Wednesday, July 23, 2008

Parmin

(Dimuat di Harian Suara Pembaruan - 17 Januari 1999. Cerpen ini diilhami keadaan saat itu yang sedang marak dengan isu pembantaian dukun santet oleh orang-orang yang berpakaian ala ninja di Jawa Timur)


Punya anggota keluarga yang sakit jiwa rasanya memang menyedihkan dan memilukan. Itulah keluhan yang sering dilontarkan oleh Bu Paitun, tentang anak bungsunya, Parmin, yang kini berumur lima belas tahun, yang dikenal di desanya sebagai orang tidak waras. Mending Parmin hanya diam di rumah, mau bertingkah sampai jungkir balikpun tak terlalu dihiraukan oleh Bu Paitun dan Malik, kakak satu-satunya. Tapi Parmin suka keluyuran. Kegemarannya adalah jalan kaki. Kemanapun ia selalu jalan kaki, tak peduli jauh. Pagi-pagi bangun tidur ia sudah ngelayap. Bu Paitun selalu kebingungan dan tergopoh-gopoh menyuruh Malik agar mencari Parmin dan membawanya pulang.

Sebenarnya tidak terlalu sulit untuk menemukan Parmin. Paling-paling ia berdiri di perempatan jalan, menghitung satu-satu sepeda yang lewat sambil tertawa-tawa. Bila ia sudah menghitung, jangan harap ia mau berhenti. Ia tak bakal capek dan pergi dari situ sebelum Malik mengajaknya pulang. Bila Parmin tak ada di perempatan, Malik akan menuju ke lapangan, sebab Parmin suka sekali menonton orang-orang bermain bola. Orang-orang itu keenakan bila Parmin ada di sana, sebab mereka tidak usah capek-capek memungut bola yang terbang jauh. Tanpa disuruhpun Parmin begitu rajin memungut bola kemanapun bola itu jatuh, ke tempat sampah, naik pohon bila bolanya tersangkut, bahkan sampai terjun ke kali berlumpur hitam bau bacin di seberang lapangan. Ia akan tertawa-tawa bila orang-orang itu mengacungkan jempolnya setelah ia mengambil bola.

Biasanya orang-orang itu memberinya Rp. 100,- selepas bermain bola, lalu Parmin yang kegirangan akan menempelkan kepingan logam itu di dahinya sebentar sebelum akhirnya dia masukkan ke saku celananya. Ia tak bakal mau menerima uang selain kepingan putih itu, sekalipun kepingan kuning yang diameternya lebih kecil bernilai sama, seratus rupiah. Lebih-lebih uang kertas, akan ditolaknya mentah-mentah sambil melemparkannya. Entahlah, mungkin menurutnya itu tidak laku atau itu bukan uang.

Dengan kepingan itu ia akan membeli es dawet di pinggir lapangan. Orang-orang di situ sudah tahu bahwa hanya Parminlah yang bisa mendapatkan segelas es dawet dengan cuma membayar seratus rupiah, sementara yang lain harus menyerahkan tiga kepingan uang logam seperti itu. Tak ada protes, tak ada complain.

Hari itu seperti biasa Bu Paitun menyuruh Malik untuk mecari Parmin dan mengajaknya pulang, karena memang itulah tugas rutinnya sehabis ia pulang dari kantor kecamatan tempatnya bekerja. "Susul adikmu, Lik, nanti keburu gelap," demikian kata-kata yang selalu diucapkan Bu Paitun. Pertama kali Malik menuju perempatan, tapi ia tak ada di sana. "Pasti ia ada di lapangan," pikir Malik. Tetapi di lapanganpun Malik tak menemukan adiknya. Kepada setiap orang yang dijumpainya Malik bertanya-tanya: "Lihat Parmin?", tetapi tidak seorangpun mengetahuinya. Matahari sudah terbenam, Malik terus berjalan sambil terus bertanya bila berpapasan dengan orang, tetapi semuanya tidak tahu, hingga seseorang berkata: "Aku melihatnya ke arah Barat, setengah jam yang lalu." Bergegas-gegas Malik berjalan menuju Barat, ia sekarang malah khawatir ibunya telah menunggu terlalu lama. "Pasti ia ke sana," pikir Malik.

Dengan irama napas yang cepat sampailah Malik ke sebuah sekolahan, salah satu SD Inpres di desa itu, di situlah Parmin pernah sekolah. Dilihatnya Parmin sedang duduk bersila di tanah, diam membisu sambil tangannya meremas-remas tanah. Malik berhenti tak jauh dari tempat Parmin duduk, untuk ke sekian kalinya Parmin berlaku seperti itu, dan Malik tetap tak mengerti. Bila sudah duduk di situ Parmin betah berjam-jam tanpa merasa harus berganti posisi atau sekedar menyelonjorkan kakinya. Kadang-kadang ada anak-anak kecil yang iseng menimpuknya dengan kerikil, tetapi itupun tak membuatnya bereaksi apapun sampai anak-anak itu bosan dan pergi.
"Min..., sudah gelap, ayo kita pulang," Malik mendekatinya dan menepuk pundaknya. Parmin diam saja, tangannya terus meremas-remas tanah.
"Min..., pulang, Min..., ibu menunggumu dari tadi."

Bila sudah berada di sana, Parmin susah sekali diajak pulang. Bu Paitun dan Malik sudah tahu hal itu, maka mereka tidak suka bila Parmin pergi ke sekolah itu. Tapi bagaimana? Susah, susah sekali mencegahnya, karena mana mungkin mereka mengawasi Parmin terus-menerus? Bukankah Parmin bebas kemanapun agar ia bisa merasa senang karena tidak dikurung di rumah?

Lama sekali Malik membujuknya, seperti pesan ibunya bahwa ia harus sabar dan bersikap sehalus mungkin kepada adiknya yang memang menderita seperti itu. Bukankah adiknya tak pernah mengerti apa yang dilakukannya?
"Ayo Min..., pulang, kasihan ibu...," Malik berkata sambil memegang tangan Parmin dan sedikit menariknya, tapi Parmin tak juga mau mengangkat pantatnya. Setelah lama sekali membujuknya tidak berhasil, malah hari sudah makin malam, mulailah timbul kejengkelan Malik. Ditariknya tangan Parmin dan diseretnya sehingga Parmin meronta-ronta dalam cengkeraman tangannya. Sambil terus menjerit dan meronta Parmin berusaha melepaskan tangannya, namun tangan Malik lebih kuat. Suara itu terdengar di sepanjang perjalanan mereka pulang. Penduduk desa yang mendengar suara gaduh itu serta merta keluar rumah dan sebentar saja terjadilah kerumunan orang untuk melihat tontonan itu. Ketika telah dekat rumahnya, Bu Paitun keluar sambil berlari-lari menghampiri mereka.
"Woalah le..., sabar le...," terdengarlah suara Bu Paitun terbata-bata sambil memandang Malik.
"Sudah..., sudah..., meneng le 1)...," berjalanlah ia masuk sambil digandengnya tangan Parmin.

* * *

Malam makin jauh merambat, tubuh rembulan kelihatan hanya sedikit, angin berhembus pelan. Bu Paitun menutup jendela kamarnya. Dilihatnya Parmin telentang di tempat tidur. Biasa, bila habis menangis ia minta tidur di kamar ibunya. Bu Paitun melangkah mendekati Parmin, ditepuknya pahanya yang digigit nyamuk, tetapi gerak tangannya kalah cepat sehingga nyamuk itu terbang dan terus mendengung-dengung di atas. Parmin menggeliat dan memiringkan badannya menghadap ke dinding. Bu Paitun duduk di tepian tempat tidur, sambil menaikkan celana kolor Parmin yang melorot agar pantatnya tidak kelihatan.

Dipandanginya tubuh anaknya yang membelakanginya. Sebentar pikirannya terbang membawanya pada sebuah masa, lima tahun lalu, tatkala Parmin masih bocah, baru sepuluh tahun umurnya. Betapa Parmin adalah anak yang periang, sopan, cerdas. Begitu rajinnya ia ke sekolah, tak pernah harus dibangunkan pagi-pagi karena ia mengerti jam berapa harus berangkat ke sekolah dengan dibonceng sepeda oleh ayahnya. Di kelaspun selalu mendapat pujian dari guru-gurunya karena nilai rapornya yang selalu di atas teman-temannya. Bu Paitun teringat bila Parmin ditanya bila besar nanti mau jadi apa, selalu dijawabnya mau jadi tentara. Pantaslah, karena kegemarannya selalu menonton tentara-tentara berbaris dan berlari-lari menyusuri jalan-jalan desa dengan bunyi sepatu yang berderap-derap dengan gagahnya.

Tubuh Parmin bergerak sebentar, kemudian miring menghadap ibunya. Matanya terpejam begitu rapat, tampaknya pulas sekali ia tidur. Bu Paitun mengusap dahi Parmin yang sedikit berkeringat. Lamunannya membawanya kembali ke sebuah peristiwa di hari naas itu, hari yang tak pernah bisa begitu saja dilupakannya, ketika Parmin dijemput ayahnya dari sekolah. Sedang mereka bersepeda pulang, di tengah jalan sebuah truk pengangkut pasir menghantam mereka dengan kerasnya dan terjadilah, ayahnya tewas seketika dengan tubuh hancur, sementara Parmin yang terpental tidak sadarkan diri. Bu Paitun yang mendengar kabar itu melolong-lolong sambil berlarian kian kemari, sampai akhirnya tetangga-tetangganya menenangkannya.

Lebih dari sebulan ia harus menunggui Parmin di rumah sakit, dan terperanjatlah ia ketika dokter mengatakan bahwa penyembuhan Parmin tidak bisa sempurna, dan sebaiknya ia dibawa pulang saja. Apa yang dimaksudkan dokter dengan mengatakan: "Tidak bisa sempurna?" Dalam perjalanan pulang didekapnya Parmin yang sejak tadi hanya membisu saja.

Tibalah hari-hari panjang bagi Bu Paitun, yang sekarang harus menghabiskan hari-harinya tidak seperti dulu. Merawat, mengasuh, mengajari Parmin dengan cara-cara berbeda, berbeda dengan anak-anak lainnya yang sebaya, berbeda dengan siapapun yang bisa berpikir dan berlaku semestinya. Kini Parmin tak bersekolah lagi. Bila ditanya mau jadi apa kelak, ia hanya tertawa, tertawa dan tertawa. Musnah sudah impiannya untuk melihat Parmin menjadi tentara, berseragam loreng, memakai baret, menyandang bedil, berbaris dengan gagah bersama derap sepatunya. Setiap hari ia hanya keluyuran, menghitung sepeda yang lewat di perempatan, menonton orang bermain bola di lapangan, dan duduk termenung di sekolah pada waktu senja. Bu Paitun memang sengaja membiarkannya, agar ia bebas, bebas dan bebas.
"Ah, alangkah cepatnya lima tahun berlalu, waktu berputar bagai hembusan angin saja," Bu Paitun mengusap matanya yang basah.
"Jadi kita bawa dia besok, Bu?" suara Malik di pintu kamar mengagetkan Bu Paitun.
"Eh..hmm...jadi, hm... ya jadi."
"Ibu ikhlas...?"
"Ikhlas."

Pagi-pagi benar Parmin sudah berpakaian rapi, wajahnya berseri-seri karena kata ibunya, hari itu mereka akan piknik. Sebuah tas penuh pakaian sudah disiapkan, juga sebuah bedil-bedilan dari kayu, mainan kekasih 2) milik Parmin. Bu Paitun, Malik dan Parmin meninggalkan rumah disaksikan tetangga-tetangga mereka dengan pandangan mata yang bingung.

Di sebuah bangunan bertuliskan "Rumah Sakit Jiwa Pusat" Lawang, Malang, seorang dokter berkata kepada Bu Paitun:
"Anak ibu menderita gangguan jiwa yang diistilahkan dengan skizofrenia. Baiklah, bu, percayakan anak ibu kepada kami, bila kangen tengoklah ia ke sini, mudah-mudahan keadaannya cepat membaik, sehingga iapun memiliki masa depan yang baik seperti anak-anak lainnya."

* * *

Empat tahun telah berlalu. Malik sudah kawin dan beranak satu, bersama istri dan anaknya mereka tetap tinggal di rumah itu, karena memang Bu Paitun yang memintanya, sekalian menemani Bu Paitun yang mulai beruban. Sebulan sekali Bu Paitun menengok Parmin, tanpa kenal lelah. Sore itu, bersandar di kursi rotan, Bu Paitun membolak-balik sebuah album photo, dilihatnya Parmin yang baru bisa berjalan. Alangkah montok dan lucunya ia, menggemaskan siapapun yang melihatnya, sehingga orang-orang selalu ingin mencubit pipinya. Besok tanggal 2 Agustus, Parmin sudah sembilan belas tahun. Bila ia tetap sekolah, pastilah ia sudah lulus SMA, dan melanjutkan ke AKABRI, seperti cita-citanya dulu. Ingatkah ia akan hari ulang-tahunnya?
"Besok aku mau ke sana," Bu Paitun menggumam lirih, ditemani angin.

Pagi-pagi Bu Paitun berkemas, ini hari istimewa karena Parmin berulang-tahun. Sesampai di rumah sakit ia menyerahkan rantang berisi nasi, rendang, dan sebungkus emping kepada petugas rumah sakit agar diberikan kepada Parmin. Bu Paitun sengaja tak mau memanggil Parmin, karena dari jauh dilihatnya Parmin tengah asyik bergembira bersama teman-temannya. Matahari telah tinggi ketika Parmin meninggalkan teman-temannya dan berlari menghampiri ibunya. Diciumnya tangan ibunya, Bu Paitun balas mencium keningnya, memeluknya, sesaat kemudian berpamitan pulang.

Pada kunjungannya yang kesekian kalinya, Bu Paitun meminta dokter agar Parmin diijinkan pulang bersamanya, karena telah dilihatnya keadaannya jauh membaik, lagipula agar ia bisa berkumpul bersama keluarga di rumah, tetapi dokter mengatakan:
"Hidup penderita skizofrenia itu mirip residivis, mantan narapidana. Sekeluar dari perawatan di er es je, jika tidak didukung oleh kesediaan masyarakat menerima dirinya secara apa adanya, bisa kemudian kambuh lagi. Jika penderita justru dijauhi, atau setiap kali bicara ditertawakan, akan membuat jiwa penderita yang rapuh kambuh lagi." 3) Entah bagaimana, akhirnya Parmin diijinkan pulang. Tetapi tampaknya Parmin merasa berat untuk meninggalkan tempat itu. Ia pamit kepada teman-temannya dan perawatnya yang membalasnya dengan lambaian tangan.

Daun-daun bambu yang ditiup angin membuat suasana desa itu tambah sunyi. Bulan ditutup awan, malam semakin larut, suara jangkrik mengerik menyanyikan lagu tentang kesepian, tentang luka, tentang kesedihan dan tentang hati yang rindu. Parmin memandangi malam dari jendela kamarnya yang terbuka. Sudah seminggu sejak ia pulang, setiap malam ia berdiri seperti itu, entah apa yang dipikirkannya.
"Kenapa, Min?" demikian selalu ditanya ibunya kepadanya, namun Parmin selalu menggeleng.
"Apa kamu tidak suka bersama ibu, masmu, dan mbak Iffah serta si Gito di sini, Nak?"

* * *

Pada sebuah malam hampir pagi, rumah Bu Paitun diketuk oleh seseorang.
"Siapa?" terdengar suara Malik dari dalam rumah.
"Polisi, mohon keluar sebentar."
Tergopoh-gopoh Malik membangunkan ibunya lantas membukakan pintu, di luar dua orang polisi dan Pak RT di sebelahnya.
"Benarkah ini rumah Parmin?"
"Parmin? Eh, ya,ya...benar, hmm... tapi dia masih tidur."
"Kami menemukan mayat Parmin di pinggir jalan, sekitar lima kilometer dari Lawang, Malang."
Bu Paitun dan Malik membelalakkan matanya, keduanya berlari ke dalam, dan bagai disambar petir mereka terperanjat ketika melihat tempat tidur Parmin kosong. Iffah, istri Malik, keluar dari kamar, mengucek-ucek matanya dan berjalan keluar mengikuti mereka.
"Woalah Gusti..., Gusti..., kenapa Pak, apa yang terjadi?"
"Tenang bu, sabar..., tenang..., sebaiknya ibu segera ikut kami ke Rumah Sakit untuk memastikannya."

Di sebuah Rumah Sakit Umum di Malang, Bu Paitun dan Malik menangis tersedu-sedu melihat mayat Parmin berlumuran darah yang sudah mengering. Sekujur tubuhnya penuh luka bacokan, kepalanya nyaris terpisah dengan tubuhnya dan darah menutupi wajahnya hingga hampir-hampir Bu Paitun dan Malik tak bisa mengenalinya. Baju yang dipakai Parminlah yang pertama kali meyakinkan mereka bahwa itu memang Parmin. Ditubruknya tubuh Parmin yang telentang, diusap-usapnya wajahnya dengan tangannya yang gemetar dan terus gemetar. Suasana di kamar mayat hanya berisi sedu sedan mereka sementara petugas rumah sakit hanya bisa memandangi dan membiarkan adegan itu berlangsung.

Hari semakin siang, di sebuah ruang tunggu Bu Paitun dan Malik termenung, sedang menunggu mayat Parmin diotopsi sebelum dibawa pulang untuk dikuburkan. Seorang penyiar TV membacakan berita:
"Pembantaian orang-orang yang disangka ninja terus berlanjut. Semalam seorang bernama Parmin tewas dikeroyok massa di daerah Lawang, Malang, Jawa Timur. Diduga korban adalah orang gila yang berkeliaran, karena lokasi kejadian tidak jauh dari sebuah Rumah Sakit Jiwa. Seorang saksi mata menuturkan bahwa masyarakat yang pada hari-hari belakangan ini sangat giat menggalakkan pengamanan swakarsa menangkap korban yang sedang berjalan dan setelah diinterogasi oleh massa korban tak bisa menjawab apapun..."

Bu Paitun dan Malik membisu. Mata mereka yang masih sembab karena menangis menerawang jauh. Mungkin mereka tidak mendengar dan tidak mengerti tentang siapa penyiar TV tersebut membaca beritanya.

* * *

Catatan:
1) Meneng: diam (bahasa Jawa) ; Le (tole = panggilan untuk anak kecil – bahasa Jawa)
2) Dari cerpen "Seribu Kunang-kunang di Manhattan" karya Umar Kayam. Mainan kekasih adalah mainan yang begitu dikasihi sehingga kemanapun pergi selalu harus dibawa.
3) Dari berita Kompas, 9 November 1998 berjudul "Paguyuban Keluarga Penderita Skizofrenia"


Jakarta, 21 November 1998


Titus J.

1 comment:

Anonymous said...

Pantesan gaya nulisnya enak, wong sudah pengalaman cerpennya dimuat...hehehe...what an amazing skill you have man...

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...