Kehidupan
yang kita jalani ini, khususnya di kota besar adalah seperti menaiki kereta api
express. Hari Senin sampai Jumat kita
berlari dengan kecepatan penuh. Hanya di hari Sabtu dan Minggu (weekend), kita bisa bersantai sejenak
dengan keluarga, menyalurkan hobi dengan bersepeda di track yang masih sepi bahkan masuk ke hutan dan kampung di
pinggiran kota, pergi ke gym, jalan-jalan ke mal, makan di restoran favorit,
mengunjungi teman dan kerabat, dan pergi ke gereja.
Di gereja
kita duduk, berdoa, menyanyi lalu mendengarkan khotbah. Kalau pengkhotbahnya
bagus kita seperti dibawa kepada suatu perenungan yang menyadarkan kita –
apalagi kalau bukan tentang hidup kita – sudahkah kita bergerak dan berjalan di
jalur yang benar? Waktu kita berdoa, kita berbicara kepada Tuhan, melakukan
introspeksi dan mengatakan: “Tuhan, aku merasa seminggu terakhir ini banyak
melakukan kesalahan dan kegagalan...”
Barangkali
ada yang lebih spesifik, merasa dirinya begitu berdosa karena sudah menyakiti
hati orang lain, membohongi istri atau suami atau teman, berbisnis dengan tidak
jujur, menekan bawahan, mengumpat atasan, merancang rencana untuk menjatuhkan
orang lain, mencari keuntungan dengan trik-trik jahat, lalu dalam doanya
berkata: “Tuhan, aku orang berdosa, kasihanilah aku, penuhi aku dengan kasihMu
agar dalam seminggu ke depan aku dapat berbuat baik dan hidup menurut
kehendakMu.”
Tetapi
barangkali juga ada yang dalam seminggu sebelumnya tidak terlalu merasa gagal
atau berdosa, lalu doanya hanya berisikan permintaan-permintaan yang ditujukan
demi kepentingannya, misalkan agar berhasil dalam pekerjaannya, dipromosikan,
menang tender atau bisnisnya makin maju dan besar.
Entah apapun
yang kita alami seminggu sebelumnya, bertemu dan ngobrol-ngobrol dengan
teman-teman gereja membuat kita seolah lupa akan kepenatan yang kita alami
dalam kehidupan ‘harian’ kita. Di dalam gereja hati kita seolah merasa lain,
seolah sedang berada di dunia lain. Mendengar khotbah yang bagus hati kita
sering tersentuh, kadang malah meneteskan air mata, lalu kita berjanji kepada
Tuhan: “Ya Tuhan aku ingin berjalan bersamaMu setiap hari, terutama dalam
langkahku seminggu ke depan, agar minggu depan ketika aku berada di dalam
gereja ini lagi maka bukan cerita kegagalan dan keberdosaan yang aku bawa
kepadaMu…”
Lalu tibalah
hari Senin.
Kehidupan
‘harian’ kita dimulai lagi. Begitu bangun dari tidur maka kita sudah melihat lokomotif
express menunggu di seberang rumah.
Otak kita yang terlena selama dua hari di Sabtu dan Minggu mendadak berputar,
mula-mula pelahan, kemudian agak cepat, lebih cepat, cepat dan cepat sekali. Dari
pagi hingga malam kita sibuk dengan urusan kita sendiri. Di kantor (atau tempat
kerja manapun), kita bertemu dengan banyak orang dengan berbagai latar belakang
dan karakter, berinteraksi dengan mereka soal bisnis dan pekerjaan kita yang
kesemuanya itu kita ‘mainkan’ dengan otak kita yang pintar.
Kita sampai
di rumah sudah larut malam, lalu kita ngobrol sejenak dengan istri atau suami
kita, mungkin dengan anak kita atau mungkin juga tidak karena anak kita sudah
terlelap mendahului kita. Ketika cahaya mata kita sudah tinggal ‘lima watt’
kita ingin segera naik tempat tidur dan melepaskan penat, tetapi karena kita
orang Kristen maka sepantasnya berdoa dulu sebelum tidur. Tidak elok rasanya
sebagai orang Kristen tidak berdoa. Di tengah sunyinya malam dan cahaya mata
yang semakin redup kita mengucapkan doa di luar kepala, doa yang ‘itu-itu’ juga,
yang kita ucapkan dengan cepat-cepat. Kita tak lupa memohon agar Tuhan tetap
melek menjadi satpam demi menjaga kita sementara kita mendengkur.
Lalu tibalah
hari Selasa.
Kehidupan
‘harian’ kita mirip dengan hari Senin. Kalau ada hal-hal yang berbeda hanyalah
karena adanya sedikit variasi misalkan ada kasus yang berbeda atau incident yang berbeda dari hari
sebelumnya. Namun cara kita menyikapinya sama, sebab semuanya kita ‘mainkan’
dengan otak kita yang pintar. Cara kita memutar otak sama persis dengan hari
kemarin. Sesampainya di rumah kitapun bersikap sama, mungkin bahkan waktu
ngobrol dengan istri kita harus kita kurangi sedikit karena kita ingin
cepat-cepat tidur. Sebagai orang Kristen, tentu kita tidak lupa berdoa sebelum
tidur, tetapi kalimat doa kita terpaksa harus diperpendek lagi karena mata kita
sudah berat.
Demikianlah keesokan
harinya di hari Rabu, Kamis dan Jumat waktu berlalu begitu cepat, dengan segala
rutinitas dan kesibukan yang mirip, dengan ketergesaan mengejar business opportunity agar tidak
terlepas, dengan segala pertimbangan risiko yang cermat, dengan perhitungan
untung-untung, bukan untung-rugi. Dan pada hari Jumat itu setelah seharian kita
sibuk, sesampainya di rumah kita hanya sempat berpapasan saja dengan istri kita
tanpa sempat mengobrol apa-apa karena energi kita sudah habis terkuras selama
lima hari.
Lalu tibalah
hari Sabtu.
Baru saja
kita robek kertas kalender harian kita setelah bangun tidur di pagi hari, hari
telah malam lagi dan kitapun bersiap tidur.
Di pagi hari
Minggu setelah bangun tidur mendadak kita tersadar, hari ini kita harus ke
gereja karena kita orang Kristen. Di bangku gereja kita duduk lalu merenung
(syukurlah masih bisa merenung), apa yang sudah kita jalani selama seminggu
terakhir? Maka ingatlah kita bahwa kita telah berjanji kepada Tuhan di gereja
pada hari minggu sebelumnya, bahwa kita ingin berjalan bersama Tuhan setiap
hari, tetapi, benarkah dari hari Senin sampai Sabtu Tuhan sudah berjalan bersama
dengan kita?
Kita
benar-benar seperti menaiki kereta api express,
dari hari Senin di sebuah stasiun, lalu bergerak ke hari Selasa melewati
stasiun berikutnya tanpa berhenti, kemudian ke hari Rabu, Kamis dan Jumat, dari
stasiun ke stasiun, melaju kencang tanpa berhenti, dan sampai di stasiun
terakhir kita baru sadar bahwa Tuhan masih ketinggalan di stasiun pertama,
karena tidak kita ajak naik bersama-sama karena kita selalu terburu-buru.
Kita
benar-benar lupa bahwa Tuhan kita biarkan berdiri seorang diri di stasiun itu,
berhari-hari, kedinginan, kehausan dan lapar, sementara kita terus tancap gas
mengejar kebutuhan, mengejar target, mengejar cita-cita.
Sesibuk
itukah kita hingga begitu gampangnya kita lupa bahwa ada Tuhan yang ingin
sekali kita ajak menumpang kereta api, sekedar duduk berduaan di bangku kereta
api itu, dan mengobrol? Sudah tidak perlukah kita mendengarkanNya karena
mendengarkan kolega bisnis kita lebih penting? Padahal kita tahu, betapa perkataanNya
berisi nilai-nilai kekal, jauh lebih bernilai dari yang sedang kita kejar saat
ini. Ingatkah kita apa yang dikatakanNya waktu Ia bertamu ke rumah Maria dan
Marta? : “Marta, Marta, engkau kuatir dan
menyusahkan diri dengan banyak perkara, tetapi hanya satu saja yang perlu:
Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya."
(Yoh 10:41-42).
Cerita Yesus
dengan Maria dan Marta membuat kita terpaksa harus me-review kembali, benarkah kesibukan kita dalam bidang apapun adalah
penting di mata Tuhan, bahkan dalam kesibukan pelayanan di gerejapun,
sungguhkah sudah memberi arti khusus buat Tuhan?
Jika kita
merenungkan perkataanNya kepada Marta, betapa sederhananya harapanNya akan
sebuah relationship. Ia hanya
menganggap penting kebersamaanNya dengan orang yang mau menyediakan diri untuk
mendengarkanNya, bukan kesibukan yang dilakukan dengan maksud semulia apapun. Saat
itu mungkin Marta ingin menjamuNya dengan hidangan yang lezat karena kedatangan
tamu penting. Namun Marta kecele, karena ternyata Yesus lebih suka ditemui dan
diajak ngobrol ketimbang dibikinkan hidangan selezat apapun.
Betapa
dekatnya hubungan Yesus dengan Maria. Memang tidak diceritakan seberapa sering
Yesus bertamu ke rumahnya, namun kita tahu dalam cerita yang dicatat oleh
Alkitab bahwa Marialah yang pernah membuat hati Yesus mengharu-biru hingga
menangis ketika Maria berduka karena kematian saudaranya, Lazarus. Mungkinkah
kedekatan ini terjadi hanya dengan pertemuan yang satu-dua kali saja? Waktu
menciptakan hubungan yang dekat, karena tidak ada intimacy tanpa waktu kebersamaan.
Di stasiun
itu Tuhan sudah terlanjur berdiri dan menanti karena kita telah berjanji. Sayangnya
kesibukan kita sebagai ‘orang penting’ membuat kita lupa, lalu meninggalkanNya
di stasiun itu.
Barangkali
ada harinya dimana kita masih mengingat janji kita di tengah kesibukan kita
yang luar biasa itu. Lalu kita mengajaknya naik kereta api, dan kita memilih
kereta api yang elit karena menyangka Tuhan senang dengan kereta api express semacam KA Argo Bromo yang menempuh Jakarta – Surabaya sejarak 800 km ‘hanya’
dalam waktu 9 jam. Kita yakin bahwa Tuhan juga mempunyai prinsip ‘lebih cepat
lebih baik’ untuk sampai ke tujuan. Ahh, mungkin kereta api inipun kurang
cepat, karena kita tak mau opportunity
yang sudah ada di depan kita dipatok ayam. Lalu kita memilih kereta api super
cepat semacam Jinghu High Speed Railway
yang menempuh Beijing – Shanghai sejarak 1.318 km ‘hanya’ dalam 4 jam. Bayangkan
kita duduk di dalam kuda besi yang lari dengan kecepatan 320 km/jam - kecepatan
yang hanya bisa ditandingi oleh mobil Formula
One Mc.Laren-Mercedes yang dikemudikan oleh Mika Hakkinen dengan kecepatan
386 km/jam di tahun 1998.
Betapa
cepatnya laju kereta api ini, larinya bagaikan sekelebat bayang-bayang hingga
ekor mata kitapun tak mampu menangkapnya. Namun dalam kemewahan kereta api yang
design interiornya semewah hotel berbintang lima itu, tetap saja pikiran kita
melayang jauh. Dalam hembusan udara AC yang sejuk dan enaknya bangku yang empuk
itu kita sebentar-sebentar menguap, lalu terkantuk-kantuk dan akhirnya tertidur.
Kita membiarkan Tuhan duduk di sebelah kita tanpa percakapan apa-apa.
Maka kereta
api express adalah cermin ketergesaan.
Hari Senin sampai Sabtu kita memilih kereta api express untuk membawa kita, tapi Tuhan kita tinggalkan di stasiun. Hari
Minggu kita temui Tuhan di dalam gereja hanya untuk berjanji untuk tidak
meninggalkanNya di stasiun lagi. Tetapi di hari Senin berikutnya kita tetap
memilih jalur kereta api express dan
Tuhan ketinggalan kereta lagi.
Benarkah Ia
senang kita ajak naik kereta api express?
Benarkah kehidupan modern yang serba cepat ini memuaskan kerinduanNya akan
sebuah relationship?
Bisakah kita
pindah jalur?
***
Serpong, 9 Sep 2012