Saturday, September 27, 2008

Rindu Ketupat


Tiba-tiba saya begitu rindu ketupat. Saat-saat seperti ini mengingatkan saya akan ketupat yang selalu saya nikmati di kampung halaman saya dulu begitu lebaran tiba.

Dulu, sekitar 25 tahun yang lalu (hmm.. sudah lama sekali masa itu), tetangga dan teman sekampung berdatangan ke rumah dan masing-masing membawa senampan penuh ketupat, serantang sayur bersantan yang berisi nangka muda, kacang panjang dan opor ayam, dan yang paling saya suka…adalah bubuk kedelai. Ibu saya kemudian membagi-bagi ketiga komponen itu ke dalam beberapa piring (sejumlah kami waktu itu – tujuh piring). Cara membaginya adalah dengan cara mengiris-iris ketupat itu menjadi potongan kecil-kecil, menyiramnya dengan sayur bersantan itu lalu terakhir menaburinya dengan bubuk kedelai yang harum itu. Kami semua makan dengan lahap. Ibu dan bapak saya biasanya makan belakangan.

Belum habis ketupat itu di piring-piring kami, datanglah tetangga kami yang lain membawa senampan ketupat dan teman-temannya itu. Dan teruslah mereka berdatangan silih berganti. Maka belum sampai bunyi bedug lohor penuhlah meja makan kami dengan ketupat, dan hari itu, kami semua, pagi, siang dan malam makan ketupat. Only ketupat, nothing else. Seperti di tahun-tahun sebelumnya pasti ibu saya pada hari itu tidak memasak, karena sudah tahu bahwa kami pada hari itu akan berpesta ketupat di rumah.

Jika hari Natal tiba, giliran ibu saya sibuk luar biasa membikin roti/kue. Ibu saya memang suka bikin roti dan di kampung kami roti bikinan ibu saya amat terkenal. Macam-macam roti bisa dibikinnya. Di samping memang karena hobby, peralatan membikin rotinya lengkap mulai dari panci-panci untuk adonan, mixer, penggiling tepung, berbagai bentuk loyang/cetakan roti, dan oven. Dulu belum ada oven listrik. Jadi yang dinamakan oven itu sebetulnya adalah sebuah bentuk kotak tiga dimensi yang terbuat dari aluminium, di bagian kiri-kanannya ada “kuping” pegangan untuk mengangkatnya, dan di bagian depannya diberi kaca agar bisa untuk mengintip apakah roti yang dipanggang itu sudah memerah, matang atau belum. Untuk memanaskan oven itu, ibu saya harus memakai angklo1) atau kadang-kadang kompor minyak yang pakai sumbu itu.

Setelah semua roti siap (rata-rata ibu bikin 3 sampai 4 macam jenis roti), ibu membagi-baginya menjadi potongan-potongan dengan ukuran sepantasnya, lalu mengaturnya pada nampan. Setelah itu kami digilir untuk mengantar roti-roti itu ke rumah-rumah tetangga kami sampai semua kebagian. Sehari sebelumnya, ibu (dibantu oleh kakak-kakak saya) sudah mendaftar nama-nama tetangga kami. Jadi pas hari-H semua bisa berjalan lancar. Acara antar-mengantar roti Natal itu bisa sampai malam, karena memang banyak, dan mulainyapun sudah siang sepulang kami dari sekolah.

Saya selalu teringat masa-masa itu. Walau bagaimanapun keadaan ekonomi keluarga kami, ibu saya (di tengah-tengah perjuangan untuk menyekolahkan anak-anak), jauh-jauh hari selalu menyisihkan uang untuk acara bagi-bagi roti/kue Natal itu. Bukan rupiah itu semata yang dipikirkan oleh ibu, tetapi membagi kebahagiaan di hari Natal, merupakan moment yang sungguh berarti, seperti ketika kami juga menerima kebahagiaan dan persaudaraan yang dialirkan oleh tetangga dan teman-teman sekampung kami di dalam wujud ketupat itu.

***

Sudah 12 tahun lebih sejak saya menginjakkan kaki di belantara Jakarta ini, tak pernah saya cicipi rasa ketupat yang sama, yang kuah santan dan opor ayamnya begitu nikmat, ditambah dengan bubuk kedelai yang harum itu. Memang bisa, jika hanya sekedar pengobat rindu akan rasa ketupat buatan teman sekampung, saya dapatkan dengan mudah di pinggir-pinggir jalan Jakarta dengan membayar sekedar Rp. 7.000,- sampai Rp. 10.000,- Namun setelah sepiring ketupat sayur itu licin tandas, tetap saja rasa rindu itu tak terobati, karena sesungguhnya bukan ketupat itu semata yang sedang saya cari, melainkan benang cinta kasih yang coba ditenun dan dirajut oleh teman-teman muslim saya waktu itu dengan kiriman ketupatnya di rumah kampung saya.

Begitu indahnya saat-saat lebaran waktu itu di kampung, menyaksikan anak-anak kecil pagi-pagi sekali sudah mandi dan berdandan rapi dengan baju baru (biasanya di hari-hari lain anak-anak ini keluar rumah dan bermain tanpa mandi dulu, matanya masih belekan dan pipinya penuh bekas ingus yang dilap pakai tangan – terkadang ingusnya sudah mengering di pipi). Dan anak-anak itu bersuka-ria berjalan beriringan dari rumah ke rumah untuk mengucapkan “Sugeng Riyadin 2)”, atau “Minal Aidin Wal Faidzin – mohon maaf lahir batin” kepada setiap orang yang dijumpainya.

Setiap rumah pada hari itu selalu menyediakan kue-kue di dalam stoples yang dijejer di atas meja tamu, sehingga jika anak-anak itu datang bertamu, mereka akan dipersilakan duduk dan boleh mencicipi hidangan itu sesuka-hatinya. Betapa event yang terjadi setahun sekali…dan kita semua maklum bagaimana anak-anak itu akan menikmatinya di kampung saya yang kecil.

Tetapi bukan kue-kue itu rupanya yang penting, karena bagi anak-anak itu tetaplah yang mereka tunggu adalah saat-saat pamitan. Karena ketika mereka mohon diri, sang tuan rumah akan berdiri menyalami mereka sambil membagi-bagi pecahan uang Rp. 50,- atau Rp. 100,- (yang pada waktu itu sangat bernilai bagi mereka). Lalu anak-anak itu dengan girang akan keluar rumah dan melanjutkan perjalanan menuju rumah-rumah lain untuk menjalankan ritual yang sama: Memberi salam, masuk dan duduk, mencicipi hidangan, lalu pamitan dan dapat uang.

Jika hari telah petang dan matahari telah mulai turun ke Barat, anak-anak itu akan pulang ke rumah masing-masing dengan kantong penuh uang pecahan. Uang itu biasanya untuk membeli jajan atau membeli mercon. Dan di malam itu tak henti-hentinya bunyi mercon memekakkan telinga (saat itu mercon belum dilarang seperti sekarang). Waktu itu membunyikan mercon hanya untuk “having fun”, bukan untuk menggangu orang lain atau untuk tawuran seperti yang terjadi baru-baru ini di Pamulang (Tangerang) sampai ada 6 anak mati karena perang petasan3)

Biasanya pada lebaran, saya membeli banyak kartu lebaran untuk saya kirimkan ke teman-teman saya yang muslim. Di hari Natal, gantian saya banyak menerima kartu dari mereka. Sekarang kartu seperti itu sudah jarang dipakai karena orang lebih praktis mengirim salam lewat sms. Tidak tahu, apakah karena sms lebih cepat, lebih irit atau spirit persaudaraan kita yang sudah semakin luntur. Padahal, begitu dalam kesan yang waktu itu ditimbulkan setiap kali saya menerima kartu Natal, bukan karena gambarnya, dan bukan pula karena mahalnya, tetapi karena di dalamnya ada goresan tulisan teman saya itu, yang dengan tulus menulis: “Selamat Natal, aku turut berbahagia denganmu yang hari ini sedang berbahagia merayakan Natal.

Mengapa salam-salam seperti itu sekarang (yang terkirim lewat sms) tak pernah begitu kena di hati? Apakah kemajuan teknologi telah mengaburkan rasa cinta? Tuluskah kita ketika kita saling berkirim salam lewat sms? Sedangkan mungkin ada di antara kita yang bahkan hanya sekedar mem-forward pesan sms orang lain? Jika demikian, benarkah kita menghargai orang yang kita beri salam? Hhhhh…. Saya tidak tahu karena ini berbicara rasa. Tetapi bukan karena sms itu yang terutama membuat saya sedih. Yang membuat saya sedih adalah beberapa teman yang dulu selalu berkirim salam Natal, sekarang tidak pernah lagi. Ketika saya mencari tahu, terjawablah kesedihan saya itu setelah mengerti bahwa teman saya itu sudah tidak bisa lagi memberi salam Natal. Tidak bisa? Ya, tidak bisa, karena tidak boleh. Tidak boleh karena saya berbeda.

Betapa sepinya lebaran kali ini (bagi saya), karena rasa kehilangan itu. Tentu saya bisa saja mengirimkan salam idul fitri kepada teman saya itu, tetapi, adakah dia akan menerimanya dengan senyum kebahagiaan seperti dulu?

Tiba-tiba saya begitu rindu ketupat. Bukan ketupat yang dijual di pinggir-pinggir jalan di setiap sudut kota Jakarta, tetapi ketupat kampung saya dulu, ketupat yang bukan saja lengkap dengan sayur bersantan, opor ayam dan bubuk kedelai yang harum, tetapi yang juga diiringi keikhlasan dan ketulusan dari yang mengantarkannya maupun yang menerimanya, dan rasa cinta yang jauh menembus batas perbedaan.

***

Serpong, 27 September 2008
Titus J.

Catatan:
1. Angklo adalah semacam tungku yang dibuat dari tembikar (tanah liat). Bara api yang ada di angklo biasanya adalah dari arang. Sampai sekarang angklo ini tetap dipakai untuk memasak makanan. Bahkan di Jakarta ini saya sering makan bakmi goreng di warung tenda yang memasaknya masih pakai angklo. Rasanya memang lebih sedap ketimbang dimasak pakai kompor gas.
2. Sugeng Riyadin (bahasa Jawa) – artinya Selamat Hari Raya.
3. Peristiwa itu (15 September 2008), adalah perang petasan antara 2 kelompok anak remaja yang baru selesai makan sahur di Pamulang – Tangerang (Banten). Ketika polisi datang hendak melerai mereka, anak-anak itu lari berhamburan dan karena saking takutnya, sebagian terjun ke sungai. Di antara yang terjun itu ada 6 anak yang tidak bisa berenang dan akhirnya tewas tenggelam di sungai.

4 comments:

Anonymous said...

Waduh Oom, hampir saja kerjaan keganggu gara2 ngelamunin Lebaran jaman old school dulu di jawa.Mohon maaf lahir bathin ya Tus...

Titus Jonathan said...

Hallo Kang,
aku yang mohon maaf, wis kepengin ngucapin minal aidin minggu lalu tapi ngga sempat2. Ya udah, maaf lahir batin juga. Gimana Dubai lebaran kali ini?

ambaradventure said...

minal aidzin titus. bagaimanapun tetap kangen ketupat. sayang ngga ada nglo disini :)

Titus Jonathan said...

Minal aidin juga Ambar. Wah, di US pasti ngga ada ketupat. Boro-boro bikin ketupat ya, wong semua pada susah gara-gara kang Lehman (Brothers)...

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...