Friday, July 11, 2008

Pearl Market, Dari Versace Sampai Giordano

Catatan perjalanan ke Beijing (bagian pertama)



Memang luar biasa negeri Cina sekarang.

Rasa penat yang saya rasakan duduk di pesawat semalaman dari Changi airport Singapore seketika hilang waktu pesawat Singapore Airlines yang saya tumpangi menurunkan badannya pelahan di atas kota Beijing. Kelopak mata yang berat tiba-tiba terbuka begitu suara pramugari menyatakan bahwa sesaat lagi kami akan mendarat.

Hari itu tanggal 2 September 2007, sekitar jam 6 pagi waktu setempat. Langit di sebelah saya yang tembus dari jendela pesawat kelihatan biru keabu-abuan. Kepala saya terus menoleh ke jendela melihat hamparan ruang yang luas tak terkira. Makin lama makin jelas terlihat bentuk-bentuk yang beraneka ragam di bawah sana persis seperti sebuah mainan anak-anak, hingga satu demi satu hamparan itu berubah menjadi susunan gedung, jalan-jalan yang mengular, dan rimbun hijau pepohonan yang sambung-menyambung.

Di International airport Beijing pesawat mendarat. Saya bersama teman saya, Sri, melangkah keluar. Tak jauh dari situ, 2 anak muda Cina (cowok & cewek) berdiri, yang satu memegang papan kertas bertuliskan nama-nama kami. Sudah pasti mereka yang ditugaskan untuk menjemput kami. Kami mendekat dan menyebutkan nama kami. Salah satu dari mereka kemudian mengatakan selamat datang dan berusaha untuk menjelaskan bahwa mereka bertugas untuk menjemput, tetapi bicara mereka dalam bahasa Inggris begitu terbata-bata. Satu atau dua orang dari rombongan kami mencoba untuk mengajak ngobrol sekedar berbasa-basi, tetapi kedua orang Cina itu hanya tersenyum dan tidak bisa menjawab. Wah, repot nih kalau begini, pikir saya. Lebih baik saya diam saja dan berusaha untuk tidak nanya macam-macam. Daripada nanti tidak nyambung.

Jadi kami satu rombongan berjalan beriringan. Kedua orang Cina itu berjalan di depan dan sesekali menengok ke belakang. Mereka berdua ngobrol dengan bahasa Cina. Kamipun ngobrol sendiri-sendiri sambil mengekor mereka.

Sampai di counter imigrasi, mereka menjelaskan kepada kami form-form yang harus diisi. Lagi-lagi dengan bahasa Inggris yang terbata-bata, tetapi biarlah, form-formnya cukup jelas kok, lagipula ada bahasa Inggrisnya disamping aksara Cina. Jadi kami mengisinya dengan lancar.

Setelah melewati pemeriksaan, kami diantar ke depan, dimana sudah menunggu sebuah mini bus. Kedua orang Cina itu bicara dengan sopirnya, kemudian mempersilakan kami naik. Oh, ternyata mereka hanya menjemput di airport saja, tidak sampai mengantar ke hotel.

Kami dibawa bus menyusuri jalanan kota Beijing. Wow.. sungguh fantastis. Jalan-jalan raya sangat bersih, rapi dan teratur. Tidak kami temukan titik kemacetan satupun sepanjang jalan yang kami lewati. Jalan-jalan bebas hambatan sambung-menyambung, silang-menyilang, menyuguhkan pemandangan ciri khas kota besar. Mobil-mobil mewah berseliweran, kebanyakan mobil-mobil Jerman seperti Audi, VW, BMW dan Mercedes. Taksi-taksi yang lewat juga bagus-bagus, bentuknya besar-besar. Tidak ada taksi bobrok. Tidak ada mobil yang mengeluarkan asap hitam tebal. Tidak ada sepeda motor. Sepeda “onthel” malah ada, satu dua kali lewat.





Sampai di hotel, kami langsung disambut oleh penyelenggara acara yang kemudian membawa kami menuju receptionist untuk mengambil kunci. Nah, receptionist hotel ini bisa berbahasa Inggris dengan baik dan fasih. Sambil memberikan kunci mereka memberikan kartu nama hotel. Di kartu nama tersebut jelas terbaca nama hotelnya (The Kerry Centre Hotel – a Shangri-La Hotel), tetapi juga ada aksara Cina-nya. Teman saya dari penyelenggara acara itu menjelaskan, bahwa kartu nama itu wajib dibawa kemanapun kita pergi keluar hotel. “Kenapa?” tanya saya. Dia menjelaskan bahwa kalau kita sehabis pergi ke suatu tempat ingin balik lagi ke hotel, siapapun termasuk sopir taksi tidak bakal mengerti kita menyebut “Kerry Hotel”. Mereka pasti akan bingung kecuali kalau kita sodorkan kartu nama dimana si sopir akan membaca aksara Cina-nya, bukan huruf latinnya. Waduh, ruwet juga nih, pikir saya. Gimana ya kalau sampai kartu nama itu hilang di saat saya sedang berada di luar?

Ha..ha..ha.. dari penjelasan itu saya jadi mengerti, rupanya rakyat Cina di sekolah memang tidak diajari huruf latin. Tetapi dari ngobrol-ngobrol dengan beberapa orang saya mendapat informasi bahwa sekarang berbeda. Sekolah-sekolah di Cina sudah maju dan mulai memasukkan pelajaran baca-tulis huruf latin dan bahasa Inggris. Tour guide kami sangat fasih berbahasa Inggris dengan pronunciation yang sempurna.

Jadi kemanapun saya pergi, kartu nama itu terus menempel di dompet saya. Kalau saya hendak pergi ke suatu tempat, misalkan ke Hard Rock Café, saya ke receptionist dulu, menyebutkan bahwa saya mau ke Hard Rock Café, lalu si receptionist akan mengambil secarik kertas kemudian menulis dalam aksara Cina (yang saya yakin bahwa yang ditulis itu pasti Hard Rock Café). Kalaupun dia menulis tempat tujuan lain saya tidak bakal tahu ha..ha..ha..Begitu masuk ke dalam taksi, tidak usah bicara apa-apa alias membisu saja. Tinggal sodorkan secarik kertas tadi, pasti si sopir dengan mantap akan meluncur ke sana. Pulangnya juga begitu, membisu saja, langsung sodorkan kartu nama hotel, maka pastilah saya selamat sampai tujuan. Di Beijing tidak ada sopir taksi yang nakal, yang berani menipu penumpang yang tidak mengerti, lalu berputar-putar agar argonya tinggi.

Di Beijing ada sebuah pasar yang sangat terkenal, yaitu “Pearl Market”. Saya dan Sri ke sana, jaraknya cuma 10 menit naik taksi dari Kerry Hotel. Pearl Market ini bangunannya tertutup, sangat luas dan terdiri atas beberapa lantai. Pasarnya bersih, kios-kios penjual berjajar dengan rapi. Produk-produknya bermacam-macam mulai dari garment, tas, ikat pinggang, sepatu, souvenir, kerajinan tangan dan lain-lain. Tetapi yang paling dicari orang asing kalau ke situ adalah pakaian dan tas, dan tentu saja souvenir untuk oleh-oleh.

Sebelum sampai, Sri bercerita bahwa pakaian yang dijual di situ adalah “tembakan” atau imitasi alias aspal (asli tapi palsu) dari merk-merk terkenal. Pakaian dengan merk seperti Versace, Escada, Armani, Giordano, tas kulit seperti Braun Buffel, Louis Vuitton, Gucci dan lain-lain bertebaran di kios-kios itu. Mereka meniru dengan sangat rapi hingga hampir-hampir tidak berbeda dengan aslinya. Mau tahu harganya?

Lucu sekali cara berdagang mereka. Kalau kita lagi melihat-lihat dan memegang-megang, mereka akan langsung nyamperin kita sambil membawa kalkulator. Kemudian mereka berkata dalam bahasa Inggris dengan aksen Mandarin: “Good… that’s good… you want that?” Jawab saja: “How much?” Lalu mereka akan mengeluarkan kalkulator dari dalam kantong, menyodorkan kalkulator di depan hidung kita, lalu berkata: “The original price is (misalkan) 1,000 (sambil menekan kalkulator), but I give you 800 (sambil menekan kalkulator). This is good discount for you…!!”

Sri yang sudah paham hal tersebut karena sudah pernah ke sana, akan berpura-pura dengan menggeleng: “Haa?? Too expensive…” Nah, si pedagang Cina itu pasti akan mendesak: “How much?... How much?” Lalu seenaknya saja Sri nyeplos: “one hundred!!” Ha..ha..ha.. bayangkanlah teman, harga 800 (Yuan) ditawar 100. Bisa nggak membayangkan kalau itu kita lakukan di pasar Tanah Abang? atau Pasar Baru?

Tapi itulah lucunya, pasti si pedagang Cina itu akan berpura-pura marah, merebut pakaian yang masih kita pegang dan melemparkannya sambil ngomel-ngomel tak karuan dengan suara keras: “Are you kidding? Come on…!! You’re serious or not?????” Sri dan saya tetap saja tenang, sementara si pedagang terus mendesak. Lalu penawaran bisa dinaikkan misalkan ke 120. Kalau tidak sepakat, kita bisa pergi. Kalau si pedagang memanggil-manggil kita sambil minta penawaran dinaikkan, hmm.. 95% pasti akan kena. Naikkan lagi kira-kira ke 130 atau 140, pasti goal..!!

Setiap kali melewati tawar-menawar yang alot seperti itu, jika sudah deal saya akan selalu mengajak mereka ngobrol. Bahasa Inggris mereka lumayan. Walaupun spelling kata dan kalimat tidak terlalu pas tetapi masih nyambung, masih bisa dimengerti. Saya tanya dimana mereka belajar bahasa Inggris, mereka bilang dari sekolah. Kebanyakan mereka lulusan setingkat SMA. Ketika saya tanya kenapa mereka tidak melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi, mereka terkendala biaya. Jadi mereka langsung berdagang. Terharu juga sih kalau mendengar mereka cerita. Satu hal yang saya salut, mereka begitu gigih, begitu ulet. Pelanggan akan mereka kejar sampai beli. Selesai membayar saya selalu minta berfoto bersama mereka.


Saking murahnya harga-harga di pasar Pearl Market itu, selain juga bagus-bagus barangnya, Sri memborong begitu banyak hingga harus beli tas (travel bag) baru yang besar. Maklum banyak juga titipan dari teman, katanya.

Selain pakaian, yang menarik lagi adalah lukisan. Pedagang-pedagang lukisan memajang lukisan-lukisan yang sangat bagus berderet-deret. Goresan kuas dan penanya sangat khas. Object lukisannya bermacam-macam, tetapi banyak lukisan seperti The Great Wall, burung, ikan, naga, harimau serta pemandangan indah. Orang Cina kalau melukis suka menyelipkan kalimat petuah/nasihat pada lukisannya dengan aksara Cina. Yang lucu, kalau saya tanya apa arti lukisan dan aksara Cina di dalamnya, mereka akan mengambil buku catatan, lalu menyodorkannya ke saya sambil menunjuk kalimat dalam bahasa Inggris yang mengartikan aksara Cina itu. Mereka sendiri tidak bisa membacanya.

Memang negeri Cina sudah sangat pesat majunya. Bayangan yang tercipta dari cerita-cerita orang tua saya yang mengatakan bahwa negeri Tiongkok sangat melarat sampai orang hanya bisa memasak bubur (agar beras segenggam bisa cukup memberi makan sekeluarga) langsung buyar. Kota modern, semarak, gemerlap, dan hidup adalah kalimat yang tepat untuk menggambarkan Beijing.

Sekian dulu catatan perjalanan tentang Beijing. Nanti saya sambung lagi dengan cerita yang lain.
***
Catatan:
- Populasi kota Beijing menurut kantor berita Xinhua adalah sekitar 17 juta (data tahun 2007)





Serpong, 11 Juli 2008
Titus J.

1 comment:

Anonymous said...

Yaelaahh....lagi seru2nya baca, tiba2 sudah habis. Jangan gitu dong Tus...terusin bagian keduanya....hehe Thanks Ya..

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...