Friday, October 31, 2008

Cukup Satu Nama Saja

Coba sebut 1 nama saja untuk seorang pemain sepak bola Nasional, yang olehnya kita boleh bangga. Jika ada, saya yakin tak berapa lama lagi Indonesia akan masuk putaran final Piala Dunia. Kalau tidak di 2010 di Afrika Selatan, tunggulah dengan sabar sampai tahun 2014, atau 2018. Tetapi jika jawabannya no name, anda jangan pernah berani bermimpi, karena sampai bumi berhenti berputar tidak akan pernah ada satu nama.

Lihat saja gambar di sebelah ini, betapa unbelievable. Olah raga yang menjunjung tinggi sportifitas selalu dan selalu dinodai dengan tingkah-polah memalukan seperti ini 1). Yang begini yang bikin Indonesia, negeri pecinta sepak bola, terus meratap dan tak pernah bisa bermimpi untuk suatu saat mendengarkan lagu Indonesia Raya berkumandang, pada menit-menit sebelum sebuah pertandingan internasional dimulai.

Tidak nasionaliskah kita jika kita mematikan televisi atau mengubah channel televisi ketika pertandingan Liga Indonesia berlangsung? Tidak nasionaliskah kita jika kita menjadi penggila Liga Inggris, Liga Itali, Liga Spanyol, Liga Jerman dan liga-liga Eropa yang lain? Tidak nasionaliskah anak-anak muda yang lebih suka dan bangga mengenakan kaos Liverpool, Manchester United, Real Madrid, Barcelona, AC Milan ketimbang kaos Persebaya, Persib, Persija, PSMS, PSIS, dan lain-lain?.
Ada dua ratus dua puluh juta orang Indonesia, tetapi tak satupun bisa menendang bola dengan benar. Tak malukah kita dengan Pantai Gading yang punya Didier Drogba dan Solomon Kalou? Atau dengan Togo, negara yang sangat kecil di Afrika Barat yang punya Emmanuel Adebayor? Togo cuma punya 5,2 juta penduduk, jadi hanya 1/50-nya penduduk Indonesia, luas wilayahnyapun cuma 56.785 km2, sedangkan Indonesia 1.919.440 km2, yaitu 300 kali luas Togo.

Jika masih kurang contoh orang-orang hebat yang sudah membuktikan mampu mengharumkan nama negaranya dengan tendangan kakinya, ingatlah nama-nama ini: Michael Essien dari Ghana, Samuel Eto’o dari Kamerun yang bahkan meraih predikat pemain terbaik dunia tahun 2006, Mohamadou Diarra dari Mali, Park Ji Sung dari Korea Selatan, bahkan Bosnia, negeri yang terkoyak karena perang, memiliki Hasan Salihamidzic. Indonesia punya apa? O iya, Indonesia punya tawuran. Berapa banyak pertandingan sepak bola yang tidak diwarnai tawuran? O iya, Indonesia punya ranking tinggi korupsi, ranking tinggi perusak lingkungan, ranking tinggi illegal logging, ranking tinggi penyelundupan narkoba, tindak kekerasan, dan skandal-skandal yang setiap hari menghiasi media masa.

Bagi kita, betapa gampang menyebutkan skandal, tapi sesulit menemukan jarum pada tumpukan jerami jika ingin menyebut nama seorang pemain sepak bola saja. Tak bisakah anda menyebut hanya satu nama saja, pemain sepak bola dalam konteks mampu berkiprah di ajang internasional, merumput di klub-klub besar, yang bisa bikin bangga? Jika negara-negara Afrika itu mampu melahirkan banyak pemain besar, mengapa Indonesia tidak? Ingatkah kita dengan Kamerun, yang pada piala dunia 1990 di Italia mempecudangi Argentina yang 4 tahun sebelumnya menjadi juara Dunia di Meksiko?

Untuk negeriku Indonesia, yang dengan sedih aku cinta,” itulah ungkapan Ayu Utami 2), yang meratapi negerinya Indonesia. Sedih melihat Indonesia, tapi rasa cinta tak bisa dienyahkan. Duka melihat ibu pertiwi, tapi rasa benci tak bisa dikeluarkan. Inilah desperate love. Tahukah anda dahulu ada seorang nabi yang menangisi Yerusalem, dan berkata: “Yerusalem, Yerusalem, engkau yang membunuhi nabi-nabi yang diutus kepadamu. Berkali-kali aku ingin menaungi engkau seperti induk ayam menaungi anak-anaknya, tetapi engkau tidak mau.”

***

Serpong, 31 Oktober 2008
Titus J.

Catatan:
1. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 9 Oktober 2008 di Liga Indonesia, pada pertandingan antara PSIS Semarang melawan PSMS Medan, dimana manager PSIS Yoyok Sukawi berlari ke lapangan untuk memukul wasit.
2. Ayu Utami adalah novelis muda yang menghasilkan karya-karya hebat seperti Saman, Larung, dan novel terakhirnya: Bilangan Fu. Ungkapan di atas ada di bagian depan novelnya “Bilangan Fu”. Ayu Utami lahir di Bogor, pada tanggal 21 Nopember 1968. Novelnya “Saman” memenangi sayembara penulisan roman Dewan Kesenian Jakarta tahun 1998.

3 comments:

Anonymous said...

Titus, di Dubai ada 3 sekolah bola international salah satunya MU School. Karena anak saya suka sekali bola, maka iseng datang ke MU School buat tanya2.

Nggak taunya ternyata syaratnya harus minimal 5 tahun (anak gue belom). Akhirnya dilanjutkan ngobrol dengan pelatihnya, dia heran kok orang Asia (indoensia) tertarik sepakbola ? dan tanya2 juga tentang sepak bola di Indonesia....gue malu njawabnya... :(

Titus Jonathan said...

Andaikan kita punya 1 saja nama yang bisa disebut, tentu kamu ngga malu ya?

Tunggulah anakmu sampai 5 tahun terus sekolahkan ke MU School. Barangkali dia nanti yang jadi 1 nama itu. Hopefully

Anonymous said...

Pak Titus, saya adalah pecinta sepakbola nasional sampai saat ini. Sejak timnas merah putih masih dibela Hermansyah dan Doni Latuperisa di bawah mistar, Warta Kusuma, Marzuki Nyak Mad, Wahyu Tanoto, Toni Tanamal, Patar Tambunan, Sain Irmiz, Dede Sulaiman, Ferril Raymond Hattu, Rulli Nere, Zulkarnaen Lubis. Sejak Sinyo Aliandoe membesut timnas ini di bawah bimbingan Kardono (ketua PSSI). Tapi begitulah, prestasi kita memang tak banyak gerak. Saat itu kita kalah dari Korsel 2-0 di Seoul dan sampai kini kita tak pernah menang lawan negeri ginseng itu.

Bagi saya, sepakbola adalah cermin budaya dari masyarakat kita. Selama budaya kekerasan adalah bagian kita, maka tak pelak itu akan berimbas ke sepakbola. Pagi ini sekali lagi saya disuguhi tawuran massal antara Persiwa Wamena dan Persipura Jayapura.

Kalau itu bagian dari budaya kita, saya hanya bisa berkata, "Nikmatilah!". Laksana kita menikmati budaya besar bangsa kita seperti wayang kulit, reog ponorogo, dan budaya asli bangsa indonesia lainnya (budaya jam karet dan korupsi...) :)

Jadi, jangan pernah mengelus dada jika kita melihat tampilan karate di lapangan hijau. Nikmatilah, karena itu adalah bagian dari jati diri kita...:(

salam,
budhikw.wordpress.com
- yang selalu cinta PSSI dan PSIS tapi tak pernah setuju dengan sikap preman Yoyok Sukawi sang manajer -

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...