Wednesday, July 9, 2008

Politik Jeruk Makan Jeruk




Anggota Fraksi Partai Golkar (FPG) DPR-RI, Yudhi Chrisnandi mungkin perlu belajar memilih kursi secara bijak, karena tidak semua kursi walaupun fungsinya sama yaitu untuk duduk, cocok bagi dirinya.

Mungkin pendiriannya untuk berbeda sendiri dengan fraksinya tentang penggunaan hak angket kenaikan harga BBM mendapat applause dari mahasiswa dan dari kalangan pemrotes kebijakan pemerintah yang tidak populer tersebut. Tapi tidak bagi Golkar. Setelah sikapnya itu Yudhi mendapat teguran tertulis dari fraksinya. Ketua Partai Golkar Jusuf Kalla mengatakan teguran itu adalah kartu kuning bagi Yudhi, artinya, kalau di sepak bola pemain yang mendapatkan kartu kuning sampai 2 kali akan otomatis kena kartu merah alias harus out.

Ditinjau dari sisi Partai Golkar, teguran terhadap Yudhi adalah hal yang wajar. Kenapa? Karena Yudhi jelas-jelas “melawan” kebijakan partainya. Mungkin anda complain, “Wah, kalau begitu Golkar tidak demokratis dong.” Ini bukan masalah demokratis atau tidak, tapi sebuah organisasi yang kuat memang harus tertib, teratur dan kompak. Dalam proses apapun selama itu masih dibicarakan di dalam (internal), tiap orang boleh saja berdebat, beradu argumentasi seseru-serunya, kalau perlu menggebrak meja bahkan sampai urat leher putus. Boleh saja, ini kan demokrasi? Setiap orang boleh bicara dan berpendapat. Tetapi setelah ada keputusan, semua anggota seharusnya tunduk. Apa jadinya kalau tiap orang mau “nyelonong” sendiri-sendiri? Bayangkan kalau anggota FPG yang 120 orang itu satu bilang A, yang lain bilang B dan yang lain lagi bilang C. Apa jadinya?

Boleh saja Yudhi bersikap “pro-rakyat” (tanda kutip ini untuk menandai bahwa mereka yang menolak kenaikan harga BBM tidaklah identik dengan apa yang dinamakan pro-rakyat). Boleh saja Yudhi mengikuti hati nuraninya yang tersentuh melihat penderitaan “orang-orang kecil” yang tidak sanggup lagi makan 3 kali sehari, menyekolahkan anak, berobat ke dokter, dan lain-lain karena harga-harga naik sebagai dampak kenaikan harga BBM. Salut buat Yudhi yang punya empati. Tetapi, kenapa dia berada di Partai Golkar?

Kalau kita mau berpikir dengan akal sehat, jelas dong Golkar tidak mau menggunakan hak angket. Kenapa? Lha Ketua Umumnya adalah wapres kok, dan wapres berarti pemerintah. Yang menaikkan harga BBM pemerintah. Justru lucu kalau Golkar melawan pemerintah, seperti jeruk makan jeruk dong? Makanya yang menolak hak angket cuma 2 fraksi, yaitu FPG dan Fraksi Partai Demokrat karena mereka notabene adalah pemerintah itu sendiri.

Lalu, Yudhi Chrisnandi harus bagaimana? Menurut saya dia mesti pilih kursi di PDI-Perjuangan (PDIP), sebab sejak semula sikap PDIP jelas sekali, yaitu mengambil posisi sebagai partai oposisi. Lebih baik bersikap jelas begini, jadi nggak tanggung, nggak banci. Saya kira PDIP enak sekali, mau mengeritik pemerintah nggak ada beban, karena sikapnya jelas. Yang lucu justru partai-partai yang terus-terusan mengeritik pemerintah, tapi terus juga mau duduk jadi menteri. Waktu anggota kabinet bidang ekonomi rapat tentang BBM, bukankah menteri-menteri itu ada dan ikut memberi pendapat serta mengambil keputusan? Setelah keputusan diambil dan dilaksanakan, kenapa partai-partai mereka malah melawan kebijakan, dimana teman-teman mereka yang jadi menteri itu ikut serta memutuskan? Lagi-lagi jeruk makan jeruk.

Kornelius Purba pada tulisannya di The Jakarta Post tanggal 26 Juni mengatakan “All those ministers are lucky enough, because the President still trust them to stay in the Cabinet. According to the basic logic, they should have quit from the Cabinet, or the President should tell them: Get out!” 1)

Dulu di jaman orde baru, sikap seperti itu pernah terjadi pada Sidang Umum MPR tahun 1988, pada tanggal 10 Maret 1988 saat berlangsungnya rapat paripurna MPR untuk mensahkan Suharto menjadi Presiden RI untuk kesekian kalinya. Waktu itu Suharto sebagai calon tunggal presiden, tetapi calon wapresnya ada 2 orang, yaitu Sudharmono dan H. Jaelani Naro (Ketua Umum PPP).

Ketika ketua MPR Kharis Suhud mau mengetokkan palu untuk mensahkan Suharto (setelah teriakan koor “setuju” dari seluruh anggota), tiba-tiba terdengarlah teriakan interupsi dari barisan tempat duduk FABRI. Dialah Brigjend. Ibrahim Saleh. Pria tinggi kurus ini lalu maju ke mimbar dan di depan microphone menyatakan ganjalannya tentang wapres. Sekitar 6 bulan setelah insiden yang menggegerkan itu Ibrahim Saleh di-recall dari keanggotaannya di DPR/MPR, kemudian ia surut dari pentas politik 2).

Ya memang berbeda sah-sah saja, tapi mengemukakan perbedaan harusnya tidak di sembarang tempat. Tidak harus asal beda. Layaknya sebuah instrumental jazz yang dimainkan di nada dasar G, yang mengalun dengan cantik penuh improvisasi, tapi tiba-tiba suara saxophone-nya nyelonong masuk dengan nada dasar F. Wah report...


***
Catatan:
1) Segment “Commentary” The Jakarta Post tanggal 26 Juni 2008 berjudul “Questioning cowardly ministers around President SBY” oleh Kornelius Purba, ditulis setelah DPR memutuskan untuk menggunakan hak angket terhadap kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM
2) Mengenai interupsi Ibrahim Saleh, dapat dibaca pada buku “Benny – Tragedi seorang loyalis” yang ditulis oleh Julius Pour.


Serpong, 9 Juli 2008
Titus J.

No comments:

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...