Tuesday, October 21, 2008

RUU Pornografi, oh Alangkah Repotnya

Menyusun rancangan undang-undang anti pornografi memang sungguh repot. Bagaimana tidak? Sedangkan dalam mendefinisikan pornografi saja sudah menghasilkan multi tafsir. Pada Bab I Pasal 1 RUU Pornografi disebutkan: “Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.”

Pornografi sendiri menurut kamus Oxford cuma dijelaskan secara singkat, yaitu: “Printed or visual material intended to stimulate sexual excitement.” Sedangkan menurut kamus Webster, pornografi berasal dari bahasa Yunani, yaitu porne (prostitute) + graphein (to write) - menjadi “pornographos”, yang berarti “writing about prostitutes”. Penjelasan lebih detail dari kamus Webster sebagai berikut: 1) The depiction of erotic behavior (as in picture or writing) intended to cause sexual excitement. 2) Material (as books or a photograph) that depicts erotic behavior and is intended to cause sexual excitement. 3) The depiction of acts in a sensational manner so as to arouse a quick intense emotional reaction.

Memaknai kata “Yang dapat membangkitkan hasrat seksual” seperti tertulis di Bab I Pasal I itu saja sudah amat repot. Mengapa? Sebab hasrat seksual tiap-tiap orang sungguh amat berbeda. Tentu kita banyak sekali membaca di surat kabar (terutama koran-koran selera rendah yang secara gamblang tanpa tedeng aling-aling mendeskripsikan kasus-kasus perkosaan. Ada orang yang memperkosa tetangganya karena hasrat seksualnya timbul setelah melihat betis tetangganya itu sewaktu sedang mencuci pakaian. Orang lain lagi timbul hasrat seksualnya setelah melihat seorang penyanyi dangdut bergoyang sedemikian rupa, tetapi ada orang yang sama sekali tidak terangsang (bahkan cenderung muak) melihat penyanyi dangdut menyanyi dan bergoyang erotis di panggung. Teman saya malah aneh, dia malah terangsang kalau melihat seorang perempuan hamil sedang berjalan (walaupun berpakaian lengkap dan sopan). “Wanita hamil itu seksi sekali,” katanya. Orang lain lagi bisa timbul hasrat seksualnya terhadap seorang perempuan yang baru bangun tidur, rambutnya acak-acakan, dan masih memakai daster. Teman saya yang lain lagi hanya terangsang jika melihat pusar perempuan. Ketelanjangan yang polos justru bikin dia mual. Wow.. repot amat?

Tapi tunggu dulu, kawan. Memangnya apa yang salah dengan hasrat seksual (sexual desire) itu? Bukankah setiap orang tentu memilikinya? Jika hasrat seksual saya tiba-tiba bangkit karena ada seorang wanita seksi (tentu seksi versi saya – belum tentu seksi menurut anda), masa wanita tersebut harus ditangkap, diinterogasi dan dihukum karena telah menyebabkan jantung saya dag-dig-dug? Jika saya lantas berbuat dosa karena hal itu, bolehkah saya berkata kepada Tuhan: “Duh Tuhan, mengapa Kau ciptakan wanita penggoda itu? Coba kalau dia tak pernah ada, tentu aku jadi orang suci…” Akh, malunya saya, lantaran mata saya yang jelalatan ini. Dan kalau hasrat seksual itu bisa timbul disebabkan bermacam-macam sebab, dan setiap orang berbeda responnya dalam melihat suatu object, bagaimana perkara seperti ini bisa diatur dan diundangkan?

Belum lagi kalau berbicara mengenai kesenian. Betapa suatu imajinasi seni bisa demikian liar dan tak bisa dibatasi. Ada orang yang mengoleksi karya seni seperti patung dan lukisan dengan obyek-obyek wanita telanjang, dan tetaplah dia tidak pernah terangsang karenanya. Tetapi orang lain bisa timbul hasrat seksualnya melihat hal itu. Waktu saya ke Bali, saya mengunjungi museum Antonio Blanco di Ubud. Banyak lukisan Antonio memakai object istrinya sendiri – dilukis telanjang bulat. Tidak tahu saya apakah pengunjung museum itu terangsang malihatnya. Lalu bagaimana dengan sastra India - Kamasutra yang klasik itu, yang ditulis oleh Vatsyayana dan diterjemahkan oleh Alain Danielou dalam buku “The Complete Kamasutra”? Dan bagaimana dengan sastra Jawa kuno yang legendaris - Serat Centhini 1) yang sarat dengan seksualitas yang ditulis dengan begitu gamblang? Apakah semua itu harus dihancurkan dan dilarang?

Bab II Pasal 8 RUU ini mengatakan: “Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi obyek atau model yang mengandung muatan pornografi”.
Dari definisi apa itu pornografi seperti dijelaskan di atas, siapa yang akan terkena undang-undang ini? Apakah seorang perempuan yang pusarnya kelihatan sedang berjalan di sebuah mall akan disebut porno? Apakah seorang perempuan yang mempunyai betis indah dan sedang duduk di sofa sebuah hotel dengan menyilangkan kakinya akan disebut porno? Apakah seorang perempuan yang memakai kebaya dengan buah dadanya yang menonjol dan kelihatan belahannya harus ditangkap karena dituduh porno? Betapa kasihan perempuan. Dan lelaki mata keranjang yang pikirannya “ngeres” tidak diapa-apakan, karena lelaki adalah korban pornografi. Culas sekali. Dan jika lelaki berbuat dosa karenanya, maka itu karena perempuan. Dan perempuan yang akan dikutuki.

Ketika Bali menolak RUU ini, dan gubernur Bali I Made Mangku Pastika menulis surat penolakan ke Presiden SBY dan Ketua DPR Agung Laksono, maka dalam RUU ini langsung diberi pengecualian, dimana bikini akhirnya diperbolehkan untuk daerah wisata (resort) seperti Bali. Kemudian Ratu Hemas, istri Sri Sultan Hamengku Buwono X (DIY) ikut berdemonstrasi di Bali menentang RUU ini juga. Maka akhirnya boleh ada bikini juga di daerah Parang Tritis (Yogyakarta). Gubernur Sulawesi Utara SH Sarundajang atas nama masyarakat Sulut juga menolak RUU ini, dan bikini boleh dipakai di Bunaken dan di pantai-pantai Sulut. Bagaimana dengan Papua? Apakah orang Papua yang mengenakan koteka 2) dianggap porno? Buah zakarnya dan sebagian penisnya masih kelihatan lho. Ini bisa dijerat oleh Bab II Pasal 4 yang berbunyi: “Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, dst..dst..…..ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan atau alat kelamin”.

Lucunya, semakin sering dan semakin banyak pihak yang menentang RUU ini, semakin seringlah RUU ini direvisi, semakin lama semakin melebar, semakin tidak fokus, dan semakin banyak pengecualian. Anggota panja DPR yang membahas RUU ini beberapa hari yang lalu mengatakan: “VCD/DVD porno diperbolehkan untuk konsumsi suami istri yang memang membutuhkannya untuk meningkatkan gairah seksual mereka.” Lho kok (???) Bagaimana nanti kalau para pedagang VCD/DVD di Glodok, ITC, dan tempat-tempat lain bilang bahwa mereka justru berjasa karena dagangan mereka akan membantu suami-istri yang memerlukannya? Wah repot ini.

Dapatkah anda membayangkan jika undang-undang ini diterbitkan maka akan begitu banyak pengecualian – daerah ini boleh begini, daerah itu boleh begitu, daerah ini tidak boleh, daerah sana boleh karena begini dan begitu, dst. Aduh, alangkah repotnya. Apakah sebuah undang-undang layak disahkan jika tidak bersifat universal?

Jika maksud dari RUU ini untuk menekan perkosaan yang disebabkan pornografi, benarkah ada hubungan antara pemerkosaan dengan pornografi? Bagaimana dengan pemerkosaan masal etnis Cina di Jakarta waktu kerusuhan Mei tahun 1998? Apakah mereka terinspirasi dengan pornografi? 3) Atau jika RUU ini dimaksudkan untuk memberantas industri pornografi seperti pembuatan dan penjualan VCD/DVD porno yang meraja-lela, bukankah sudah ada KUHP yang mengatur ini? (Buku II Bab XIV KUHP - KEJAHATAN TERHADAP KESUSILAAN dan Buku III Bab VI KUHP - PELANGGARAN KESUSILAAN). Tetapi mengapa sampai sekarang di setiap pojok ruko, mall, pasar, pinggir jalan di seantero Jakarta kita melihat materi tersebut diperdagangkan dengan bebas? Dan polisi jelas tahu semua itu tapi diam saja? Kalau mau memberantas pornografi, ya jangan beli blue film, jangan nanggap goyang dangdut erotis, jangan nonton televisi yang tidak bermutu, jangan baca koran yang penuh cerita perkosaan. Nanti industri-industri ini akan bangkrut dengan sendirinya. Masalahnya, sekarang justru semuanya itu laku keras. Banyak yang suka. Tidak heran kalau ranking 3 besar surat kabar yang penuh berisi hal-hal itu adalah Lampu Merah, Warta Kota dan Pos Kota. Selama ada konsumen, produsen akan jalan terus, bukan? Selama demand naik, supply juga naik, bukan? Mengapa kita salahkan medianya, bukan kita mencoba untuk tidak membelinya? Mengapa kita salahkan wanita seksi yang lewat, bukan kita yang mencoba untuk memalingkan muka jika kita khawatir tergoda olehnya?

Coba kita berpikir dan berbicara jujur, jika RUU ini dimaksudkan untuk semua pihak, semua kalangan, secara adil, bertujuan semata-mata untuk memberantas pornografi termasuk perdagangan material porno yang sangat marak dan dapat diakses oleh setiap orang tanpa membedakan umur (anak atau dewasa), dengan menjaga spirit kebangsaan dan nasionalisme, menghargai keberagaman seperti semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, patut disayangkan jika Mahfudz Siddiq dari PKS sangat menggebu-gebu agar RUU ini segera disahkan di bulan Ramadan dengan mengatakan: “It will be a Ramadan gift4) Bukankah RUU ini, jika benar motivasinya, harusnya untuk semuanya? Statement Mahfudz Siddiq ini selain mengesankan seolah-olah RUU ini hanya kepentingan Islam, juga dapat menciptakan sentimen agama, karena akan menggiring persepsi bahwa pihak yang tidak setuju dengan RUU ini akan dianggap tidak sejalan dengan Islam. Bukankah kita semua berkepentingan untuk memberantas pornografi? Namun, benarkah satu-satunya cara hanya dengan membuat undang-undang semacam ini?

Mahfudz Siddiq mengatakan bahwa sekarang ini Indonesia perlu undang-undang pornografi karena “widespread moral decadence”. Kemerosotan moral sangat meluas? Hmm, betul juga kiranya, karena Mahfudz Siddiq tentu ingat sekali teman-temannya sesama anggota DPR yang video porno amatirnya beredar dan juga temannya yang tertangkap KPK di sebuah hotel bersama seorang wanita yang bukan istrinya.

***
Serpong, 21 Oktober 2008
Titus J.

Catatan:
1. Serat Centhini (nama resminya Suluk Tembangraras), digubah pada sekitar 1815 oleh tiga orang pujangga istana Kraton Surakarta, yaitu Yasadipura 11, Ranggasutrasna, dan R. Ng. Sastradipura (Haji Ahmad Ilhar) atas perintah K.G.P.A.A. Amengkunegara II atau Sinuhun Paku Buwana V.
Serat Centhini terdiri atas 722 tembang (lagu Jawa) dan mendeskripsikan tentang seks dan soal bercinta.
2. Koteka adalah pakaian untuk menutup kemaluan laki-laki dalam budaya penduduk asli Papua. Koteka terbuat dari kulit labu (Lagenaria Siceraria). Cara membuatnya adalah, isi dan biji labu tua dikeluarkan, kulitnya dijemur. Secara hurufiah, kata ini bermakna pakaian, berasal dari bahasa salah satu suku di Paniai. Sebagian menyebutnya holim atau horim.
3. Bramantyo Prijosusilo: “Think twice before passing the pornography bill” – The Jakarta Post, 22 September 2008.
4. PKS seeks porn bill as "Ramadan present” – The Jakarta Post, 12 September 2008.

No comments:

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...