Monday, July 7, 2008

Berteman Dengan Mie Instant



Seorang teman memberitahu saya, harga-harga yang naik belakangan ini sungguh sangat terasa dampaknya terutama bagi masyarakat bawah (kurang mampu).
Teman saya ngobrol dengan koleganya yang bekerja di sebuah supermarket besar. Obrolan berawal dari keluh-kesah tentang kecenderungan sepinya penjualan sejak bulan Juni 2008. Apa penyebabnya? Apakah karena harga-harga naik (sejak pemerintah menaikkan harga BBM), atau karena bulan Juni-Juli adalah bulan liburan sehingga banyak yang keluar kota, atau karena orang-orang lagi pada berhemat menjelang tahun ajaran baru dimana biaya sekolah harus lebih diutamakan daripada belanja?

Menurut kolega teman saya yang dari supermarket itu, memang benar ada penurunan penjualan terhadap barang-barang kebutuhan pokok. Beberapa item yang sangat menyolok adalah penjualan daging ayam turun sampai 30% dari bulan sebelumnya, daging sapi turun drastis sekitar 40%, bahkan penjualan telurpun begitu mengejutkan karena terjun bebas (prosentasenya saya lupa).

Tetapi yang lebih mengejutkan adalah, justru penjualan mie instant naik sangat significant. Mie instant? Ya betul, mie instant laku keras hari-hari ini!

Kalau penjualan daging sapi turun kita masih bisa maklum karena mungkin orang-orang sedang berhemat. Yang biasanya makan daging sapi oke-lah down-grade ke daging ayam. Tetapi bukankah penjualan daging ayam juga turun? Bagi yang biasanya makan daging ayam, dalam situasi sulit oke juga untuk down-grade ke telur agar tetap bisa dapat protein/gizi. Tetapi penjualan telur kali inipun turun drastis. Apa yang terjadi sebenarnya?

Teman saya mengatakan, memang di dalam dunia retail, grafik penjualan di bulan-bulan dalam setahun selalu mempunyai bentuk yang kurang lebih sama, dan kecenderungan penjualan yang turun di bulan Juni-Juli adalah wajar karena faktor liburan ataupun tahun ajaran baru. Nanti mulai Agustus trend penjualan akan naik lagi. Tetapi anjloknya penjualan di bulan Juni-Juli tidak pernah sefantastis kali ini, apalagi terhadap barang-barang kebutuhan pokok karena semua orang tetap perlu makan walaupun harus berlibur atau menyekolahkan anak.

Tetapi keanehan lain muncul karena di masa liburan ini tempat-tempat liburan ramai bukan main. Kidzania yang memasang tarif masuk cukup mahal berjubel dan harus antri. Minggu lalu teman saya mengantar tamu dari Jepang ke hotel Shangri-la untuk makan, tetapi harus batal karena meja-meja sudah fully-booked. Jangan-jangan keadaan sulit ini hanya dialami oleh teman-teman (maaf) kalangan bawah yang gajinya pas-pasan.

Melihat konsumsi mie instant hari-hari ini meloncat drastis, saya merasa miris. Sebegitu sulitkah keadaan sekarang sehingga orang-orang harus men-down-grade menu makannya sampai ke level mie instant? Atau dengan kata lain, mie instant menjadi cara pelarian mereka untuk tetap makan nasi dengan lauk, ketimbang makan nasi putih yang hambar?

Keadaan seperti itu mengingatkan saya waktu masih kecil, masih sekolah di SD/SMP di masa-masa sulit tahun 1980-an. Ibu saya sangat pandai mengatur uang untuk belanja, dan saya belajar mengamati bagaimana “cash-flow” di dompet ibu waktu itu. Kalau di meja makan ada telur, berarti cash-flow lancar. Kalau di meja makan ada ayam goreng, berarti cash-flow amat-sangat lancar. Tapi kalau di meja makan hanya ada sayur dan krupuk saja, wah, pasti cash-flow ibu lagi seret. Apalagi kalau ibu sudah mengambil pisau, kemudian dengan pisau itu digarisnya krupuk-krupuk itu menjadi 2 bagian, berarti masing-masing anak hanya dapat jatah krupuk separo (saya 7 bersaudara). Kami tidak mengerti arti gizi, yang penting kenyang. Waktu itu belum ada mie instant.

Sekarang tampaknya keadaan berulang. Semua harga (terutama kebutuhan pokok) naik. Teman saya cerita tetangga rumahnya yang buka warung kelontong terpaksa memasang harga telur Rp. 1000,- per butir untuk mereka (pembeli) yang tidak mampu beli telur secara kiloan. Juga mie instant, dijualnya secara eceran per bungkus untuk mereka yang hanya punya nasi putih. Tampaknya sekarang mie instant menjadi first option untuk menjadi pendamping nasi putih.

Ya, begitulah cara teman-teman kita menyiasati keadaan. Yang penting makan masih ada rasanya, kenyang dan halal. Sayapun sekali-sekali juga masih makan mie instant kok, tetapi mie instant yang lengkap dengan sayur (caisim) dan telur.

***

Serpong, 6 Juli 2008
Titus J.

1 comment:

Anonymous said...

Sedikit masukan boleh kan? Sekitar tahun 80an sudah ada mie instan kok. Namanya dulu Supermie dan juga Sarimie. Kenapa gue tau, karena gue juga sempet ngerasain makan mie melulu waktu itu...bukan hobby, tapi ya karena memang mampunya makan itu kok...hehe. Memang ibu2 kita itu para CFO (Chief Financial Officer) yang handal...

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...