Saturday, December 5, 2020

Ia Bukan Bapak-Nya

Story#2 Days of Advent


Sudah tiga bulan sejak ia mengirimkan meja rias itu kepada Maria, Yusuf tak memperoleh kabar sama sekali dari tunangannya itu. Hari-hari itu ia sangat sibuk dengan pesanan perabotan kayu dari orang-orang di sekitar Nazaret, bahkan hingga dari desa-desa lain di Galilea. Ia tak sempat berkunjung ke rumah Maria.

Sore hari setelah Yusuf menutup bengkel kayunya, ia bergegas mandi dan bersiap, lalu menuju ke rumah Maria. Sepanjang jalan hatinya gundah dan penuh tanya. Tak sabar, maka ia mempercepat langkahnya.

"Maria, kau sakit? Wajahmu pucat!" tanya Yusuf kepada Maria yang menyambutnya di depan pintu. Maria mematung. Tangannya meraba perutnya. Matanya memandang Yusuf. Ketika kedua pasang mata itu bertemu, Yusuf menangkap sesuatu, sesuatu yang terpendam, sesuatu yang dalam.

Yusuf menoleh ke sekeliling, tak dilihatnya seorangpun. Dibimbingnya Maria duduk, lalu ia berkata setengah berbisik, "Maria, katakan, apa yang terjadi?"
Maria menggerakkan bibirnya tetapi tak satu pun kata terucap. Lagi-lagi ia memegang perutnya. Yusuf terdiam, matanya tajam mengusut.
"Ak... aku mengandung Yusuf," kata Maria lirih.
Yusuf mendekatkan telinganya. Ia yakin tak salah dengar, tetapi ia berharap telinganya yang keliru.
"Tiga bulan yang lalu...," meluncurlah kata demi kata dari bibir Maria menceritakan kunjungan malaikat itu. Tetapi sepanjang cerita itu tenggorokannya seperti tercekat, dan ia melihat mata Yusuf menerawang ke ruang kosong.

Yusuf terdiam. Apa yang baru ia dengar itu terasa memalu kepalanya, dan ia tak dapat mengerti. "Jadi aku bukan bapak bayi itu...," pikirnya. Ia ingin berteriak tetapi ketulusan hatinya mencegahnya untuk mencerca Maria.

Malam itu ia pulang dengan pikiran berkecamuk. Dalam pembaringannya ia terus berpikir dan menimbang. Matanya sulit terpejam. Malam semakin larut, hatinya semakin senyap. Dalam kegamangan ia menulis sepucuk surat, "Maria, aku tidak tahu apakah aku harus gembira atau berduka atas apa yang kau alami. Aku belum mampu memahami benar perkara bayi dalam kandunganmu itu, apakah itu aib atau suatu kemuliaan. Aku hanya seorang tukang kayu yang ingin hidup tenang bersamamu dalam kesederhanaan. Tapi tiba-tiba ceritamu mengubah segalanya. Kita harus rela untuk melupakan bahwa kita pernah saling mencintai. Lebih bijak, mungkin, jika aku tidak ikut campur atas apa yang sudah ditentukan oleh Allah. Selamat tinggal. Salam."

Setelah ia melipat surat itu, ia menghembuskan nafas sepanjang-panjangnya untuk melepaskan segala penat.

Tetapi...
Dalam tidurnya yang sebentar-sebentar terjaga, pada sebuah lelap seorang yang rupawan - yang wujudnya seperti yang diceritakan oleh Maria - mendatanginya, "Yusuf, jangan kau takut mengambil Maria menjadi istrimu, karena bayi dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus."

Lalu mimpinya putus, dan lelapnya usai. Yusuf duduk di tepi pembaringannya, lalu menyeka peluhnya. Dadanya naik-turun mengatur nafas. Ia mencari orang itu, tetapi hanya dilihatnya ruang kosong di kamarnya.

Dalam gelap ia meraba-raba mencari surat yang tadi ditulisnya, lalu merobeknya. Ia tak melanjutkan tidurnya, dan menunggu fajar menyingsing.

Pagi-pagi sekali ia pergi ke rumah Maria. Ia  mengajaknya kawin secara resmi, dalam waktu dekat. Ia ikhlas menjadi bapak, walaupun ia menyadari ia bukanlah bapak Anak itu.

***

Serpong, 5 Des 2020

Titus J.

No comments:

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...