saya pernah menulis cerita tentang Emak ini di blog ini dengan judul “Emak Menelepon Tuhan”.

Emak ini bukan keluarga saya. Ia orang lain, bukan sanak, bukan famili, bukan siapa-siapa. Ia ikut mama mertua saya sejak mudanya, bahkan sebelum istri saya lahir. Masa kecil istri saya di kampungnya di Srono, Banyuwangi itu ya kebanyakan dengan Emak. Jadi istri saya adalah momongan Emak, karena mama sibuk bekerja.

Tuhan begitu sayang kepada Emak. Di usia mudanya ia memutuskan jadi Kristen, lalu dibaptis. Surat baptisnya disimpannya hingga sekarang. Ia menyebut “Surat Permandian”.

Bertahun-tahun Emak ikut keluarga mama mertua, bahkan sampai istri saya menikah dengan saya, bahkan sampai mama dan papa mertua saya meninggal di tahun 2014, Emak tetap ikut kami. Ia memasak nasi, bikin telur dadar, menyapu, dan aktifitas-aktifitas ringan yang lain.

Sekitar lima tahun lalu saat usianya semakin senja, ia minta pulang ke kampungnya di Tuban, Jawa Timur, agar dekat dengan sanak-keluarganya. Emak sendiri tidak menikah, jadi di kampungnya itu ia tinggal berdempetan dengan para keponakannya. Setiap bulan, istri saya mengirim secara rutin susu, vitamin, dan sedikit uang ke kampung untuk keperluan Emak sehari-hari.

Di tengah keluarganya itu Emak adalah satu-satunya yang Kristen, dan Tuhan Yesus begitu menjaganya.

Tahun 2019 sebelum jaman covid, saya dan keluarga menengok Emak di Tuban. Kondisinya baik dan sehat. Tetapi sejak setahun terakhir kondisinya memang melemah, karena dimakan usia. Kalau istri saya telepon, secara tersirat Emak seperti ingin “pindah”, hingga tiga minggu yang lalu, karena kondisinya sangat lemah, istri saya menitipkan Emak ke sebuah gereja di Tuban (gereja GPPS Tuban) untuk merawat Emak.

Di gereja itulah Emak dirawat oleh Ibu Rina (Ibu gembala) dan Ibu Yemima yang kami tidak pernah kenal sebelumnya. Dengan telaten kedua Ibu ini “ngopeni” Emak, mengajak berdoa, menyanyi, dan ngobrol-ngobrol. “Ayok Mak, nyanyi. Mau lagu apa?” tanya Bu Yemima. Lalu meluncurlah lagu sekolah minggu dari mulut Emak: “E, e, e, lihat saya. Saya pakai mahkota. Mahkota dari Surga. Karena rajin berdoa…”.

Kemarin subuh, 22 Juli 2022, Emak berangkat. Umurnya sekitar 80-an. Begitu tenang, begitu damai, begitu syahdu. Tubuhnya renta, kurus, lemah, tetapi ia pergi dengan membawa imannya.

Selamat jalan, Mak. Kalau tiba waktuku kelak, aku mau nyambangi kampung kekalmu di sana. Kowe opo sik iso bikin telur dadar kanggo aku sarapan, Mak?

Di sana nanti, saya akan melihat mahkota yang dipakai Emak mungkin bertatahkan 5 berlian, sedangkan mahkota saya mungkin cuma 1 berlian. Tidak heran, karena Tuhan begitu sayang dengan Emak, melebihi sayang-Nya kepada saya.

***

Serpong, 23 Juli 2022

Titus J.

Tuesday, July 5, 2022

The Success and Mistake of Bloomberg

Michael Rubens Bloomberg –born in Boston on February 14,1942 to a Jewish family-- is an entrepreneur who elected mayor of New York City just after the 9/11 terrorist attack. He was facing myriad of challenges unlike any mayors in US history, and he proved to be successful in governing the city and restoring it from the severe destruction.

During his eight years of twelve years tenure, he kept the city safe with the record low crime (then touted as the safest big city in America), managed budgets through fiscal crises, generated jobs, built infrastructure, improved public health, etc.

However, his remarkable success was tainted by his ambition to run the third term of mayoralty despite it’s out of rule.

He forced a change in the city charter –which limit the mayoralty term to max two consecutive terms-- to allow him to serve a third term. Despite elected for the third term, his performance declined.

A pool conducted to get performance rating from the New York City voters resulted 51 percent majority disapprove of his performance against 39 percent approve, his lowest rating since 2002 when he started the first term in office. Note: In February 2002 his approval rating was 65 percent.

This biography is written by Chris McNickle, a lifelong New Yorker who earned a PhD in US history from the University of Chicago and a BA in economics and international relations from the University of Pennsylvania.

The author wrote the story in detail, through a lot of interview sessions from competent sources as well as abundant documents as references. It seems that he tried to control the tone by being as objective as possible.

In Chapter 10 of this book, McNickle gave the title “Third-Term Disasters and Triumphs” as lesson-learned, before he closed the book in Chapter 11 to describe Bloomberg’s legacy.

Power is indeed too sexy to ignore, that’s why leader who already had two terms would ask once more again, as Kissinger once said, “Power is the great aphrodisiac”.

***

Serpong, 5 Jul 2022

Titus J.

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...