Saturday, July 30, 2011

Ketika Tuhan Menemukan KekasihNya

Awal bulan April yang lalu istri saya tiba-tiba membawa kabar yang mengejutkan. Papa teman anak saya di sekolah (kelas TK-A) meninggal dunia. Kabar itu datang dan langsung menyengat, sampai saya harus mengulang pertanyaan beberapa kali: “Papanya itu? nggak salah? Benar papanya si itu?”

Kabar duka yang langsung bikin nyeri uluhati itu bukan saja karena kematiannya yang mendadak, bukan pula karena almarhum adalah seorang yang masih sangat muda, terlihat sehat, gayanya santai, jauh dari kesan sakit-sakitan atau stress, tetapi, perihal kematiannya yang meninggalkan 2 orang anak yang masih kecil, umur 4,5 tahun dan 2 tahun itulah yang sangat memilukan, membuat hati begitu getir. Sontak saya tanya istri saya: “Istrinya kerja?” Istri saya menjawab: “Tidak.”

Maka teringatlah saya akan anaknya yang masih taman kanak-kanak (seumur anak saya), dan adiknya yang masih di gendongan itu. Dan melayanglah pikiran saya kepada istrinya, yang dalam umur yang semuda itu sudah harus menjadi single parent dan bakal mengasuh serta memelihara 2 anaknya itu seorang diri selama hari-hari kehidupan mereka berputar. “Bagaimana mereka nanti?” itulah pertanyaan yang beberapa saat terus memburu jawaban dalam pikiran saya. Kematian memang tak dapat diduga.

Mengapa harus ada cerita sepilu itu? Mungkin jika kita melihat dari perspektif kita sendiri entah sebagai pribadi atau sebagai keluarga, siapapun kita akan merasa kasihan, empati, dan perasaan-perasaan lain semacamnya. Kita bingung dan tak bisa mengerti bagaimana nanti kehidupan keluarga itu, dan bayangan tentang sebuah babak baru dalam hidup yang penuh perjuangan bagi ibu muda itu tampak jelas di depan mata. Melihat cerita seperti itu, apakah dalam hati kita juga langsung timbul pertanyaan kepada Tuhan, “Tuhan, tidak kasihankah Engkau?” Atau pertanyaan lain, “Tuhan, bagaimana ibu muda itu nanti mengurus 2 anak kecil seorang diri? Bagaimana menyekolahkan mereka?”

Dalam hati sayapun juga sempat terlintas pertanyaan serupa, tetapi pertanyaan yang timbul itu langsung saya tepis, karena saya tidak berani sama sekali untuk “questioning God’s authority” atau sedikit “mencurigai” Tuhan sudah berbuat “tega” kepada mereka, lebih-lebih jika sempat timbul pertanyaan yang bersifat seolah-olah “scrutinizing God” (menginterogasi dengan seksama dan menyeluruh terhadap apa yang dilakukan oleh Tuhan). Mengapa? Karena saya ingat sebuah nasihat bahwa janganlah terburu-buru menarik kesimpulan sebuah buku sebelum membaca sampai habis. Apa yang terjadi terhadap keluarga itu ibarat membaca buku yang belum habis, mungkin masih terbaca beberapa bab saja dan kita sedang membaca bagian bab yang memang pas di episode yang gelap.

Beberapa hari setelah itu ketika istri saya dan teman-temannya melayat, mengobrollah mereka dengan istri almarhum. Berceritalah istri almarhum saat-saat suaminya menjelang ajal, saat-saat suaminya tiba-tiba merasakan sakit yang luar biasa di kepalanya dan saat-saat ia meregang nyawa. Belakangan diketahui bahwa ada pendarahan di batang otak yang membuat suaminya langsung koma saat itu. Berceritalah istrinya hari-hari dalam setahun belakangan ini tentang perilaku aneh suaminya, perubahan-perubahan besar dalam diri suaminya, kegiatan-kegiatan suaminya dan keinginan-keinginan suaminya yang sempat diutarakan.

Sepulang saya dari kantor, sambil menyantap makan malam istri saya bercerita tentang obrolannya di rumah duka itu. “Mereka (suami istri) itu ternyata bukan merupakan keluarga Kristen. Suaminya kasar dan gampang sekali marah,” kata istri saya. “Tetapi heran, tahun lalu ia memutuskan menjadi Kristen, dan dalam setahun terakhir ini tiba-tiba ia mulai banyak mengikuti kegiatan gereja. Ia mengikuti training-training dan ikut sekolah untuk melayani. Sejak saat itu sikapnya berubah. Ia menjadi sabar sekali dan emosinya terkontrol dengan baik,” tambah istri saya.

Saya tekun mendengarkan cerita istri saya sambil mulut saya terus mengunyah makanan. Pikiran saya terus merangkai cerita, berusaha menggabungkan serpihan-serpihan episode yang sedang dibacakan oleh istri saya. Saya tahu sedang masuk ke dalam bab yang sangat menarik. “Apakah almarhum sempat mengajak istrinya untuk ikut Kristen juga?” tanya saya. “Benar, ia mengajak istrinya tetapi istrinya masih belum mau waktu itu,” jawab istri saya.
“Tetapi istrinya merasa bahwa suaminya banyak mengalami perubahan, bukan?” tanya saya. “Benar,” jawab istri saya, “Dan yang paling mengagetkan adalah ketika suaminya mengatakan bahwa ia mau sekolah Alkitab dan mau menjadi hamba Tuhan sepenuhnya.”
“Mau jadi hamba Tuhan?” tanya saya. “Ya, bahkan sudah berjalan 1 bulan ini dia sekolah Alkitab,” jawab istri saya.

Saya berpikir bahwa itu benar-benar surprise, lebih-lebih ketika mendengar keyakinan almarhum bahwa jika ia menjadi hamba Tuhan ia akan mengabdikan hidupnya secara full time dan meninggalkan bisnisnya. Ia ingin membuktikan bahwa anak-istrinya tak akan kekurangan (seperti yang sering dikhawatirkan kebanyakan orang bahwa hidup keluarga pendeta akan selalu pas-pasan). “Hebat benar imannya yang masih muda itu, “ kagum saya.

Dua hari sebelum kematian menjemputnya, almarhum datang ke sebuah KKR (Kebaktian Kebangunan Rohani). Waktu ada altar calling, ia maju ke depan. Di hadapan hamba Tuhan itu ia menangis tersedu-sedu sejadi-jadinya seperti seorang anak kecil tanpa ia tahu apa yang menyebabkan ia bisa menangis seperti itu. Sesampainya di rumah, ia cerita kepada istrinya bahwa malam itu ia merasa amat sangat puaaaassss…., dan legaaaa….sekali. Ia tidak mengerti apa sebenarnya yang tengah terjadi di dalam hidupnya.

Hal inilah yang terus terkenang di kepala istrinya sehingga waktu ia menceritakannyapun sambil terisak dan berkata, “Padahal ia sudah berubah sebaik itu, sudah menyampaikan bahwa ia mau menyerahkan hidupnya untuk menjadi hamba Tuhan, kenapa Tuhan tidak beri kesempatan dulu tetapi malah cepat-cepat diambil?”

Saya katakan kepada istri saya bahwa itulah mistery Tuhan. Kita selalu berpatokan kepada pikiran atau logika kita yang sederhana: “Jika ada orang yang sudah berkomitmen untuk menyerahkan hidupnya untuk melayani Tuhan, harusnya Tuhan menerima dengan senang, bukan?” Sama seperti apa yang dipikirkan oleh istri almarhum: “Harusnya Tuhan beri kesempatan dulu, mungkin ia dapat menjadi hamba Tuhan yang bisa memenangkan banyak orang untuk Tuhan.” Kita mungkin juga berpikir: “Bukankah Tuhan saat ini kekurangan pelayan? Bukankah Tuhan sendiri mengatakan bahwa tuaian banyak tetapi pekerja sedikit?”

Sayapun tidak mengerti jalan pikiran Tuhan saat Dia memutuskan untuk memanggil almarhum cepat-cepat, justru saat komitmen itu muncul. Tetapi saya hanya berkata kepada istri saya, “Tuhan memang kadang-kadang ‘aneh’ di mata kita, tapi itulah romantisme Tuhan. Tuhan sudah menemukan kekasihNya, dan Tuhan tidak mau kehilangan lagi.” Ketika istri saya masih bingung dengan apa yang saya katakan, saya melanjutkan, “Ya, Tuhan sudah menemukan kekasihNya. Mungkin almarhum sudah lama ditungguNya. Sebaliknya mungkin almarhum juga sudah menemukan Tuhan, jatuh cinta kepada Tuhan sehingga ia bertekad mau menyerahkan jiwa-raganya untuk Tuhan, maka jadinya klop, keduanya sudah menjadi sepasang kekasih, maka Tuhan tak mau melepaskannya lagi.”

Mungkin Tuhan “khawatir” jika almarhum dibiarkan dan tidak segera ditangkapNya dan dibawaNya pulang, sewaktu-waktu ia bisa berpaling kepada yang lain, mungkin ia bisa “selingkuh” dan tidak setia, mungkin ia bisa tergoda dan “menyeleweng”. Siapa tahu apa yang bakal terjadi di kemudian hari? Maka saya berkata kepada istri saya bahwa ia sedang membacakan untuk saya sebuah cerita yang sangat romantis, dan romantisme Tuhan mirip dengan romantisme kita jika kita sedang jatuh cinta dan menemukan seorang kekasih. Apakah kita rela kekasih yang kita cintai kemudian terlepas dari genggaman kita?

Itulah waktu Tuhan. Itulah waktu yang Tuhan anggap cukup ketika melihat kekasihNya pada sebuah titik yang dianggapNya “perfect” (walaupun Tuhan hendak menyempurnakannya lagi). Kita tak pernah tahu bagaimana cara Tuhan mengukur kesiapan seseorang, bukan? Kita juga tidak pernah tahu ketulusan seseorang ketika menyatakan bahwa ia mau menyerahkan seluruh hidupnya untuk melayani Tuhan, bukan? Itu adalah komunikasi pribadi, dan hanya mereka (Tuhan dan dia) berdua saja yang tahu.

Sering kita mendengar kabar kematian teman atau kerabat kita, dan sering pula kabar itu mengejutkan kita terlebih jika kabar kematian itu mengenai seseorang yang kita anggap baik. Kita tidak suka mendengarnya, dan kita mengumumkannya sebagai berita dukacita. Kita merasa kehilangan dan hati kita ikut merasa sedih. Tetapi di sisi yang lain, ternyata terjadi sebuah kebalikan perasaan, karena orang baik itu merasa senang karena sudah berada bersama Tuhan, dan Tuhanpun senang karena kekasihNya telah berada bersama denganNya.

Kembali lagi bahwa kehidupan kita masing-masing adalah seperti sebuah buku, dimana setiap halamannya mempunyai episode cerita sendiri. Yang harus dipahami adalah bahwa kesimpulan sebuah cerita tak bisa untuk ditarik lekas-lekas, sebelum tiba pada halaman terakhir atau sampai kita menemukan kata “The End”.

Beberapa teman atau orang yang dalam hidupnya dikenal sebagai orang-orang yang baik, yang ramah, yang rendah hati, yang tidak pernah menyakiti orang lain, meninggal dunia dengan tak disangka-sangka. Hari ini masih bersama dengan kita, mungkin 1 jam yang lalu masih bersama kita, bahkan mungkin 5 menit sebelumnya baru saja ngobrol lewat telepon dengan kita. Tetapi kemudian mereka pergi begitu cepat seperti direnggut dari kehidupan kita dan orang-orang terdekatnya. Mereka pergi seperti sekelebat bayangan saja kemudian hilang, padahal karena ia adalah orang baik, kita tidak mau kehilangan dia.

Maka kita tentu bertanya, apakah orang baik begitu cepat pergi?
***
“Sebab itu TUHAN menanti-nantikan saatnya hendak menunjukkan kasih-Nya kepada kamu; sebab itu Ia bangkit hendak menyayangi kamu.” (Yesaya 30:18a)

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...