Friday, September 29, 2023

Mother Teresa Itu Sudah Pergi

In Memoriam Elasa Noviani (20 Nov 1966 – 10 Sep 2023)

Sudah lebih dari 13 tahun saya mengenal Elasa (Ela).

Bukan sekadar mengenalnya, tetapi kami bersama-sama “nyemplung” dalam pelayanan di bidang yang sama selama bertahun-tahun.

Ketika saya dipercaya sebagai pemimpin redaksi majalah Nafiri GKY BSD sekitar tahun 2010-an, ada yang merekomendasikan nama Ela untuk masuk dalam staf redaksi. Saya tidak kenal Ela, tetapi ketika saya telepon dan saya ajak untuk bergabung di Nafiri, dia langsung bersedia.

Saya memberikan tugas-tugas penulisan, wawancara, dan mencari narasumber. Ia selalu bersemangat ketika menerima tugas apalagi wawancara tentang kesaksian jemaat, potret (mini biografi jemaat yang akan diangkat kisah hidupnya), dan serpihan perjalanan yang menceritakan pengalaman spiritualnya ketika ia dalam perjalanan ke suatu tempat (dalam rangka business trip, liburan, atau ketika ia pelayanan ke tempat-tempat kumuh dan kaum marginal).

Di situlah Ela menunjukkan komitmennya.

Tak pernah suatu tugas tak selesai. Ia rela melek hingga larut malam untuk menulis agar terhindar dari deadline.

Suatu hari ia mengusulkan untuk mewawancarai Pdt. Yakub Susabda untuk halaman “Thought” (segmen ini mengupas pemikiran tokoh-tokoh Kristen di Indonesia dari segala bidang) dan disajikan dalam bentuk tanya-jawab.

“Ela yakin bisa kontak Pdt. Yakub Susabda dan memastikan beliau mau diwawancarai untuk Nafiri?” tanya saya. Saat itu saya ragu karena sebagai Rektor STTRI, Pdt. Yakub pasti sibuk sekali.

“Aku tanya dulu ya.. tapi yakin dia pasti mau, hehehe,” jawabnya dengan tertawa. Setelah itu dia sebut bahwa Pdt. Yakub adalah Om-nya. Oalah, saya baru tahu.

Saya datang ke kampus STTRI ditemani dengan Ela, Pak Anton, dan Pak Yahya. Hari itu Ela semangat sekali, bahkan ia bela-belain mengajukan cuti agar jadwal wawancara dengan Pdt. Yakub tidak terganggu urusan pekerjaan.

Sejak moment bersama dengan Pdt Yakub itulah, setelah itu Nafiri terus menyajikan tokoh-tokoh Kristen (bukan hanya pendeta, tetapi juga tokoh politik, hukum, sosial, dsb) untuk diwawancarai agar pemikirannya dapat menjadi berkat bagi pembaca.

Beberapa waktu kemudian Ela mengusulkan untuk mewawancarai Christianto Wibisono (seorang tokoh politik dan bisnis, pendiri PDBI, penulis di surat kabar, anggota komite ekonomi nasional – beliau meninggal dunia tahun 2021). Lagi-lagi saya tanya Ela apakah beliau mau? Dan lagi-lagi Ela tertawa dan menjawab bahwa Pak Christ itu juga Om-nya.

Saya berpikir Ela ini keluarga besarnya berisi orang-orang hebat ya? Tapi sikapnya yang humble itu telah mengajari saya tentang arti kerendah-hatian.

Ketika saya sudah 3 tahun bertugas sebagai pemimpin redaksi, saya mengusulkan Ela untuk menggantikan saya. Ela langsung menolak. “Aku tuh suka nulis saja, jangan disuruh jadi leader,” katanya. “Pokoknya Titus kasi aja tugas apapun akan aku kerjakan, asal bukan sebagai pemred,” katanya lagi.

Lalu atas usul Pak Feri (Irawan) dan tim redaksi, Ela ditunjuk sebagai wakil saya (wapemred). Akhirnya dia bersedia. Tapi saya bilang, “Ok jadi wakil selama setahun atau paling lama dua tahun ya, setelah itu harus jadi pemred.”

Ela membuktikan sebagai wapemred pun ia sangat committed dan penuh dedikasi, bahkan setelah ia akhirnya bersedia sebagai pemred 2 tahun kemudian, ia tunjukkan pengabdiannya itu dengan tidak pernah itung-itungan.

Masa itu Nafiri selalu terbit rutin 3 bulanan (4x dalam setahun). Dan untuk menjaga komitmen terbit tersebut, Ela tak bosan-bosannya “mengejar-ngejar” dan “menagih” para penulis maupun tim desain untuk menyelesaikan tepat waktu.

Mengingat waktu itu Nafiri masih terbit cetak (hard copy), Ela selalu minta spare beberapa puluh eksemplar untuk dibagi-bagikan kepada keluarga dan teman-temannya, lalu ia “membayar” sebagai ganti ongkos cetak ke kas Nafiri/Gereja. Hal ini bagi saya merupakan ethic yang ia tunjukkan.

Ia pernah bercerita betapa ia bersyukur sekali kepada Tuhan yang “mencemplungkan” dirinya di Nafiri, karena di bidang pelayanan ini ia merasa “klik” alias pas banget dengan apa yang selama ini ia cari.

Dalam beberapa kesempatan ketika Nafiri mengadakan outing ke luar kota, atau pas sedang kongkow-kongkow (sambil rapat) dimana saja, ia menunjukkan sifatnya yang so generous. Ia suka mentraktir kami.

Bukan hanya di lingkungan gereja, di rumahnya ia membantu satu keluarga dari desa seperti layaknya “mengadopsi” mereka (Kesaksian ini pernah ditulis Ela, cerita tentang Riki dan Painem) yang sudah ia anggap sebagai keluarga sendiri sampai sekarang.

Di kantor banyak sekali cerita tentang sifat dermawannya Ela, sampai suatu kali ia keceplosan bilang, “Teman-teman kantorku memanggilku Bunda Teresa, hehehe…”

Saya yakin ia tidak bermaksud sombong, tetapi ia memang suka spontan sehingga terkadang tidak sadar kepolosannya itu.

Sejak saat itu, saya, Pak Anton dan Pak Yahya suka menggodanya dengan menyebutnya “Mother Teresa dari Serpong”.

Sering sekali kalau ia baru bepergian, ia pulang membawakan oleh-oleh untuk saya dan diantarkan oleh Riki ke rumah saya. Ia juga sering memberi buku-buku bagus kepada saya. Kebiasaan Ela kalau membeli buku itu tidak cukup 1, tetapi beberapa untuk dibagikan ke teman-teman.

Setelah beberapa tahun sebagai Pemred Nafiri, Ela pun turun agar terus terjadi regenerasi di Nafiri. Selanjutnya ia dipercaya sebagai Ketua Smyrna Café. Ini adalah bidang pelayanan yang sangat berbeda dengan Nafiri.

Suatu hari Ela bilang ke saya, “Aku tidak bisa di Smyrna. Sudah beberapa bulan ini jalan, tapi sebagai Ketua kok rasanya aku belum berbuat apa-apa ya?”

“Sabar.. namanya baru pegang, pasti ada waktunya belajar dan penyesuaian,” jawab saya.

“Tapi Tus… aku takut kalau aku ngga performed,” jawabnya.

Rupanya itulah yang menjadi concern utamanya. Dalam setiap pelayanan, Ela ingin selalu performed atau memberi yang terbaik. Ia risau jika pelayanan yang ia lakukan tidak maksimal. Saat itu saya menyemangatinya agar terus maju, dan saya katakan bahwa saya akan mendampingi sampai ia siap dilepas.

Selama Ela menjadi Ketua Smyrna, training-training barista banyak sekali diadakan. Jumlah barista saat ini sekitar 50 orang yang terbagi dalam 8 – 9 group, dan setiap hari minggu Smyrna memproses “order” paling sedikit 140-150 cup, bahkan pernah hampir 200.

Belakangan Ela sudah makin bersemangat mengurus Smyrna, salah satunya karena melihat semangat para barista yang melayani setiap hari Minggu, juga antrian yang panjang setiap kali usai kebaktian.

Bukan saja soal pelayanan, Ela suka ngobrol dan tanya soal-soal teknologi kepada saya, karena ia merasa gaptek.

Menjelang akhir tahun lalu, saat saya sedang mengoprek problem MacBook-nya yang ia pakai kerja, saya bilang, “Udahlah Ela.. istirahat aja di rumah.. mau cari apa lagi sih kok masih sibuk kerja?”

Saya tahu Ela sudah pensiun tapi oleh perusahaannya diperpanjang dengan kontrak. Saya yakin Ela tidak mengejar finansial, karena suaminya, Pak Johanes adalah orang yang sukses sebagai Presiden Direktur Santika Hotel & Resort.

“Hehe, enggaklah, wong masih kuat. Lagian kan perusahaan yang nawarin..,” jawabnya.

Kata “perusahaan yang nawarin” itu mengingatkan saya soal perjalanan karirnya. Ela cukup lama berkarir di Clariant (perusahaan kimia terkemuka dunia) dan menjadi andalan. Selepas itu ia ditarik masuk Croda (juga perusahaan kimia terkemuka dunia) sampai ia pensiun, dan ia tetap dipakai hingga saat ini.

Saya kira tidak ada perusahaan yang mau mempekerjakan orang yang sudah pensiun kecuali memiliki sesuatu yang penting. Dan perusahaan tempat Ela bekerja sudah menemukannya dalam diri Ela, di antaranya adalah ethos kerja, integritas, performance dan komitmen.

Benar, perusahaan tidak akan menyesal telah merekrut Ela. Gereja pun juga akan sangat beruntung jika yang masuk dalam pelayanan adalah orang-orang seperti Ela, yang masih memiliki hati yang risau jika ia tidak performed, jika ia tidak mengerjakan bagiannya dengan maksimal.

Kita ingin memiliki teman seperjuangan baik di kantor ataupun di gereja seperti Ela.

Maka semalam sekitar jam 11.30pm ketika saya bersiap hendak naik ke tempat tidur, berita yang berseliweran melalui WhatsApp sungguh seperti petir di siang bolong, yang lalu meremas-remas hati dan mengaduk-aduk pikiran. Benarkah Ela secepat ini pergi meninggalkan kita?

Betapa banyak di antara kita yang begitu kehilangan, dan terkenang akan kebersamaan dan persahabatan yang terjalin dengan Ela.

“Tugasnya telah selesai, tangannya telah cukup banyak mengerjakan,” kata Tuhan.

Kita ingin sepakat dengan apa kata Tuhan, tetapi mungkin bagi kita rasanya tak kan pernah cukup untuk melihat tangan Ela terus bekerja bagi kebaikan di dunia ini, seperti tangan Mother Teresa of Calcutta.

Selamat jalan, Ela.

***

Serpong, 11 Sep 2023

Titus J.

No comments:

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...