Monday, December 25, 2017

Menunggu Eliot Ness

 “Harus ada yang melawan iblis, walaupun iblis tidak pernah mati.” (Seno Gumira Ajidarma)

Tidak banyak orang yang berani melawan kejahatan. Kebanyakan dari kita mendiamkan saja sambil menunggu ada orang lain yang melakukan perlawanan.

Jika kita menganggap korupsi adalah kejahatan dan setiap kejahatan dilakukan oleh iblis, maka koruptor sebenarnya identik dengan iblis. Ada koruptor kecil-kecilan, ada pula koruptor besar-besaran. Sama seperti iblis, ada iblis krucuk, ada pula iblis selevel jenderal.

Di Negara kita ada lembaga anti rasuah bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka mengejar koruptor, menangkap, dan menjebloskannya ke penjara. Banyak pejabat dan pengusaha pelaku korupsi telah dikirim ke penjara, tetapi koruptor tidak pernah habis. Sini ditangkap, sana berbuat. Yang sana dikejar, yang sini berpesta. Begitulah terus kejadiannya. Lalu ada orang sinting mencemooh, “Lihat, apa yang dilakukan oleh KPK? Koruptor terus ditangkapi artinya kan korupsi jalan terus? Artinya kan KPK gagal memberantas korupsi???” Daripada membuang energi menjawab dan menjelaskan, logika semacam ini kita masukkan tong sampah saja.

Harus ada yang melawan iblis, walaupun iblis tidak pernah mati. Harus ada yang melawan kejahatan, walaupun kejahatan tidak pernah habis. Yang dibutuhkan adalah orang-orang istimewa yang bukan sekedar melek hukum, tetapi juga berani, yang urat takutnya sudah putus.

Ada orang-orang istimewa yang memang ditentukan oleh jamannya menjadi pahlawan untuk memburu kejahatan. Dulu ada, kini pun ada.

Mengingat kembali situasi di Chicago di tahun 1920 – 1940an, kita tak mungkin melupakan Alphonse Gabriel Capone – lebih dikenal dengan Al Capone – seorang keturunan Italia kelahiran Brooklyn, Amerika yang menjadi bos gangster di Chicago di era tersebut.

Capone menyandang nama ‘Gabriel’ - mungkin orangtuanya mengharapkan kelak ia bisa menjadi pembawa berita keselamatan seperti malaikat Gabriel yang mengunjungi Maria. Tetapi apa daya, Gabriel yang  bermukim di Chicago itu memilih menjadi mobster.

Capone menjalankan bisnis ilegal sejak usia duapuluh tahun. Bakat premannya sudah tampak di usia sebelia itu sehingga ia dipercaya menjalankan bisnis illegal, di antaranya rumah judi, minuman keras, dan bisnis seputar tempat hiburan dan dunia malam. Persaingan dengan gang lainnya selalu diwarnai aksi saling bunuh antar anggota gang, tetapi Capone selalu lolos dari jerat hukum.

Capone bukannya tidak pernah ditangkap polisi kemudian diseret ke meja hijau. Ia sering berhadapan dengan hakim dan sederet juri di pengadilan, tetapi ia selalu bebas. Bahkan dalam kasus kematian seorang asisten Jaksa wilayah, Bill McSwiggin di tahun 1925 yang melibatkan gangnya, pengadilan membebaskan Capone dari segala tuntutan.

Kelicinan Capone menghindari jerat hukum adalah karena kecerdikannya merangkul pejabat pemerintah dan penegak hukum. Backing dari mereka membuat Capone lebih leluasa menjalankan bisnisnya: illegal bootlegging, racketeering, and gambling, dan menumpuk Dollar dengan sangat mudah. Sebagai gambaran, estimasi uang yang dikeruk dari bisnisnya sebesar 100 juta Dollar per tahun (sekitar 1,4 Trilyun Rupiah uang sekarang).
Ia berlaku bukan sebagai seorang bos gangster, tetapi sebagai businessman yang kemana-mana mengobral senyum. “I am not a criminal, but a public benefactor,” katanya. “I give people light pleasure, show them good time.”

Kekejaman Capone tersembunyi di balik senyumnya. Orang melihatnya ramah tetapi hatinya begitu dingin. Di tahun 1929 pada hari Valentine, Capone dan gangnya bentrok dengan kelompok gang lain pimpinan George Moran di sebuah gudang minuman keras. Dalam baku tembak itu tujuh anggota gang Moran tewas dengan tubuh berserakan dan darah berceceran hingga menempel di tembok gudang. Peristiwa itu dikenal sebagai “Valentine Day’s Massacre” karena kesadisan luar biasa yang bikin shock masyarakat. Dan Capone lagi-lagi tidak tersentuh hukum.

Reputasi Capone rupanya telah mengusik Presiden Amerika Serikat pada waktu itu, Herbert Hoover. Ia meminta agar Capone dihentikan, diadili dan dihukum penjara. Tetapi bagaimana polisi bisa melakukannya? Capone telah “membeli” mereka semua.

Lalu muncullah pahlawan itu, Eliot Ness, yang masih muda, yang baru lulus dari Universitas of Chicago di tahun 1925.

Jaksa Wilayah George E.Q. Johnson yang mendapat tugas dari Presiden Hoover memanggil Eliot Ness. Tidak ada cara lain yang lebih tepat selain menggunakan orang baru di lingkungan lama yang sudah rusak, karena polisi sudah kena sogok semua. Jaksa Johnson meminta Ness untuk memimpin operasi dengan satu tugas: Mengirim Al Capone ke penjara. Tak berlama-lama, Ness membentuk tim dengan sembilan anggota.

Ness yang masih muda itu bukan saja pemberani, tetapi juga cerdik. Ness mengetahui bahwa Capone menyuap polisi, pejabat pemerintah bahkan politisi untuk melindungi bisnisnya. Ness berpikir jika ia menangkap Capone atas tuduhan pembunuhan, Capone pasti lepas seperti yang sudah-sudah. Ia harus memakai cara lain.

Pertama kali yang dilakukan oleh Ness adalah menyasar “dompet” Capone. Argumentasinya, jika keuangan Capone jebol, ia tak lagi mampu membayar para polisi, pejabat dan politisi busuk itu. Maka dengan menggunakan undang-undang federal, Ness menutup tempat-tempat pembuatan minuman keras milik Capone. Dalam waktu kurang dari enam bulan operasi dilancarkan, pendapatan Capone merosot tajam.

Tetapi Capone bukan anak kemarin sore. Ia sadar jika dibiarkan, Ness akan membawa kebangkrutan bagi bisnisnya. Ia mengirim salah satu anak buahnya menemui Ness dan menawarkan uang. Sudah biasa, bos gangster tidak akan segan-segan menyuap karena uang panas akan mudah pergi, mudah pula datang. Tetapi Ness menolak mentah-mentah. Ia mengusir orang itu keluar kantornya dan kemudian mengundang wartawan. Dalam konperensi pers itu Ness menegaskan bahwa ia dan timnya tidak bisa dibeli.

Setelah peristiwa itu, Ness malahan membiasakan mengadakan konperensi pers setiap kali selesai melakukan penyergapan dan penutupan tempat-tempat produksi minuman keras milik Capone. Itu adalah strategi. Publik yang sudah muak dengan premanisme para gangster akan mendukungnya, dan, Capone terpojok sebagai public enemy. Harian Chicago Tribune menjuluki Ness dan timnya sebagai “The Untouchable”.

Karena tidak berhasil menyuap Ness, artinya cara halus tidak mempan sehingga Capone melawan dengan kekerasan. Ia menugaskan anggota gangnya membuntuti Ness dan sembilan orang timnya, yang mengakibatkan salah satunya terbunuh. Kedua belah pihak sudah kepalang basah, mereka sama-sama tidak bersedia mundur dan kompromi. Pada puncak ketegangan itu, suatu hari Ness menelelepon Capone dan memintanya untuk menengok ke jendela. Dari jendela itu Capone melihat deretan mobil dan armada miliknya sedang diderek sebagai hasil sitaan menuju tempat lelang. Amarah Capone meledak karena penghinaan itu. Sesudah peristiwa itu, Ness mengalami tiga kali usaha pembunuhan, tetapi ia selamat.

Petualangan Capone terhenti setelah Ness berhasil menyeretnya ke meja hijau, tetapi bukan atas dakwaan menjalankan bisnis ilegal ataupun pembunuhan, melainkan karena jeratan undang-undang pajak. Presiden Hoover menegaskan bahwa bisnis apapun tak peduli itu merupakan bisnis kotor, tetap harus membayar pajak. Ness bekerja sama dengan agen dari Departemen Keuangan menelisik keuangan Capone dan tidak mendapati sebarispun laporan bahwa ia pernah membayar pajak.

Selama dua minggu Capone diadili, dan selama dua minggu itu pula Ness selalu hadir di persidangan. Pada bulan Oktober 1931, Capone dijatuhi hukuman penjara selama sebelas tahun. Ia mendekam di penjara federal Atlanta lalu dipindahkan ke Alcatraz, tetapi sebelum genap hukumannya selesai, pada bulan November 1939 ia dikeluarkan dari penjara karena menderita sipilis. Tujuh tahun sesudahnya, pada tanggal 25 Januari 1947, Alphonse Gabriel Capone mati karena serangan stroke.

Kisah Al Capone versus Eliot Ness di atas mengingatkan kita, bahwa harus ada yang melawan iblis, walaupun iblis tidak pernah mati. Harus ada yang melawan kejahatan, walaupun kejahatan akan terus ada.

Setiap jaman mempunyai pahlawannya sendiri. Sebobrok apapun system dan seburuk apapun perilaku penguasa, tetap masih tersisa orang-orang baik yang berani melawan kejahatan. Hal ini harus membesarkan hati kita.

Andaikan kita memiliki Eliot Ness di Negara kita sekarang, barangkali iblis-iblis itu akan mati berkali-kali.

Fiat justitia ruat caelum (Let justice be done though the heavens fall)

***
Serpong, Nov 2017
Titus J.

No comments:

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...