Saturday, September 22, 2012

Tuhan Ketinggalan Kereta

Bisakah kita pindah jalur.

Kehidupan yang kita jalani ini, khususnya di kota besar adalah seperti menaiki kereta api express. Hari Senin sampai Jumat kita berlari dengan kecepatan penuh. Hanya di hari Sabtu dan Minggu (weekend), kita bisa bersantai sejenak dengan keluarga, menyalurkan hobi dengan bersepeda di track yang masih sepi bahkan masuk ke hutan dan kampung di pinggiran kota, pergi ke gym, jalan-jalan ke mal, makan di restoran favorit, mengunjungi teman dan kerabat, dan pergi ke gereja.

Di gereja kita duduk, berdoa, menyanyi lalu mendengarkan khotbah. Kalau pengkhotbahnya bagus kita seperti dibawa kepada suatu perenungan yang menyadarkan kita – apalagi kalau bukan tentang hidup kita – sudahkah kita bergerak dan berjalan di jalur yang benar? Waktu kita berdoa, kita berbicara kepada Tuhan, melakukan introspeksi dan mengatakan: “Tuhan, aku merasa seminggu terakhir ini banyak melakukan kesalahan dan kegagalan...

Barangkali ada yang lebih spesifik, merasa dirinya begitu berdosa karena sudah menyakiti hati orang lain, membohongi istri atau suami atau teman, berbisnis dengan tidak jujur, menekan bawahan, mengumpat atasan, merancang rencana untuk menjatuhkan orang lain, mencari keuntungan dengan trik-trik jahat, lalu dalam doanya berkata: “Tuhan, aku orang berdosa, kasihanilah aku, penuhi aku dengan kasihMu agar dalam seminggu ke depan aku dapat berbuat baik dan hidup menurut kehendakMu.

Tetapi barangkali juga ada yang dalam seminggu sebelumnya tidak terlalu merasa gagal atau berdosa, lalu doanya hanya berisikan permintaan-permintaan yang ditujukan demi kepentingannya, misalkan agar berhasil dalam pekerjaannya, dipromosikan, menang tender atau bisnisnya makin maju dan besar.

Entah apapun yang kita alami seminggu sebelumnya, bertemu dan ngobrol-ngobrol dengan teman-teman gereja membuat kita seolah lupa akan kepenatan yang kita alami dalam kehidupan ‘harian’ kita. Di dalam gereja hati kita seolah merasa lain, seolah sedang berada di dunia lain. Mendengar khotbah yang bagus hati kita sering tersentuh, kadang malah meneteskan air mata, lalu kita berjanji kepada Tuhan: “Ya Tuhan aku ingin berjalan bersamaMu setiap hari, terutama dalam langkahku seminggu ke depan, agar minggu depan ketika aku berada di dalam gereja ini lagi maka bukan cerita kegagalan dan keberdosaan yang aku bawa kepadaMu…

Lalu tibalah hari Senin.

Kehidupan ‘harian’ kita dimulai lagi. Begitu bangun dari tidur maka kita sudah melihat lokomotif express menunggu di seberang rumah. Otak kita yang terlena selama dua hari di Sabtu dan Minggu mendadak berputar, mula-mula pelahan, kemudian agak cepat, lebih cepat, cepat dan cepat sekali. Dari pagi hingga malam kita sibuk dengan urusan kita sendiri. Di kantor (atau tempat kerja manapun), kita bertemu dengan banyak orang dengan berbagai latar belakang dan karakter, berinteraksi dengan mereka soal bisnis dan pekerjaan kita yang kesemuanya itu kita ‘mainkan’ dengan otak kita yang pintar.

Kita sampai di rumah sudah larut malam, lalu kita ngobrol sejenak dengan istri atau suami kita, mungkin dengan anak kita atau mungkin juga tidak karena anak kita sudah terlelap mendahului kita. Ketika cahaya mata kita sudah tinggal ‘lima watt’ kita ingin segera naik tempat tidur dan melepaskan penat, tetapi karena kita orang Kristen maka sepantasnya berdoa dulu sebelum tidur. Tidak elok rasanya sebagai orang Kristen tidak berdoa. Di tengah sunyinya malam dan cahaya mata yang semakin redup kita mengucapkan doa di luar kepala, doa yang ‘itu-itu’ juga, yang kita ucapkan dengan cepat-cepat. Kita tak lupa memohon agar Tuhan tetap melek menjadi satpam demi menjaga kita sementara kita mendengkur.

Lalu tibalah hari Selasa.

Kehidupan ‘harian’ kita mirip dengan hari Senin. Kalau ada hal-hal yang berbeda hanyalah karena adanya sedikit variasi misalkan ada kasus yang berbeda atau incident yang berbeda dari hari sebelumnya. Namun cara kita menyikapinya sama, sebab semuanya kita ‘mainkan’ dengan otak kita yang pintar. Cara kita memutar otak sama persis dengan hari kemarin. Sesampainya di rumah kitapun bersikap sama, mungkin bahkan waktu ngobrol dengan istri kita harus kita kurangi sedikit karena kita ingin cepat-cepat tidur. Sebagai orang Kristen, tentu kita tidak lupa berdoa sebelum tidur, tetapi kalimat doa kita terpaksa harus diperpendek lagi karena mata kita sudah berat.

Demikianlah keesokan harinya di hari Rabu, Kamis dan Jumat waktu berlalu begitu cepat, dengan segala rutinitas dan kesibukan yang mirip, dengan ketergesaan mengejar business opportunity agar tidak terlepas, dengan segala pertimbangan risiko yang cermat, dengan perhitungan untung-untung, bukan untung-rugi. Dan pada hari Jumat itu setelah seharian kita sibuk, sesampainya di rumah kita hanya sempat berpapasan saja dengan istri kita tanpa sempat mengobrol apa-apa karena energi kita sudah habis terkuras selama lima hari.

Lalu tibalah hari Sabtu.

Baru saja kita robek kertas kalender harian kita setelah bangun tidur di pagi hari, hari telah malam lagi dan kitapun bersiap tidur.

Di pagi hari Minggu setelah bangun tidur mendadak kita tersadar, hari ini kita harus ke gereja karena kita orang Kristen. Di bangku gereja kita duduk lalu merenung (syukurlah masih bisa merenung), apa yang sudah kita jalani selama seminggu terakhir? Maka ingatlah kita bahwa kita telah berjanji kepada Tuhan di gereja pada hari minggu sebelumnya, bahwa kita ingin berjalan bersama Tuhan setiap hari, tetapi, benarkah dari hari Senin sampai Sabtu Tuhan sudah berjalan bersama dengan kita?

Kita benar-benar seperti menaiki kereta api express, dari hari Senin di sebuah stasiun, lalu bergerak ke hari Selasa melewati stasiun berikutnya tanpa berhenti, kemudian ke hari Rabu, Kamis dan Jumat, dari stasiun ke stasiun, melaju kencang tanpa berhenti, dan sampai di stasiun terakhir kita baru sadar bahwa Tuhan masih ketinggalan di stasiun pertama, karena tidak kita ajak naik bersama-sama karena kita selalu terburu-buru.

Kita benar-benar lupa bahwa Tuhan kita biarkan berdiri seorang diri di stasiun itu, berhari-hari, kedinginan, kehausan dan lapar, sementara kita terus tancap gas mengejar kebutuhan, mengejar target, mengejar cita-cita.

Sesibuk itukah kita hingga begitu gampangnya kita lupa bahwa ada Tuhan yang ingin sekali kita ajak menumpang kereta api, sekedar duduk berduaan di bangku kereta api itu, dan mengobrol? Sudah tidak perlukah kita mendengarkanNya karena mendengarkan kolega bisnis kita lebih penting? Padahal kita tahu, betapa perkataanNya berisi nilai-nilai kekal, jauh lebih bernilai dari yang sedang kita kejar saat ini. Ingatkah kita apa yang dikatakanNya waktu Ia bertamu ke rumah Maria dan Marta? : “Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara, tetapi hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya." (Yoh 10:41-42).

Cerita Yesus dengan Maria dan Marta membuat kita terpaksa harus me-review kembali, benarkah kesibukan kita dalam bidang apapun adalah penting di mata Tuhan, bahkan dalam kesibukan pelayanan di gerejapun, sungguhkah sudah memberi arti khusus buat Tuhan?

Jika kita merenungkan perkataanNya kepada Marta, betapa sederhananya harapanNya akan sebuah relationship. Ia hanya menganggap penting kebersamaanNya dengan orang yang mau menyediakan diri untuk mendengarkanNya, bukan kesibukan yang dilakukan dengan maksud semulia apapun. Saat itu mungkin Marta ingin menjamuNya dengan hidangan yang lezat karena kedatangan tamu penting. Namun Marta kecele, karena ternyata Yesus lebih suka ditemui dan diajak ngobrol ketimbang dibikinkan hidangan selezat apapun.

Betapa dekatnya hubungan Yesus dengan Maria. Memang tidak diceritakan seberapa sering Yesus bertamu ke rumahnya, namun kita tahu dalam cerita yang dicatat oleh Alkitab bahwa Marialah yang pernah membuat hati Yesus mengharu-biru hingga menangis ketika Maria berduka karena kematian saudaranya, Lazarus. Mungkinkah kedekatan ini terjadi hanya dengan pertemuan yang satu-dua kali saja? Waktu menciptakan hubungan yang dekat, karena tidak ada intimacy tanpa waktu kebersamaan.

Di stasiun itu Tuhan sudah terlanjur berdiri dan menanti karena kita telah berjanji. Sayangnya kesibukan kita sebagai ‘orang penting’ membuat kita lupa, lalu meninggalkanNya di stasiun itu.

Barangkali ada harinya dimana kita masih mengingat janji kita di tengah kesibukan kita yang luar biasa itu. Lalu kita mengajaknya naik kereta api, dan kita memilih kereta api yang elit karena menyangka Tuhan senang dengan kereta api express semacam KA Argo Bromo yang menempuh Jakarta – Surabaya sejarak 800 km ‘hanya’ dalam waktu 9 jam. Kita yakin bahwa Tuhan juga mempunyai prinsip ‘lebih cepat lebih baik’ untuk sampai ke tujuan. Ahh, mungkin kereta api inipun kurang cepat, karena kita tak mau opportunity yang sudah ada di depan kita dipatok ayam. Lalu kita memilih kereta api super cepat semacam Jinghu High Speed Railway yang menempuh Beijing – Shanghai sejarak 1.318 km ‘hanya’ dalam 4 jam. Bayangkan kita duduk di dalam kuda besi yang lari dengan kecepatan 320 km/jam - kecepatan yang hanya bisa ditandingi oleh mobil Formula One Mc.Laren-Mercedes yang dikemudikan oleh Mika Hakkinen dengan kecepatan 386 km/jam di tahun 1998.

Betapa cepatnya laju kereta api ini, larinya bagaikan sekelebat bayang-bayang hingga ekor mata kitapun tak mampu menangkapnya. Namun dalam kemewahan kereta api yang design interiornya semewah hotel berbintang lima itu, tetap saja pikiran kita melayang jauh. Dalam hembusan udara AC yang sejuk dan enaknya bangku yang empuk itu kita sebentar-sebentar menguap, lalu terkantuk-kantuk dan akhirnya tertidur. Kita membiarkan Tuhan duduk di sebelah kita tanpa percakapan apa-apa.

Maka kereta api express adalah cermin ketergesaan. Hari Senin sampai Sabtu kita memilih kereta api express untuk membawa kita, tapi Tuhan kita tinggalkan di stasiun. Hari Minggu kita temui Tuhan di dalam gereja hanya untuk berjanji untuk tidak meninggalkanNya di stasiun lagi. Tetapi di hari Senin berikutnya kita tetap memilih jalur kereta api express dan Tuhan ketinggalan kereta lagi.

Benarkah Ia senang kita ajak naik kereta api express? Benarkah kehidupan modern yang serba cepat ini memuaskan kerinduanNya akan sebuah relationship?
 
Jangan-jangan ketimbang kita berada di jalur KA Argo Bromo atau Jinghu High Speed Railway, Tuhan lebih suka kita memilih Sepur Kluthuk Jaladara, kereta api uap tua buatan tahun 1896, yang merupakan icon kota Solo yang melintas dari Purwosari sampai Sangkrah. Memang kereta api ini jalannya terbongkok-bongkok dan terbatuk-batuk mirip orang tua kena asma, namun di sepur kluthuk ini ketergesaan akan menguap bersama dengan asap cerobongnya, hingga kita punya waktu yang panjang untuk mengobrol berduaan dengan Tuhan, sebebas dan sepuas kita.

Bisakah kita pindah jalur?
***
Serpong, 9 Sep 2012

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...