Story#2 Days of Advent
Sudah tiga bulan sejak ia mengirimkan meja rias itu kepada
Maria, Yusuf tak memperoleh kabar sama sekali dari tunangannya itu. Hari-hari
itu ia sangat sibuk dengan pesanan perabotan kayu dari orang-orang di sekitar
Nazaret, bahkan hingga dari desa-desa lain di Galilea. Ia tak sempat berkunjung
ke rumah Maria.
Sore hari setelah Yusuf menutup bengkel kayunya, ia bergegas
mandi dan bersiap, lalu menuju ke rumah Maria. Sepanjang jalan hatinya gundah
dan penuh tanya. Tak sabar, maka ia mempercepat langkahnya.
"Maria, kau sakit? Wajahmu pucat!" tanya Yusuf
kepada Maria yang menyambutnya di depan pintu. Maria mematung. Tangannya meraba
perutnya. Matanya memandang Yusuf. Ketika kedua pasang mata itu bertemu, Yusuf
menangkap sesuatu, sesuatu yang terpendam, sesuatu yang dalam.
Yusuf menoleh ke sekeliling, tak dilihatnya seorangpun.
Dibimbingnya Maria duduk, lalu ia berkata setengah berbisik, "Maria,
katakan, apa yang terjadi?"
Maria menggerakkan bibirnya tetapi tak satu pun kata terucap.
Lagi-lagi ia memegang perutnya. Yusuf terdiam, matanya tajam mengusut.
"Ak... aku mengandung Yusuf," kata Maria lirih.
Yusuf mendekatkan telinganya. Ia yakin tak salah dengar,
tetapi ia berharap telinganya yang keliru.
"Tiga bulan yang lalu...," meluncurlah kata demi
kata dari bibir Maria menceritakan kunjungan malaikat itu. Tetapi sepanjang
cerita itu tenggorokannya seperti tercekat, dan ia melihat mata Yusuf
menerawang ke ruang kosong.
Yusuf terdiam. Apa yang baru ia dengar itu terasa memalu
kepalanya, dan ia tak dapat mengerti. "Jadi aku bukan bapak bayi
itu...," pikirnya. Ia ingin berteriak tetapi ketulusan hatinya mencegahnya
untuk mencerca Maria.
Malam itu ia pulang dengan pikiran berkecamuk. Dalam
pembaringannya ia terus berpikir dan menimbang. Matanya sulit terpejam. Malam
semakin larut, hatinya semakin senyap. Dalam kegamangan ia menulis sepucuk
surat, "Maria, aku tidak tahu apakah aku harus gembira atau berduka atas
apa yang kau alami. Aku belum mampu memahami benar perkara bayi dalam
kandunganmu itu, apakah itu aib atau suatu kemuliaan. Aku hanya seorang tukang
kayu yang ingin hidup tenang bersamamu dalam kesederhanaan. Tapi tiba-tiba
ceritamu mengubah segalanya. Kita harus rela untuk melupakan bahwa kita pernah
saling mencintai. Lebih bijak, mungkin, jika aku tidak ikut campur atas apa
yang sudah ditentukan oleh Allah. Selamat tinggal. Salam."
Setelah ia melipat surat itu, ia menghembuskan nafas
sepanjang-panjangnya untuk melepaskan segala penat.
Tetapi...
Dalam tidurnya yang sebentar-sebentar terjaga, pada sebuah lelap
seorang yang rupawan - yang wujudnya seperti yang diceritakan oleh Maria -
mendatanginya, "Yusuf, jangan kau takut mengambil Maria menjadi istrimu,
karena bayi dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus."
Lalu mimpinya putus, dan lelapnya usai. Yusuf duduk di tepi
pembaringannya, lalu menyeka peluhnya. Dadanya naik-turun mengatur nafas. Ia
mencari orang itu, tetapi hanya dilihatnya ruang kosong di kamarnya.
Dalam gelap ia meraba-raba mencari surat yang tadi
ditulisnya, lalu merobeknya. Ia tak melanjutkan tidurnya, dan menunggu fajar
menyingsing.
Pagi-pagi sekali ia pergi ke rumah Maria. Ia
mengajaknya kawin secara resmi, dalam waktu dekat. Ia ikhlas menjadi bapak,
walaupun ia menyadari ia bukanlah bapak Anak itu.
***
Serpong, 5
Des 2020
Titus J.
No comments:
Post a Comment