Saturday, August 30, 2008

Dul


Pantaslah jika saya mengagumi pelayan restoran, profesi yang begitu mempesona bagi saya. Apa yang dikerjakannya semata-mata adalah melayani. Mulai dari menyambut tamu/pelanggan, menawarkan menu, menjelaskan setiap menu dan content-nya, mencatat pesanan, menyerahkan catatan pesanannya ke belakang (kitchen) kemudian menyajikan pesanan yang sudah siap kepada kita. Tidak pernah tidak bahwa semua dilakukannya dengan ramah dan tersenyum.

Jika makanan yang kita pesan cocok dengan selera kita, dan hati kita gembira dibuatnya, maka kita sering lupa untuk mengucapkan terimakasih. Tapi jika sebaliknya yang terjadi, tak ayal pelayan tersebut menjadi sasaran kekesalan kita. Padahal, urusan enak atau tidak enak sebuah masakan bukan urusan si pelayan, bukan? Tapi kita tidak pernah mau tahu. Pendeknya, seorang pelayan harus selalu ada di dekat kita, untuk disuruh, dan tentunya, untuk dimarahi.

Di kantor saya ada seorang yang bekerja sebagai pelayan, bahasa kerennya Office Boy (OB). Saya tidak tahu nama lengkapnya. Yang saya tahu teman-teman memanggilnya “Dul.” Pagi-pagi ketika belum seorangpun sampai di kantor, Dul sudah datang kemudian melakukan tugas rutinnya: menyapu dan mengepel lantai, mengelap meja-kursi-kaca jendela dsb. Setelah itu Dul menyiapkan gelas-gelas minum untuk setiap karyawan dan meletakkannya di setiap meja. Dia hafal benar ini gelas dan botol siapa.

Jika satu demi satu karyawan datang, paling pertama sebelum melakukan apa-apa mereka mencari Dul, dan seperti biasa, memesan sarapan: ada yang pesan bubur, mie ayam, gorengan dan segala pernik-pernik makanan pagi. Makanan yang sudah dibeli tersebut tidak langsung diserahkannya kepada pemesannya begitu saja dalam bungkusnya, tetapi Dul akan menatanya di meja makan, rapi, lengkap dengan piring, sendok, garpu dan segelas air minum. Belajar table manner darimana si Dul ini? Setelah itu barulah Dul menghampiri meja pemesannya dan berkata: “Pak, Bu, sarapan sudah siap.”

Lalu kami menikmati sarapan kami sambil ngobrol kesana-kemari. Tetapi, sudah sarapankah si Dul ini?

Jika siang sudah tiba, Dul akan mendatangi kami satu persatu dan menanyakan: “Pak, Bu, mau pesan makan siang apa?” Lalu masing-masing kami akan menyebutkan makanan yang kami inginkan dan Dul mencatatnya. Setelah uang terkumpul, Dul akan keluar, men-start sepeda motor butut inventaris kantor dan melaju menuju restoran atau kantin langganan. Tak berapa lama kemudian Dul datang, lalu menyiapkan segala sesuatunya persis seperti ritual sarapan pagi itu, lalu menghampiri setiap meja dan berkata: “Pak, Bu, makan siang sudah siap.” sambil menyerahkan uang kembalian masing-masing.

Menu makanan akan tepat persis seperti pesanan kami, tidak ada yang meleset, kecuali kalau menu tertentu kehabisan maka Dul akan menggantinya dengan menu lain yang kira-kira sesuai dengan selera kami, misalkan kalau untuk saya si Dul tidak akan menggantinya dengan makanan pedas.

Saya jadi ingat cerita istri saya dulu, ketika dia masih bekerja di sebuah developer property di Jakarta. Jika dia atau teman-temannya menyuruh OB mereka membelikan makan siang, mereka tentu akan memberikan uang lebih dengan pesan agar uang lebihnya tersebut untuk si OB beli makan siang juga. Tapi apa yang terjadi? Si OB tersebut kembali dengan membawa 2 bungkus nasi, satu untuk yang pesan dan yang lainnya untuk dirinya sendiri. Tetapi yang lucu adalah ketika bungkusan dibuka, menu untuk si OB akan selalu lebih mewah daripada menu kepunyaan yang menyuruh, ha..ha..ha.. Misalkan kalau punya istri saya hanya sayur kacang-panjang, sepotong tempe, bakwan jagung dan sambal, punya si OB terdiri atas ayam goreng dan telur dadar. Ha..ha..ha.. lucu sekali.

Tidak demikian dengan Dul. Kami tidak membiasakan untuk memberinya “upah”. Menurut saya akan lebih baik demikian. Jadi jangan sampai terjadi OB menjadi rajin karena selalu diberi upah, toh bentuk terimakasih bisa diwujudkan dalam bentuk lain, bukan? Saya cenderung memberi sesuatu kepadanya bukan setelah saya suruh, tetapi pada waktu-waktu lain yang tidak ada hubungannya dengan suatu pekerjaan yang saya suruh kerjakan.

Seperti biasa setelah Dul kembali membawa bungkusan-bungkusan pesanan makan siang kami, kami berkumpul di meja makan oval besar, menikmati makan siang kami sambil ngobrol reriungan kesana-kemari. Ketika kami makan, Dul sibuk di pantry menyiapkan buah seperti irisan melon atau jus strawberry untuk pencuci mulut-mulut kami yang beraroma ikan, ayam, daging, bahkan…sambal terasi. Tetapi, sudah makan siangkah si Dul ini?

Suatu siang waktu saya mau menyantap makan siang saya, Dul yang sedang sibuk mengupas melon saya tanya: “Dul, kamu sudah makan ?” Dul, dengan gayanya yang lugu sambil meringis menjawab, “Hmm…entar aja, Pak…” Saya tersenyum dan menggumam, “Ohh, mungkin Dul mendahulukan melayani kami sampai semua beres dulu.” Tetapi setelah meja makan beres dan kembali rapi, saya tidak pernah (atau belum pernah) melihat Dul makan siang juga. Dia terus sibuk disuruh kami mengerjakan ini-itu misalkan mengangkat barang, foto kopi dokumen, transfer ke bank, dsb.

***

Pantaslah kalau saya mengagumi seorang pelayan, entah pelayan kantor ataupun pelayan restoran. Sebuah profesi yang kita pandang rendah itu, tapi yang sekaligus juga mulia itu. Kita tidak pernah tahu apakah pelayan restoran itu sudah mengisi perutnya dan kenyang waktu melayani kita. Yang kita tahu hanya kita datang sebagai tamu untuk dilayani sebaik-baiknya. Dan pelayan selalu kita tuntut tanpa alasan untuk selalu sigap dan cekatan jika kita meminta sesuatu, sampai kita puas makan, kemudian kita pergi, kadang-kadang dengan meninggalkan tips ala kadarnya, kadang-kadang tidak.

Sering ketika saya diajak teman atau kolega makan di sebuah restoran mewah, sebuah restoran di hotel berkelas, yang menu makanannya 75% tidak saya mengerti sama sekali, dan melihat harganya yang terpampang di buku menu, seperti ada suatu rasa yang aneh yang timbul di hati, ketika melihat si pelayan yang sabar melayani dan menjawab setiap pertanyaan kita. Timbul, selalu timbul sebuah pertanyaan, “Apakah dia sudah makan?” Atau sebuah pertanyaan lain, “Sudah pernahkah dia mencicipi menu yang mahalnya luar biasa itu?”

Jangan pernah sangkakan ada rasa kepengin di hati pelayan itu untuk mencicipinya walau hanya setetes atau sesuap. Tidak, seorang pelayan takkan berani untuk itu. Dia tahu diri. Saya tidak pernah melihat pelayan yang menelan air liurnya. Jangan remehkan seorang pelayan dengan merasa bahwa kita lebih terhormat, karena terhormat atau tidak bukanlah soal uang. Bisa jadi seorang pelayan lebih terhormat daripada seorang tamu yang memesan makanan berlimpah-limpah tapi tidak sanggup menghabiskannya karena tidak menyadari bahwa ukuran perutnya cuma sejengkal. Bisa jadi seorang penyapu jalan lebih terhormat daripada seorang bermobil BMW yang membuka jendela mobilnya dan melemparkan tisu atau kulit kacang beterbangan di jalan raya.

Selalu di setiap restoran mewah, timbul dan selalu timbul rasa yang aneh di hati ketika menu-menu yang aneh dengan hiasan-hiasan yang aneh itu disajikan, lalu lidah saya merasakan dan menikmati suap demi suap diiringi musik yang lembut untuk menambah selera, sampai suap terakhir. Dan rasa aneh itu makin menjadi-jadi ketika seusai makan billing disodorkan. Melihat angkanya, rasanya gaji sebulan pelayan itu masih terlalu kecil jika dibandingkan dengan yang teman saya bayarkan untuk makan satu kali pada waktu itu.

Masihkah kita menggerutu dengan pekerjaan kita, dan memprotes besaran gaji kita dengan alasan tidak cukup, lalu mencoba membenarkan diri dengan korupsi atas nama kebutuhan? Sedangkan si Dul dengan seorang istri dan satu anak tetap konsisten melayani dengan jujur, mencukupkan dirinya dengan gaji sebulan, yang besarannya masih lebih kecil daripada apa yang kita bayarkan untuk makan satu kali di restoran yang berkelas itu?

Serpong, 30 Agustus 2008
Titus J.

Monday, August 18, 2008

Kursi Yang Kosong

Hari ini tepat 4 bulan saya meninggalkan Bank Danamon. Atas saran beberapa teman, saya muat corat-coret pamitan saya di blog saya ini. Berikut ini cerita lengkapnya.
-----



Akhirnya saya diwisuda juga! Ha..ha..ha.. Keputusan saya untuk mundur dari Bank Danamon memang membikin orang mengerutkan dahi. Betapa tidak, karena teman-teman baru saja memberi ucapan selamat kepada saya atas promosi saya sebagai Kadiv, one of GHIT 1) members, yang jalur laporannya langsung ke Kanchan (Kanchan adalah CTO pada waktu itu, sekarang menjadi IT Director).

Entah terkejut entah bingung, karena promosi saya belum diumumkan secara formal, maka rumor promosi itu merebak dengan cepat (biasa, di Danamon rumor memang sangat cepat menjalar, lebih cepat menjalarnya daripada virus flu burung ha..ha..ha..). Saya sendiri tidak berani mengatakan apa-apa kepada siapapun, karena saya lebih suka menunggu ”press release” yang resmi dari Kanchan. Hanya ke team saya yang staf permanen saja saya sempat singgung tentang hal ini, bahwa saya mendapat tugas baru yang lebih besar. Tetapi yang menarik adalah, belum genap sebulan rumor promosi tersebut menjalar, ada rumor yang lain bahwa saya resign. Lucu, bukan? Terus ini yang benar yang mana?

Karena saya mempunyai beberapa informan di IT ini, kabar-kabar tersebut sampailah kepada saya, ya itu tadi, tentang kebingungan teman-teman mengenai status saya, jadi Kadiv atau quit. Saya sih santai saja. Saya pikir rumor tidak perlu ditanggapi serius. Beberapa teman yang penasaran memang langsung menelepon saya, bahkan ada yang langsung menghampiri saya di meja menanyakan kebenaran kabar tersebut. Tetapi ketika saya tanyakan darimana kabar tersebut datangnya, mereka tidak mengatakan dari si anu, melainkan menjawab: denger-denger saja...

Pertanyaan yang sering dilontarkan teman-teman adalah, baru saja dipromosi kok malah keluar? Kenapa? Saya kira ini adalah pertanyaan yang logis. Cuma yang menjadi masalah adalah, apakah alasan untuk resign ini penting? Bukankah yang lebih menarik adalah saya mau ngapain setelah tidak bekerja di Bank Danamon?

Ada teman yang bertanya, ”Tus, apakah keputusan itu sudah dipikirkan matang-matang? Bukankah kamu mempunyai karir yang sangat cemerlang di Danamon terutama dengan promosi ini, lagipula, ditinjau dari faktor resiko, bukankah terlalu riskan untuk keluar dari pekerjaan yang sudah settled, sudah established, mengingat faktor umur (saya akan 40 di tahun ini), punya keluarga dan punya anak yang masih 1,5 tahun? Kenapa tidak cari aman saja?”

Saya katakan kepadanya, ”Teman, tentu ini melalui pertimbangan yang tidak sebentar. Memikirkan rencana ini saja sangat menguras energi, begitu banyak pergumulan yang harus saya lewati. Dan saya tidak akan gegabah dalam memutuskan hal ini, karena ini menyangkut masa depan, menyangkut periuk-nasi, menyangkut kehidupan saya dan keluarga. Saya bukan koboi yang asal menembak, dan bukan petinju yang sembarangan memukul. Kalau saya salah mengambil keputusan, yang terancam bukan hanya saya, tetapi semua isi kapal yang saya nahkodai.”

Lama saya merenung. Haruskah saya keluar? Inikah saatnya? Apa impact-nya? Sering perasaan kasihan mempermainkan saya. Kasihan kepada bos, kasihan kepada team. Tapi saya diingatkan teman, bahwa jika kita memutuskan untuk keluar dari current job untuk sesuatu yang lebih baik, jangan sekali-sekali ada perasaan kasihan - kepada siapapun. Perusahaan sebesar Danamon tidak akan kenapa-kenapa kok. Wong direktur saja bolak-balik ganti juga nggak apa-apa, apalagi ditinggal oleh seorang Titus. Kita juga tidak boleh ”batal” resign karena kasihan kepada team, kepada anak buah, karena re-generasi perlu, gaya kepemimpinan juga perlu ganti, dan siapa tahu dengan berganti pemimpin keadaan akan menjadi lebih baik. Sebab dipimpin oleh orang yang sama terus-menerus bosan juga, bukan?

* * *

Lalu apa dong?

Ini adalah kerinduan yang lama terpendam. Awalnya dari toko roti, ha..ha..ha. Ah, bercanda, kok toko roti? Ya, saya sering beli roti di Bread Talk kepunyaan Johny Andrean itu. Setiap kali saya kesana, saya happy banget. Kenapa? Saya suka memperhatikan, mulai dari mas-mas yang ada di balik kaca membikin adonan, membentuk, mewarnai, meng-oven, mengepak, dst, sampai kepada mbak-mbak yang berjejer di dekat kasir, yang selalu menyapa pembeli dengan senyum, dan membantu ”mengurus” roti-roti yang kita pesan. Saya lihat mereka bekerja tanpa beban, begitu santai, begitu menikmati, begitu apa adanya. Dalam hati saya berkata: ”Enak ya bekerja seperti itu.” Ah, barangkali saya naksir salah satu mbak-mbak itu ya? Ha..ha..ha..

Lalu saya melihat diri saya, huh, betapa hidup yang terburu-buru. Dari satu meeting ke meeting lain, dari satu tempat ke tempat lain. Dan waktu yang habis di jalan karena macetnya Jakarta – 3 jam berangkat 2 jam pulang. Mau lebih cepat? Ya berangkat pagi-pagi sekali dan pulang lebih malam. Belum lagi teror telepon – makan satu suap kring, masih sedang mengunyah kring lagi, baru selesai menelan kring lagi. Astaga, inikah yang sudah saya lakukan? It’s so crazy man??!! (maaf, ikut-ikutan gaya funky ha..ha..ha..)

Lama saya memendam kerinduan itu, dan sama sekali tidak punya waktu untuk mewujudkannya, karena tugas demi tugas, tanggung-jawab demi tanggung-jawab harus saya jalankan. Suka atau tidak suka, enak atau tidak enak, saya harus bersikap konsekuen, harus professional. Mengapa? Karena inilah dunia kerja, tidak ada yang ideal. Selama saya masih menerima gaji setiap bulan, saya harus bekerja. Dan bekerjanya harus bekerja dengan segenap hati, bukan asal-asalan, dengan motivasi bekerja yang jujur, lurus, bukan untuk mendapat penghargaan, pujian dan jabatan.

Kalau hanya mengejar soal jabatan, terlalu bodoh bagi saya untuk ”pergi” sekarang di saat-saat jabatan saya naik, dan jabatan yang naik otomatis memanjakan saya dengan segala macam fasilitas, kebanggaan, apresiasi bahkan kehormatan. Tapi jabatan yang diberikan kepada saya terakhir ini tidak pernah saya cari kok. Kenapa harus saya cari? Jikalau prinsip bekerja saya seperti yang saya jelaskan di atas, bukankah jabatan menjadi tidak terlalu penting untuk dikejar? Jika yang kita tanam menghasilkan buah yang manis, dan bos kita tidak buta, tidakkah dia akan mempercayakan kepada kita pekerjaan yang lebih besar? Tetapi menurut saya kita harus setia dulu mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang kecil, bukan?

Ada teman mengeluh dan berkata bahwa grade-nya dari dulu tidak naik-naik, dan dia merasa mustahil bisa mencapai grade yang lebih tinggi. Siapa bilang? Saya mempunyai pengalaman sendiri berkarir di Bank Danamon. Mulai join dengan bank ini tahun 1997 sebagai team pembangunan gedung Data Center di Mega Kuningan, tetapi harus kena PHK tahun 1998 karena Danamon bangkrut akibat krisis waktu itu. Saya salah satu karyawan yang terkena ”gunting” karena belum genap setahun bekerja.

Karena bangkrut, Bank Danamon harus ”dirawat” oleh BPPN dan aset-asetnya harus dijual, termasuk gedung Data Center yang baru itu. Padahal gedung itu sudah selesai sekitar 95% dan Data Center kita ini (Kebon Sirih) sudah siap-siap untuk dipindahkan kesana. Tapi semua batal. Orang-orang EDS (bule-bule dari Texas itu) satu demi satu mudik ke Amerika. Note: Saat ini gedung tersebut menjadi gedung Excelcomindo (Pro-XL).

Berbekal pesangon yang jumlahnya... (hmm.. saya malu menyebut angkanya), maka saya ”menggelandang” mencari pekerjaan. Anda tahu bahwa 3 bulan sebelum saya di-PHK, saya baru saja mengawini istri saya? Ha..ha..ha..sungguh waktu itu pengalaman tersebut ingin saya tulis sebagai sebuah cerita satire. (Satire, menurut kamus Oxford adalah: the use of humor, irony, exaggeration, or ridicule to expose and criticize people’s stupidity or vices). Ya, betul, memang bodoh saya, dan…nekat! Bayangkan, bulan Mei 1998 Jakarta hangus terbakar oleh riot, bulan Juli saya minta kawin (Padahal waktu itu orang takut bikin acara). Terus, habis kawin 3 bulan kemudian saya dipanggil bos yang memberitahukan vonis bahwa saya harus angkat kaki dari Bank Danamon. Sebuah cerita satire bukan? Bahasa kasarnya, habis ngambil anak orang, terus dipecat. Konyol, bodoh, getir, tapi lucu ha..ha..ha..

Tapi saya bahagia.
Kalaupun pekerjaan saya diambil, paling tidak saya masih punya istri. Ya, bahagia karena punya istri, yang jadi teman di saat keadaan seperti waktu itu. Dan tidak pernah menyesal telah berani kawin waktu itu. No regret.

Tiap hari saya bonceng istri saya naik sepeda motor ke kantornya. Sore hari saya jemput. Mencari pekerjaan sungguh sulit waktu itu, karena dimana-mana perusahaan sedang berhemat. Selama 2 bulan saya ”menggelandang”, beberapa perusahaan memanggil saya interview, tapi tidak jodoh. Akhirnya, pada suatu malam saya ditelepon oleh teman di Bank Danamon. Adalah Marson Mulia yang ”memungut” saya dari jalanan dan meminta saya balik ke Danamon. Jadi, saya came-back, tanggal 11 Januari 1999. (Sekarang Marson Mulia sudah jadi orang penting di NOS – thanks Marson, I would never forget you).

Nah, saya masuk dengan grade-9, diberi assignment yang berpindah-pindah – ditempatkan pertama kali sebagai DBA, kemudian ditugaskan ke application support (front-end), dipindah lagi ke MIS, kemudian ke Infrastructure/Technical Support, sampai terakhir saya dipromosikan sebagai salah satu Kadiv dan menjadi member of GHIT barusan ini. Benar-benar unbelievable bagi saya, dan sungguh… saya merasa undeserved. Saya merasa kecil.

* * *

Salah saya. Harusnya waktu itu saya tegas menolak promosi itu. Tapi lagi-lagi perasaan saya yang harus saya kambing-hitamkan, karena saya merasa “tidak enak” untuk menolaknya. Lagi pula, saya tergoda juga dengan jabatan itu. Bagaimana tidak, itu akan mengukir CV saya – sebagai member of GHIT yang bertanggung-jawab ke CTO. Memang sih banyak teman saya juga menjadi CTO saat ini, tapi (maaf) di perusahaan kecil. Tapi ini CTO Bank Danamon, coy…!!! Bank terbesar kelima di republik ini. Siapa tidak “besar kepala” dimentorin oleh CTO organisasi sekaliber Bank Danamon? Hmmm...

Yang lebih membuat dada saya “mbedhodhok” (istilah Jawa – saya nggak tahu terjemahannya ke bahasa Indonesia – please tanya Robby Rantung yang orang Menado tapi ngaku-ngaku Jawa itu), adalah karena saya ini merupakan pejabat karir, maksudnya karena saya ini merangkak dari rakyat jelata terus akhirnya mendapat anugrah… gitulah! (mirip-mirip dongeng H.C Andersen jaman dulu) ha..ha..ha..

Satu bulan sebelum promosi itu terjadi, saya mengutarakan maksud saya kepada bos (BS) bahwa saya mau resign. Kami ngobrol cukup lama waktu itu. Saya jelaskan alasan saya, lalu BS memberikan banyak nasihat. Dikatakannya bahwa saya sudah di-planned untuk promosi ke pos yang lebih tinggi, tapi belum ada rapat resmi untuk membahasnya. ”Elu sudah gue plan untuk naik, gue sudah sampaikan ini ke KN dan dia agreed,” kata BS. Yang pasti akan segera ada re-org. Saya diminta untuk pikir-pikir dulu. Saya serahkan resignation letter saya tapi BS menolak. Akhirnya pertemuan itu bubar tanpa hasil dan saya berjanji untuk pikir-pikir. Berpikir kembali toh tidak ada salahnya.

Beberapa hari kemudian saya ketemu lagi dengan BS, kali ini BS lebih detil lagi menjelaskan tentang rencana terhadap saya. Katanya: “Elu coba pikir yang matang, sekarang karir elu lagi bagus, gue saranin elu tetap stay di sini. Ini saatnya elu dapat ‘bekal’ untuk masa depan elu. Untuk jadi one-down-nya KN bukan sesuatu yang gampang, tidak semua orang dapat kesempatan.” Tapi saya menjawab: “Bos, gue appreciate dengan upaya elu mempromosikan gue ke posisi yang lebih tinggi, tapi gue pikir justru karena saat ini gue lagi bagus, ini saat yang tepat kalau gue harus pergi, biar gue meninggalkan kesan yang baik. Gue sudah 9 tahun kerja di sini, dan ini bagi gue sudah cukup. Sekarang saatnya gue berbagi waktu untuk keluarga. Gue takut nggak fair bagi keluarga gue, walaupun istri & anak gue nggak pernah complain bahwa mereka cuma dapat waktu yang sangat sedikit. Let me step-down right now.” (Hanya dengan BS saya ber-elu-gue – walaupun lidah saya yang Jawa ini terasa melintir kalau ngomong elu dan gue ha..ha..ha..)

BS bertanya apa saya punya concern tentang kompensasi atau fasilitas, saya jawab: “Sama sekali tidak. Danamon sudah memberikan cukup bagi gue. Kalau ngomong puas manusia tidak pernah puas. Tapi 9 tahun bekerja di Danamon gue sudah dapat banyak, mobil, rumah (walaupun menyicil dengan KPR) dan gaji yang cukup bagi gue dan keluarga. Gue bersyukur kerja di Danamon. Danamon is a good company.”

BS tetap minta saya menunggu beberapa waktu lagi sampai struktur baru terbentuk, dan saya diplot dimana. Dia pesan agar saya tidak membuat commitment apapun dengan company manapun – just wait and see. Waktu itu saya sangat galau, karena di satu sisi saya sudah putuskan harus keluar, tapi di sisi lain saya melihat niat baik BS dan usahanya untuk karir saya, saya melihat dia sungguh-sungguh. Saya merasa bersalah kalau saya tidak menghargainya. Lagipula saya ingat Kanchan, saya cukup kenal dengan Kanchan karena beberapa kali meeting dengan dia. Pernah satu kali diajak ke Singapore untuk business trip. Saya melihat kualitasnya, saya melihat kelasnya. Memang bangga punya bos seperti ini, terlepas apakah dalam menyikapi policy-nya ada yang suka atau tidak. Saya pikir, memang menjadi seorang pemimpin tidak bisa selalu menyenangkan semua orang, bukan?

Setelah pertemuan itu bubar, saya pulang ke rumah dengan perasaan yang galau. Saya ceritakan kepada istri saya pertemuan tersebut. Saya juga meminta advice beberapa teman. Akhirnya saya putuskan untuk menunggu. Dan pada hari Jumat 22 Februari 2008, lewat telepon Kanchan meminta saya untuk join meeting GHIT pada hari Senin. Hari Senin tanggal 25 Februari 2008, saya untuk pertama kalinya mengikuti meeting GHIT dengan Kanchan. Ya, saya telah masuk forum itu.

Dalam meeting itu Kanchan menjelaskan posisi saya dan area apa yang menjadi tanggung-jawab saya. Saya dalam hati bertekad untuk mengemban tugas baru itu, dan bertekad untuk memberikan kontribusi sebaik mungkin. Demikianlah, akhirnya saya masuk ke dalam komunitas GHIT, dimana setiap Senin saya mempunyai meeting rutin dengan bos dan seluruh GHIT. Ini episode terbaru dalam karir saya, dan sampai di sini saya dengan bulat hati bersedia mengerjakan tugas. Saya langsung scratch niat saya untuk resign. Biarlah, mungkin istri dan anak saya kembali harus mengalah. Dalam hati saya berjanji semoga tahun depan saya bisa berhenti.

* * *

Tetapi..
Belum genap sebulan saya menjalankan tugas baru itu, atas sebuah pertimbangan prinsip saya terpaksa harus mengubah pikiran. Perjalanan karir saya harus saya putar arah. Ini sangat sulit dijelaskan, dan tidak mudah untuk dimengerti mengapa saya mengambil keputusan ini. Saya tidak bisa menunggu sampai Senin. Hari minggu tanggal 16 Maret 2008 jam 9 malam saya sms BS minta waktu untuk bicara. Jam 10 malam BS menelepon saya dan bertanya ada apa. Saya menyampaikan niat saya ini. Saya benar-benar minta maaf. BS cukup terkejut dan bertanya kenapa tiba-tiba begini. Dia bilang bahwa dia kecewa.

Ya, saya akui saya sudah mengecewakan BS. Saya minta maaf dan memohon: ”Bos, please, let me go. Gue mau istirahat, rasanya capek sekali.” Dia masih berusaha untuk meminta saya stay, tapi tidak, keputusan saya sudah final. Ini situasi yang sangat sulit buat saya, terutama ketika dia bilang bahwa dia kecewa. Dia bilang: “Gue nggak bisa mutusin sendiri, elu sudah report ke KN, jadi gue akan sampaikan ini ke KN.”

Pada hari Selasa 18 Maret 2008 Kanchan memanggil saya. Di ruangannya saya hanya berdua dengan beliau. Kami berbicara sekitar 20 menit. Saya jelaskan persis seperti yang saya jelaskan kepada BS, beliau menyimak, terus beliau ganti bicara. Beliau bahkan mencoba memberikan advice untuk menutup “problem” itu, tapi saya bilang: “It’s not as simple as that.” Beliau bertanya apa yang akan saya lakukan selanjutnya. Saya jawab: “Doing something else, something not related to IT.” Beliau menjawab: “Shouldn’t you start from zero if you want to do else of IT?” Saya jawab: “I hope I can catch-up the knowledge.” Setelah beberapa saat dia menatap saya tajam-tajam, dan dengan tenang berkata: “Ok, if you believe that is your best choice, the best that you will take for your life…” Kemudian sambil bangkit berdiri dia menyalami saya dan berkata: “Good luck. All the best.”

Saya keluar dari ruangan Kanchan dengan hati yang plong.
Beberapa hari kemudian saya mengumpulkan team saya dan menyampaikan hal ini. Ternyata merekapun sudah mendengar kabar tentang ini, tetapi ragu-ragu tentang kebenarannya. Saya tegaskan bahwa hal tersebut benar, confirmed. Selanjutnya saya mengatur proses hand-over dengan BS.

Ha..ha..ha..
Betapa asyiknya. Ya, betapa asyiknya jadi preman (free man), paling tidak untuk sementara sebelum kerja di “dunia lain”. Merdeka!
Saya bisa lagi nonton perempat final Liga Champion antara Arsenal versus Liverpool jam 2 dini hari. Anda yang suka bola pasti iri, terutama jika melihat gaya Steven Gerard, Fernando Torres, Cesc Fabregas atau Emanuel Adebayor. Ini adalah hobby saya yang sudah saya tinggalkan lebih dari 3 tahun karena kesibukan. Jam 6 pagi bisa nonton Perspektif Wimar di ANTV, melihat obrolan santai tentang segala hal, dari politik sampai infotainment, dari finance sampai pornography.

O, iya, yang paling asyik lagi adalah bermain dengan Nona (my only daughter – nama lengkapnya Wynona Shelemiah), nemenin dia nonton video Sesame Street atau Barney), membacakan buku cerita dan ngobrol dengannya walaupun ada kalanya saya tidak mengerti celetukannya. Begitu amazing melihat ciptaan Tuhan dari dekat, bagaimana dia tumbuh dan berkembang dengan begitu cepat. Selama ini saya hanya mendengar cerita dari istri saya sepulang kerja, waktu Nona sudah tidur. Kalau nggak sempat dengar cerita karena kadang-kadang istri saya juga sudah tertidur, saya cukup membaca laporan (tulisan tangan) dari istri saya tentang perkembangan Nona. Hal-hal baru ditulis oleh istri saya, Nona hari ini bisa ini, itu, bisa ngomong ini, itu, dst.

Sejak Nona hadir di tengah-tengah keluarga saya, pikiran dan cita-cita saya berubah. Kalau mengingat bagaimana saya dulu begitu lama menunggu kehadiran Nona, saya merasa bersalah jika setelah dia hadir terus saya tinggal-tinggal. Lagipula, betapa waktu tidak bisa diputar kembali, dan saya tidak ingin kehilangan moment bersama dia, justru saat-saat umurnya sekian. Pernahkah anda mengamati anak anda yang berumur 1,5 tahun?

Saya sadar, selama ini begitu sedikit waktu yang bisa saya berikan untuk dia. Saya terlena dengan pekerjaan, bukan karena saya workoholic, tapi karena tanggung-jawab. Dalam bekerja saya tidak bisa jadi mandor, cuma main perintah ini dan itu, dan mengomel. Saya selalu ingin berada di tengah-tengah team, walaupun hanya untuk mengobrol dan bercanda, tapi itu sudah cukup bagi saya, jika saya melihat team saya bisa tertawa lepas, tanda ada semangat kerja. Saya juga minta maaf, terutama kepada team saya, karena kesibukan saya dengan meeting kesana-kemari saya kurang perhatian. Saya berprinsip harus memberikan kontribusi yang terbaik bagi bank ini, walaupun hanya sedikit, hanya setitik kecil, supaya jika suatu saat saya pergi, jejak yang saya tinggalkan tidak mudah terhapus.

* * *

Beberapa minggu setelah saya dipromosi, dan beberapa hari setelah saya mengajukan resign - tapi belum semua tahu, Shinta (sekretaris BS) mengatur ruang kerja saya yang baru (ruang kerja untuk Kadiv di lantai 5). Waktu ketemu di Kebon Sirih, Shinta bilang: “Mas Titus, ruang kerja sudah siap. Kapan mau pindah?” Saya jawab: “Terimakasih Shinta, entar dulu ya.” Dalam hati saya bingung mau menjawab apa. Saya tidak berniat untuk menggunakan ruangan itu, saya biarkan kursi Kadiv yang mahal dan empuk itu tetap sendirian, saya biarkan tetap kosong. Saya malu, jika saya duduki, jangan-jangan kursi itu akan menertawakan saya karena cuma betah duduk di situ dalam sebulan saja.

Benarkah kata orang “Life begins at 40?” Ada yang bilang hal itu benar, dan pada usia 40 kita sama sekali tidak boleh salah mengambil keputusan. Sekali salah, tidak ada chance untuk me-rectify. Benarkah? Hmm, tahun ini saya 40 (akhhh), dan saya sudah mengambil keputusan penting dalam hidup saya. Apakah keputusan itu benar atau salah, sejarah yang akan membuktikan.

Semoga cerita ini memberikan inspirasi.

Serpong, 14-16 April 2008
Titus J.

Cowards die many times before their death. The valiant never taste of death, but once (William Shakespeare)


Catatan:
1) GHIT: Group Head of IT - suatu jabatan struktural di IT Danamon, level Kepala Divisi (Kadiv) dan bertanggung-jawab kepada CTO (Chief Technology Officer). Karena posisi ini dipegang oleh beberapa orang (waktu itu 12 orang), maka disebut Group Head.

Thursday, August 7, 2008

Memutilasi Kaum Gay



Bolehkah saya kasihan kepada Ryan? Pemuda yang nama lengkapnya Verry Idam Henyansyah ini beberapa minggu terakhir jadi buah bibir semua orang, dihujat sana-sini karena membunuh sedikitnya sebelas orang (hitungan sementara hingga saat ini). Saya sendiri tidak terlalu intens mengikuti kasus ini, hanya membaca dari koran langganan saya dan kadang-kadang kalau pas menyetir mobil saya menyetel radio dan mendengar orang ramai memperbincangkannya. Selebihnya saya mendengar dari obrolan dengan teman-teman. Dari obrolan itu, saya bisa menangkap pesan, bahwa hampir semuanya bernada mengutuk.

Wajarlah kalau banyak orang yang marah, karena kekejaman yang tiada tara itu. Lebih lagi bagi yang masih keluarga/kerabat para korban – mengetahui kenyataan pilu yang dialami korban. Makin ditelusuri makin panjanglah deretan para korban itu. Orang terkaget-kaget dengan jumlah yang makin bertambah.

Tentu saja kasus yang sangat sensasional ini tidak akan disia-siakan oleh media masa. Maka setiap hari media (baik elektronik maupun cetak) tidak pernah sepi memuat berita tentang kasus ini. Seperti biasa, untuk lebih menyedapkan pemberitaan maka media-masa ini aktif menelusuri setiap lekuk dan sudut kehidupan Ryan, yang sebagai seorang kriminal “rakyat jelata” selalu dianggap sah-sah saja untuk di-exposed sedetil-detilnya. Kata “rakyat jelata” saya beri tanda kutip untuk membedakan dengan kriminal elit dimana media masa akan berpikir dua kali untuk memperlakukannya dengan semena-mena karena mereka ini punya pengacara yang melindungi, yang bisa mengancam dengan kalimat: “Saya tuntut kamu!!”

Memang pekerjaan media masa mencari berita dan mengemasnya semenarik mungkin. Itu memang tugas mereka. Tetapi waktu menyadari dari sebuah tulisan di sebuah koran 1) bahwa media masa sudah keterlaluan karena sampai masuk pada wilayah pribadi Ryan, bahkan kehidupan keluarganya, lalu ramai-ramai menyiarkannya sebagai santapan entertainment (hiburan), saya menjadi muak (seperti saya muak dengan acara-acara infotainment yang kebanyakan mengulas kejelekan orang, dalam hal ini adalah selebritis).

Masih masuk akal bagi saya jika media masa mewawancarai pakar yang kompeten di bidangnya demi untuk pembelajaran masyarakat, tetapi perlukah media masa menggali terlalu dalam dan mencari sisi-sisi gelap dari kehidupan Ryan sampai kepada masa lalu ibu/ayahnya, hanya untuk menjualnya demi keuntungan bisnis semata? Apa benefit bagi masyarakat yang akhirnya tahu soal itu? Mau apa kita setelah tahu ibu Ryan begini, bapaknya begitu dan seterusnya dan seterusnya? Menjadi pintarkah masyarakat?

Di tengah hingar-bingarnya pemberitaan itu tiba-tiba muncul suatu temuan bahwa ternyata Ryan adalah seorang gay (homoseksual). Dan entah darimana asalnya tiba-tiba muncul suatu analisa bahwa seorang gay mempunyai kecenderungan psychopath 2) dan bisa bertindak sangat sadis bila dikecewakan atau dilukai perasaannya. Benarkah?

Pengaitan “serial killing” yang dilakukan Ryan dengan ke-gay-annya, membuat berang salah seorang ketua perkumpulan gay di Surabaya, yang berpendapat bahwa justru kaum gay adalah kaum yang termarjinalkan, kaum yang lemah dan sering diperlakukan kejam oleh orang lain, tetapi selama ini mereka “silent” dan tidak berani melapor tindakan sewenang-wenang tersebut karena rasa malu. Mereka malu diketahui orang bahwa mereka adalah gay sehingga lebih memilih membiarkan saja. Adakah keterkaitan pembunuh berdarah dingin dengan perilaku gay/homoseksual?

***

Kira-kira 11 tahun yang lalu waktu saya indekost di daerah Jelambar, sebelah kamar saya dihuni oleh seseorang (laki-laki) yang berumur kira-kira 30an. Orang ini perawakannya biasa, kalau berjalan juga biasa saja seperti layaknya laki-laki tulen. Tetapi jika saya pas sedang mengobrol dengan dia, sekali-sekali muncul gaya bicaranya yang agak “kemayu”, tetapi kemudian gaya itu hilang lagi sebentar, lalu sebentar kemudian muncul lagi. Saya tidak ambil pusing dengan hal tersebut karena saya toh dulu waktu masih sekolah juga mempunyai beberapa teman yang gayanya seperti itu bahkan lebih parah lagi, jalanpun sudah seperti cewek, apalagi kalau ngomong.

Teman indekost saya ini begitu tertutup, tiap hari berangkat pagi dengan pakaian yang sangat necis, berdasi gaya orang kantoran sambil menenteng tas koper. Kalau pulang larut malam. Dia tidak pernah ngumpul dengan teman-teman kost, hanya dengan satu-dua orang yang bertetangga kamar saja (termasuk saya), itupun kalau lagi berpapasan.

Suatu hari waktu larut malam, saya mendengar sayup-sayup suara 2 orang lagi mengobrol di kamarnya. Oh, rupanya dia sudah pulang dan lagi ngobrol dengan temannya, pikir saya. Tapi beberapa saat kemudian, tiba-tiba saya mendengar seperti ada suara terisak. Saya mempertajam kuping saya untuk meyakinkan apa benar suara itu adalah suara isak tangis. Kalau benar suara isak tangis darimana datangnya, apakah datang dari kamar-kamar bawah (yang khusus untuk cewek)?

Saya terus mempertajam kuping saya, dan kuping saya meng-confirmed bahwa suara isak itu dari kamar sebelah, tetapi otak saya ragu kalau isak tangis itu sumbernya dari sana. Mengapa? Ya karena penghuninya laki-laki, dan suara isak itu betul-betul begitu lembut seperti suara perempuan. Apakah teman saya itu membawa cewek ke kamarnya? Ah, tidak mungkin, pikir saya, karena aturan di kost melarang kami menerima tamu/teman berlainan jenis di dalam kamar. Sejenak suara isak itu lenyap. Saya tunggu-tunggu suara itu tidak muncul lagi. Sampai saya tertidur saya tidak tahu persis benarkah itu suara isak tangis dan darimana sumber suara itu.

Waktu pagi, kembali saya dikagetkan dengan suara isak itu lagi, kali ini suaranya makin lama makin keras, lebih keras dan sudah berupa tangisan, bukan isak lagi. Yakinlah saya dengan kuping saya semalam bahwa suara itu memang bersumber dari kamar teman saya itu. Saya mendengar suara teman saya itu bernada agak tinggi, seperti lagi bertengkar. Setelah itu terdengar langkahnya keluar kamar, melewati kamar saya, dan di belakangnya seorang laki-laki tinggi tegap mengikutinya dengan sedu-sedannya sambil membawa botol minuman keras. Wah, fenomena apa ini? Saya tertegun blo’on menyaksikan adegan itu. Sampai saya pindah kost saya tidak tahu cerita selanjutnya dari teman saya dan temannya itu. Are they a couple?

Apakah teman kost saya dan temannya itu seorang gay? Benarkah seorang gay, seperti anggapan orang selama ini, adalah seorang yang bisa bertindak sadis jika disakiti, ataukah seperti temannya teman saya di kost itu, yang lebih memilih terisak dan menangis pada saat “disakiti” oleh pasangannya?

Kriminolog dari UI, Adrianus Meliala dalam suatu wawancara di radio ketika ditanya apakah Ryan adalah seorang psychopath, tidak berani secara tegas mengiyakan, karena berdasarkan interogasi sementara dari polisi, masih sangat sulit menyimpulkan bagaimana sebenarnya kepribadian Ryan, terutama dalam hal kait-mengait antara ke-gay-annya, motif pembunuhannya dan kejiwaannya. Menurut Adrianus, ciri paling melekat pada seorang psychopath adalah dia akan sangat menikmati (excited) waktu melakukan perbuatannya tersebut dan menikmati jika orang lain (polisi maupun masyarakat) sibuk dan heboh membahas dirinya. Ciri yang lain adalah biasanya seorang psychopath adalah seorang yang cerdas. Dia bisa mencari alibi sehingga penyidik sulit mengarahkan ke suatu kesimpulan. Pernah nonton film “Basic Instinct”3) yang terkenal itu? Siapa pembunuhnya yang sebenarnya?

Mengungkapkan suatu kejadian dan memberitakan ke masyarakat memang pekerjaan media masa. Memang perbuatan Ryan yang membunuh belasan orang harus mendapat hukuman yang seadil-adilnya. Tetapi perlukah sampai mengait-kaitkan pembunuhan ini dengan perilaku gay hanya karena Ryan adalah seorang gay? Berapa banyak pembunuhan yang lebih sadis dilakukan oleh orang yang bukan gay? Saya tidak pro gay atau pro homoseksual. Saya hanya berharap kita bisa menjadi bangsa yang lebih dewasa, dan tidak melakukan mutilasi terhadap kaum/etnik/bangsa dengan stigma-stigma semacam ini.

Baiklah kita selalu berusaha bersikap proporsional dalam segala hal. Kalau ada orang Nigeria tertangkap sebagai pengedar narkoba bukan berarti seluruh bangsa Nigeria adalah bangsa pengedar narkoba, bukan? Bagi saya gay/homoseksual tetaplah perilaku menyimpang, tidak normal. Lebih-lebih jika saya memotretnya dari angle lain, yaitu sudut pandang agama - saya kira akan lebih serem (mungkin lain kali saya akan menulis blog mengenai hal ini). Tetapi saya akan tetap menghargai mereka jika mereka tidak mau menyadari bahwa hal tersebut memang menyimpang.
***
Serpong, 6 Agustus 2008
Titus J.

Catatan:
1. Budi Suwarna, “Ramai-ramai Menjual Kasus Ryan” – Kompas 3 Agustus 2008.
2. Psychopath dalam kamus Oxford adalah: “A person suffering from chronic mental disorder with abnormal or violent social behavior”.
3. Film "Basic Instinct", dibintangi oleh Michael Douglas dan Sharon Stone.

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...