Sunday, October 12, 2008

Diana Krall dan Clint Eastwood



Ketika Diana Krall datang ke Jakarta 6 tahun lalu (2002), saya masih baru menyukainya. Saya membeli kaset “Diana Krall live in Paris” dan berulang-ulang memutarnya di tape compo saya. Makin sering saya putar kasetnya, makin jatuh cinta saya kepadanya. Wah, inilah nuansa jazz yang selama ini saya cari, pikir saya. Jazz yang tidak terlalu njlimet, tapi penuh dengan improvisasi indah dari vocalnya plus instrumen-instrumen pendukungnya. Kita ingin menikmati music jazz, bukan? Di Paris itu Diana diiringi oleh Anthony Wilson (gitar), John Clayton (kontra bass) dan Jeff Hamilton (drum). Dan warna vocal Diana itu betul-betul memabukkan saya, yaitu warna vocal yang cenderung alto, agak berat dan kadang-kadang seperti berbisik serak romantis. Huii…

Tidak menyangka setelah waktu itu, di tahun 2008 ini Peter Gontha dengan Java Festival Production-nya mengundang Diana ke Jakarta. Wah, thanks Pak Peter, anda ternyata tahu penyanyi/pemusik yang selama ini saya rindukan. Tanpa pikir panjang lagi saya langsung memburu tiketnya, dan dapat. Jadilah saya menonton Diana di Ritz Carlton – Pacific Place pada tanggal 5 Oktober yang lalu.

Yang lebih membuat saya bersemangat adalah karena saya tahu bahwa 2 orang di antara yang bakal menjadi musisi pendukungnya adalah Anthony Wilson (gitar) dan Robert Leslie Hurst (kontra bass), sedangkan drummer Emmanuel Karriem Riggins saya belum tahu. Robert Hurst adalah pembetot bass yang mengiringi Diana di Montreal Jazz Festival. Jadi sebelum 5 Oktober itu saya sudah membayangkan bahwa pertunjukan itu pasti akan seru dan menarik.

Masih dalam suasana libur lebaran, sementara jalanan masih relatif sepi, mendekati Ritz Carlton saya melihat mobil-mobil berbondong-bondong masuk ke tempat parkir. Petugas/satpam pemeriksa mobilpun sudah menyapa pengendara mobil: “Diana Krall, terus masuk!” Heran, pikir saya, satpampun sudah tahu acara ini, hebat sekali. Sepanjang jalan dari tempat parkir menuju lobby terus naik escalator sampai ke ballroom lantai 4, terus saja berbondong-bondong orang dengan dandanan luar biasa. Saya pikir lagi, wah, ini mau nonton Diana Krall atau mau ke pesta? Memang betul, orang-orang itu berdandan hebat seperti mau ke pesta. Dandanan mahal. Saya salut, sungguh! Mungkin mereka merasa bahwa ini konser berkelas, jadi mereka berdandan dengan tidak main-main. Atau saya yang katrok ya?

Setelah masuk ke ruang konser, waduh, sudah penuh. Tidak kurang dari 3000 orang sudah duduk. Saya dapat tempat di ujung. Tapi tak apa, jarak ke panggung masih tidak terlalu jauh. Saya tidak sabar menunggu Diana muncul. Akhirnya sekitar jam 20:25 ada suara dari microfon berbunyi: “Ladies & gentlemen…please welcome…Diana Krall…!” Maka muncullah si ayu itu diiringi dengan 3 orang musisi pengiringnya. Diana mengenakan pakaian bernuansa hitam-abu, sedikit ada coraknya, dan bercelana panjang ketat. Seksi sekali. Dan rambut pirangnya itu bercahaya diterpa sinar lampu panggung yang berwarna-warni itu.

Begitu naik ke panggung, Diana langsung menggebrak dengan lagu pembuka “Love being here with you”. Lagu pembuka ini persis seperti yang dinyanyikan Diana pada waktu membuka konsernya di Paris. Pada interlude, bergantian piano, gitar, kontra bass dan drums menyapa penonton. Tepuk tangan terus menerus membahana setiap kali musisi-musisi top itu mendemonstrasikan kepiawaiannya. Dan lihat, gaya Emmanuel Riggins yang antik itu sungguh enak dipandang dan membuat semua berdecak kagum. Beberapa kali penonton di belakang saya berteriak gemas karena sangat takjub. Setelah itu berturut-turut Diana menyanyikan Did I do, Let’s Face the Music and Dance, Exactly Like You, A Case of You, Devil May Care, Gee Baby, Ain’t Good to You, dan I don’t Know Enough About You.

Tidak terasa lagu demi lagu mengalir hingga Diana bangkit berdiri tanda sudah usai. Peter Gontha berlari ke panggung memberikan bunga kepada Diana. Tapi penonton tidak juga beranjak, serasa belum puas. Kemudian ada yang berseru: “More…more…” Akhirnya karena penonton meminta encore 1), Diana tampil lagi dan membawakan 2 lagu langsung yaitu S’Wonderful (dalam irama bossanova) dan East of the Sun.”

***

Tapi, dimana satu lagu yang saya tunggu-tunggu? Sampai habis konser dan Diana lenyap di balik panggung, satu lagu yang sangat berkesan bagi saya tidak dinyanyikannya. Lagu itu adalah “Why Should I Care”. Mengapa lagu itu begitu istimewa bagi saya? Ya, inilah lagu yang menjadi sound-track film “True Crime” yang disutradarai oleh Clint Eastwood (1999). Dinyanyikan oleh Diana dengan irama ballad, begitu mengesankan, begitu menyentuh:





Was there something more I could have done?
Or was I not meant to be the one?
Where's the life I thought we would share?
And should I care?


And will someone else get more of you?
Will she go to sleep more sure of you?
Will she wake up knowing you're still there?
And why should I care?


Lagu ini sebenarnya hanya muncul di akhir film, tetapi kuat sekali menciptakan kesan yang mendalam sehabis nonton film itu. Film itu dibintangi oleh Clint Eastwood, Isaiah Washington, dan Lisa Gay Hamilton. Clint Eastwood begitu cerdas menggarap film ini. Dan selalu, ada music jazz di setiap filmnya. Clint Eastwood pas sekali memilih lagu ini. Diana Krall di tahun itu baru menyabet Best Vocal Performance lewat album “When I Look in Your Eyes”. Saya menonton film ini sampai 3 kali. Saya perhatikan detail-nya. Betapa kuatnya sisi kemanusiaan yang ingin ditonjolkan oleh Eastwood dalam film ini.

Dalam film itu diceritakan Steve Everett (Clint Eastwood) adalah seorang wartawan yang ditugaskan oleh editor korannya untuk mewancarai seorang terpidana mati Frank Beechum (Isaiah Washington) di penjara San Quentin pada hari terakhirnya, yaitu hari dimana dia akan dieksekusi mati (Frank dituduh melakukan pembunuhan kepada seorang gadis penjaga toko). Namun pada saat bertemu di penjara dengan Frank, Steve merasa ada suatu dorongan yang kuat untuk mengungkap misteri, dimana setelah 6 tahun sejak Frank Beechum divonis mati dan walaupun setiap upaya legal sudah ditempuh, tetapi tetap gagal untuk mengungkap pembunuh yang sebenarnya. Di sisi lain Frank tetap menyangkal bukan dia pelakunya, tetapi memang kebetulan sedang berada di TKP. Masalahnya hari itu adalah hari penentuan, yaitu hari eksekusi matinya.

Ada sekian kali adegan yang sangat mengharukan ketika Frank dikunjungi oleh istrinya Bonnie (Lisa Gay Hamilton) dan anak gadisnya yang masih kecil, mungkin masih 4 tahun. Betapa beratnya bagi seorang istri ketika harus menerima kenyataan bahwa beberapa jam lagi ia dan suaminya akan berpisah. Terlihat ketika Frank menegarkan hatinya (untuk tidak menunjukkan dia menangis di depan anaknya), hingga ia harus menahan nafas sekuat-kuatnya agar air matanya tidak tumpah.

Ini berbeda sekali dengan kehidupan Steve, yang punya istri dan seorang anak gadis, yang juga masih kecil, seumur anak Frank Beechum, dimana perkawinan mereka di ambang perceraian. Hal ini tak lain karena Steve adalah seorang yang kacau, yang hidupnya tidak teratur, yang tidak punya waktu untuk keluarganya, dan seorang womanizer 2), yang mempunyai hubungan khusus dengan istri boss-nya. Ada adegan yang mengharukan ketika Steve menyempatkan untuk mengajak jalan-jalan anaknya ke kebun binatang, padahal Steve tidak punya banyak waktu karena beberapa jam lagi eksekusi Frank Beechum akan dilaksanakan. Dia harus berkejaran dengan jam, menit dan detik untuk mencari fakta baru.

Sungguh dramatis akhir cerita itu. Steve akhirnya berhasil menyelesaikan kasus yang sudah terpendam 6 tahun dalam beberapa jam saja, dan membuktikan bahwa Frank Beechum ternyata bukan pembunuh yang sebenarnya - pada detik terakhir waktu tombol suntik mati sudah ditekan. Ironisnya, Frank Beechum dibebaskan, sedangkan Steve harus membayar harga dengan merelakan istrinya pergi bersama anaknya karena tidak tahan hidup bersama orang yang hidupnya kacau-balau.

Mengapa dia begitu peduli? Mengapa dia harus peduli? Mengapa peduli padahal hidup sangat tidak fair baginya? Chorus lagu “Why Should I Care” berkata demikian:

There's always one to turn and walk away
And one who just wants to stay
But who said that love is always fair?
And why should I care?

Steve, dalam cerita itu memenangkan penghargaan Pulitzer karena membebaskan seorang terpidana mati. Frank dan istri serta anaknya hidup berbahagia, berkumpul dalam sebuah keluarga, tetapi Steve harus hidup sendiri, menggelandang sendiri. Betapa pahitnya, tapi, mengapa dia care, itulah yang sampai saat ini sulit untuk dimengerti. Why? Bait terakhir lagu “Why Should I Care” berkata begini:

Should I leave you alone here in the dark?
Holding my broken heart
While a promise still hangs in the air
Why should I care?

Sayang lagu tersebut tidak dinyanyikan Diana di konsernya. Saya membayangkan dia menyanyikannya, diiringi dengan video klip film “True Crime3) yang ditayangkan lewat layar besar di atas panggung. Akhh..

***
Serpong, 11 Oktober 2008
Titus J.

Catatan:
1. Encore (Oxford): A repeated or additional performance of an item at the end of a concert, as called for by an audience.
2. Womanizer (Oxford): Man who enter into numerous casual sexual relationship with women.
3. Video klip lagu “Why Should I Care“ yang diiringi dengan penggalan-penggalan film True Crime ini dapat anda akses di YouTube.
4. Diana Krall lahir pada tanggal 16 Nopember 1964 di Nanaimo, British Colombia – Kanada. Ia belajar piano sejak umur 4 tahun, dan karena bakatnya yang luar biasa itu pada umur 15 tahun ia sudah mempunyai group musik jazz dan rutin main musik (dan menyanyi) di restoran-restoran di Kanada. Diana Krall banyak sekali menyabet Grammy Award atas pencapaiannya di bidang musik. Diana Krall baru punya anak kembar yang masih berusia 2 tahun. Di sela-sela konsernya di Jakarta itu Diana beberapa kali bercerita tentang anak-anaknya (Dexter dan Frank), dan suaminya (Elvis Costello).

No comments:

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...