Thursday, August 7, 2008

Memutilasi Kaum Gay



Bolehkah saya kasihan kepada Ryan? Pemuda yang nama lengkapnya Verry Idam Henyansyah ini beberapa minggu terakhir jadi buah bibir semua orang, dihujat sana-sini karena membunuh sedikitnya sebelas orang (hitungan sementara hingga saat ini). Saya sendiri tidak terlalu intens mengikuti kasus ini, hanya membaca dari koran langganan saya dan kadang-kadang kalau pas menyetir mobil saya menyetel radio dan mendengar orang ramai memperbincangkannya. Selebihnya saya mendengar dari obrolan dengan teman-teman. Dari obrolan itu, saya bisa menangkap pesan, bahwa hampir semuanya bernada mengutuk.

Wajarlah kalau banyak orang yang marah, karena kekejaman yang tiada tara itu. Lebih lagi bagi yang masih keluarga/kerabat para korban – mengetahui kenyataan pilu yang dialami korban. Makin ditelusuri makin panjanglah deretan para korban itu. Orang terkaget-kaget dengan jumlah yang makin bertambah.

Tentu saja kasus yang sangat sensasional ini tidak akan disia-siakan oleh media masa. Maka setiap hari media (baik elektronik maupun cetak) tidak pernah sepi memuat berita tentang kasus ini. Seperti biasa, untuk lebih menyedapkan pemberitaan maka media-masa ini aktif menelusuri setiap lekuk dan sudut kehidupan Ryan, yang sebagai seorang kriminal “rakyat jelata” selalu dianggap sah-sah saja untuk di-exposed sedetil-detilnya. Kata “rakyat jelata” saya beri tanda kutip untuk membedakan dengan kriminal elit dimana media masa akan berpikir dua kali untuk memperlakukannya dengan semena-mena karena mereka ini punya pengacara yang melindungi, yang bisa mengancam dengan kalimat: “Saya tuntut kamu!!”

Memang pekerjaan media masa mencari berita dan mengemasnya semenarik mungkin. Itu memang tugas mereka. Tetapi waktu menyadari dari sebuah tulisan di sebuah koran 1) bahwa media masa sudah keterlaluan karena sampai masuk pada wilayah pribadi Ryan, bahkan kehidupan keluarganya, lalu ramai-ramai menyiarkannya sebagai santapan entertainment (hiburan), saya menjadi muak (seperti saya muak dengan acara-acara infotainment yang kebanyakan mengulas kejelekan orang, dalam hal ini adalah selebritis).

Masih masuk akal bagi saya jika media masa mewawancarai pakar yang kompeten di bidangnya demi untuk pembelajaran masyarakat, tetapi perlukah media masa menggali terlalu dalam dan mencari sisi-sisi gelap dari kehidupan Ryan sampai kepada masa lalu ibu/ayahnya, hanya untuk menjualnya demi keuntungan bisnis semata? Apa benefit bagi masyarakat yang akhirnya tahu soal itu? Mau apa kita setelah tahu ibu Ryan begini, bapaknya begitu dan seterusnya dan seterusnya? Menjadi pintarkah masyarakat?

Di tengah hingar-bingarnya pemberitaan itu tiba-tiba muncul suatu temuan bahwa ternyata Ryan adalah seorang gay (homoseksual). Dan entah darimana asalnya tiba-tiba muncul suatu analisa bahwa seorang gay mempunyai kecenderungan psychopath 2) dan bisa bertindak sangat sadis bila dikecewakan atau dilukai perasaannya. Benarkah?

Pengaitan “serial killing” yang dilakukan Ryan dengan ke-gay-annya, membuat berang salah seorang ketua perkumpulan gay di Surabaya, yang berpendapat bahwa justru kaum gay adalah kaum yang termarjinalkan, kaum yang lemah dan sering diperlakukan kejam oleh orang lain, tetapi selama ini mereka “silent” dan tidak berani melapor tindakan sewenang-wenang tersebut karena rasa malu. Mereka malu diketahui orang bahwa mereka adalah gay sehingga lebih memilih membiarkan saja. Adakah keterkaitan pembunuh berdarah dingin dengan perilaku gay/homoseksual?

***

Kira-kira 11 tahun yang lalu waktu saya indekost di daerah Jelambar, sebelah kamar saya dihuni oleh seseorang (laki-laki) yang berumur kira-kira 30an. Orang ini perawakannya biasa, kalau berjalan juga biasa saja seperti layaknya laki-laki tulen. Tetapi jika saya pas sedang mengobrol dengan dia, sekali-sekali muncul gaya bicaranya yang agak “kemayu”, tetapi kemudian gaya itu hilang lagi sebentar, lalu sebentar kemudian muncul lagi. Saya tidak ambil pusing dengan hal tersebut karena saya toh dulu waktu masih sekolah juga mempunyai beberapa teman yang gayanya seperti itu bahkan lebih parah lagi, jalanpun sudah seperti cewek, apalagi kalau ngomong.

Teman indekost saya ini begitu tertutup, tiap hari berangkat pagi dengan pakaian yang sangat necis, berdasi gaya orang kantoran sambil menenteng tas koper. Kalau pulang larut malam. Dia tidak pernah ngumpul dengan teman-teman kost, hanya dengan satu-dua orang yang bertetangga kamar saja (termasuk saya), itupun kalau lagi berpapasan.

Suatu hari waktu larut malam, saya mendengar sayup-sayup suara 2 orang lagi mengobrol di kamarnya. Oh, rupanya dia sudah pulang dan lagi ngobrol dengan temannya, pikir saya. Tapi beberapa saat kemudian, tiba-tiba saya mendengar seperti ada suara terisak. Saya mempertajam kuping saya untuk meyakinkan apa benar suara itu adalah suara isak tangis. Kalau benar suara isak tangis darimana datangnya, apakah datang dari kamar-kamar bawah (yang khusus untuk cewek)?

Saya terus mempertajam kuping saya, dan kuping saya meng-confirmed bahwa suara isak itu dari kamar sebelah, tetapi otak saya ragu kalau isak tangis itu sumbernya dari sana. Mengapa? Ya karena penghuninya laki-laki, dan suara isak itu betul-betul begitu lembut seperti suara perempuan. Apakah teman saya itu membawa cewek ke kamarnya? Ah, tidak mungkin, pikir saya, karena aturan di kost melarang kami menerima tamu/teman berlainan jenis di dalam kamar. Sejenak suara isak itu lenyap. Saya tunggu-tunggu suara itu tidak muncul lagi. Sampai saya tertidur saya tidak tahu persis benarkah itu suara isak tangis dan darimana sumber suara itu.

Waktu pagi, kembali saya dikagetkan dengan suara isak itu lagi, kali ini suaranya makin lama makin keras, lebih keras dan sudah berupa tangisan, bukan isak lagi. Yakinlah saya dengan kuping saya semalam bahwa suara itu memang bersumber dari kamar teman saya itu. Saya mendengar suara teman saya itu bernada agak tinggi, seperti lagi bertengkar. Setelah itu terdengar langkahnya keluar kamar, melewati kamar saya, dan di belakangnya seorang laki-laki tinggi tegap mengikutinya dengan sedu-sedannya sambil membawa botol minuman keras. Wah, fenomena apa ini? Saya tertegun blo’on menyaksikan adegan itu. Sampai saya pindah kost saya tidak tahu cerita selanjutnya dari teman saya dan temannya itu. Are they a couple?

Apakah teman kost saya dan temannya itu seorang gay? Benarkah seorang gay, seperti anggapan orang selama ini, adalah seorang yang bisa bertindak sadis jika disakiti, ataukah seperti temannya teman saya di kost itu, yang lebih memilih terisak dan menangis pada saat “disakiti” oleh pasangannya?

Kriminolog dari UI, Adrianus Meliala dalam suatu wawancara di radio ketika ditanya apakah Ryan adalah seorang psychopath, tidak berani secara tegas mengiyakan, karena berdasarkan interogasi sementara dari polisi, masih sangat sulit menyimpulkan bagaimana sebenarnya kepribadian Ryan, terutama dalam hal kait-mengait antara ke-gay-annya, motif pembunuhannya dan kejiwaannya. Menurut Adrianus, ciri paling melekat pada seorang psychopath adalah dia akan sangat menikmati (excited) waktu melakukan perbuatannya tersebut dan menikmati jika orang lain (polisi maupun masyarakat) sibuk dan heboh membahas dirinya. Ciri yang lain adalah biasanya seorang psychopath adalah seorang yang cerdas. Dia bisa mencari alibi sehingga penyidik sulit mengarahkan ke suatu kesimpulan. Pernah nonton film “Basic Instinct”3) yang terkenal itu? Siapa pembunuhnya yang sebenarnya?

Mengungkapkan suatu kejadian dan memberitakan ke masyarakat memang pekerjaan media masa. Memang perbuatan Ryan yang membunuh belasan orang harus mendapat hukuman yang seadil-adilnya. Tetapi perlukah sampai mengait-kaitkan pembunuhan ini dengan perilaku gay hanya karena Ryan adalah seorang gay? Berapa banyak pembunuhan yang lebih sadis dilakukan oleh orang yang bukan gay? Saya tidak pro gay atau pro homoseksual. Saya hanya berharap kita bisa menjadi bangsa yang lebih dewasa, dan tidak melakukan mutilasi terhadap kaum/etnik/bangsa dengan stigma-stigma semacam ini.

Baiklah kita selalu berusaha bersikap proporsional dalam segala hal. Kalau ada orang Nigeria tertangkap sebagai pengedar narkoba bukan berarti seluruh bangsa Nigeria adalah bangsa pengedar narkoba, bukan? Bagi saya gay/homoseksual tetaplah perilaku menyimpang, tidak normal. Lebih-lebih jika saya memotretnya dari angle lain, yaitu sudut pandang agama - saya kira akan lebih serem (mungkin lain kali saya akan menulis blog mengenai hal ini). Tetapi saya akan tetap menghargai mereka jika mereka tidak mau menyadari bahwa hal tersebut memang menyimpang.
***
Serpong, 6 Agustus 2008
Titus J.

Catatan:
1. Budi Suwarna, “Ramai-ramai Menjual Kasus Ryan” – Kompas 3 Agustus 2008.
2. Psychopath dalam kamus Oxford adalah: “A person suffering from chronic mental disorder with abnormal or violent social behavior”.
3. Film "Basic Instinct", dibintangi oleh Michael Douglas dan Sharon Stone.

No comments:

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...