Thursday, May 25, 2017

Dua tahun tak lama, Vero

Dua tahun tak lama, Vero.

Benar, dua tahun hanya sekejap saja untuk menunggu orang tercinta. Ingatkah engkau satu cerita tua yang terjadi ribuan tahun lalu ketika Yakub jatuh cinta kepada Rahel? Demi mendapatkan Rahel, ia rela bekerja selama tujuh tahun. Tetapi yang tujuh tahun itu dirasanya hanya beberapa hari saja, karena cintanya kepada Rahel.

Cinta meniadakan batas waktu. Cinta meniadakan batas tembok. Cinta memang kuat seperti maut. Air yang banyak tak dapat memadamkan cinta, sungai-sungai tak dapat menghanyutkannya. Cinta inilah yang kau tanam dan tumbuh-kembangkan selama bertahun-tahun ini dan menjadi penopangmu di saat letih.

Dalam airmatamu itulah cintamu mengalir, turun ke pipimu bersama dengan irama dadamu yang sesak. Simpanlah baik-baik airmatamu itu dalam wadah yang istimewa di kedalaman hatimu, agar kelak jika ia yang kau cintai kembali, ia dapat melihat betapa di dalam butiran airmata yang bening itu tersimpan banyak cerita; tentang perjuangan, tentang idealisme, tentang cita-cita, tentang pengorbanan, tentang penderitaan, dan tentang cinta yang engkau rawat dengan sekuat tenaga.

Jangan pernah menganggap bahwa hidup ini kejam dan seringkali memperlakukan kita dengan semena-mena, sebab di atas sana ada tangan yang selalu rajin menulis setiap detik peristiwa yang terjadi di bawah matahari. Kata orang bijak, “Life is God’s novel. Let Him write it.” 

Sabarlah, mungkin saat ini Tuhan sedang tiba pada satu episode hidupmu yang gelap, biarkanlah Dia melanjutkan tulisan-Nya. Jangan terburu-buru menarik kesimpulan cerita sampai kita membalik lembar terakhirnya.

Dua tahun tak lama, Vero. Dua tahun hanya sekelebat bayangan saja bagi orang yang imannya bercahaya. Walaupun jalan Tuhan tak mudah dimengerti, tetapi orang yang untuknya engkau menangis itu memang layak dan sepantasnya mendapat cintamu. Ia memiliki iman seperti dirimu. Hanya oleh iman itulah, engkau dapat melihat tangan Tuhan yang sedang merenda hidupmu, dan tangan Tuhan yang sedang menulis catatan sejarah bangsamu, bangsaku, bangsa kita.

Oleh iman itulah, ia yang kau cintai berani menghadapi badai, seperti seorang pelaut sejati, yang menganggap ombak adalah teman bermain, dan ganasnya lautan sebagai lapik tidur. Ia memang seorang petarung, yang berani berjalan sendirian di lembah bayang-bayang maut, lalu menampakkan dirinya menunggu lawan. Berbahagialah engkau karena ia bukan barisan para pengecut, yang hanya berani jika bergerombol, tetapi gemetar oleh hentakan kaki kuda lalu terbirit dengan suara mengembik.

Hari-hari ini memang begitu kelam bagimu dan keluargamu. Hari-hari yang menjadi saksi betapa beratnya menegakkan kebenaran. Jika sekarang kebenaran itu sedang terkurung dalam angkara, bukan berarti kebenaran telah mati. Tidak, kebenaran akan selalu hidup tak peduli orang-orang yang memperjuangkannya untuk sementara disekap dalam penjara, sebab kebenaran akan mencari jalan keluarnya sendiri, dan pada waktunya nanti akan terbit seperti fajar pagi.

Kami memahami dengan simpati yang dalam keputusanmu dan ia yang kau cintai untuk menyudahi perlawanan, bukan atas pertimbangan untung-rugi bagi hidupmu dan hidup keluargamu, melainkan bagi negeri yang kau dan dia cintai bersama. Dari situlah kami melihat betapa engkau dan dia lebih Indonesia daripada mereka yang mengebiri keadilan.

Dari balik tembok penjara itu, ia yang kau cintai telah mengirimkan pesan bahwa ia akan ikhlas menjalani. Ia tak pernah terteror oleh tembok penjara, karena ia mengenal Dia yang memegang hidupnya. Para pembencinya menganggap ia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah. Tetapi sebenarnya, untuk kitalah ia rela tertindas, terkurung bersama para pesakitan, dan memilih untuk ‘submit’ sepenuhnya kepada kehendak-Nya.

Bukankah Gurumu dan Gurunya juga mengalami hal yang sama, ketika Dia harus tergantung di kayu salib dan mati di antara para penjahat? Dia tidak berbicara apapun ketika orang memukul-Nya. Seperti domba yang kelu di hadapan orang-orang yang menggunting bulunya, Dia diam, Dia membiarkan orang-orang menghajar-Nya, lalu memaku tangan dan kaki-Nya, lalu menggantung-Nya. Orang-orang mengira Dia kena kutuk, tetapi sesungguhnya karena kita Dia rela tersalib, menanggung kutuk dosa kita yang tak mampu kita bayar. Tetapi dalam kesendirian-Nya, Dia justru berdoa untuk para pembenci-Nya: “Ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.”

Dalam surat yang kau bacakan itu, yang ia tulis dengan tangannya sendiri, kita mengerti bahwa ia sejatinya adalah sang pemenang, karena ia telah belajar dari teladan Gurunya untuk mengampuni dan menerima semua. “The weak can never forgive. Forgiveness is the attribute of the strong," kata Mahatma Gandhi. Raganya memang terkurung di dalam tembok, tetapi jiwanya lapang dan merdeka. Berbahagialah engkau yang di dalam kesesakan hatimu telah merdeka dari kebencian.

Ingatkah engkau dengan Maria Magdalena, yang tekun dan setia mengiringi Gurunya memikul kayu salib hingga tiba di bukit itu? Ia pun menangis kala itu, tak tahan melihat orang-orang mendera, memaki, dan meludahi-Nya. Cinta memang sering membuat orang yang memilikinya menangis, tetapi percayalah, cinta itu jugalah yang akan kembali menyapamu dan menyembuhkan hatimu, seperti yang telah dialami oleh Maria ketika Gurunya menyapanya pada waktu Dia bangkit dari kematian pada hari ketiga.

Lihatlah, Vero, betapa Dia menghargai airmata yang mengalir dengan kejujuran. Dialah yang akan menyeka airmatamu dan membalut lukamu. Dialah yang akan mengganti kain kabungmu dengan pakaian pesta, dan mengubah ratapanmu menjadi tari-tarian.

Dua tahun tak lama, Vero. Biarlah ia menikmati keberduaan dengan Tuhan dalam kesunyian. Nanti pada waktunya engkau akan kagum akan jawaban-jawaban doamu, dan engkau akan menyaksikannya dengan mengatupkan bibir.

Gusti ora sare. Dia akan menyelesaikan perkaramu tanpa nasihatmu, dan tanpa campur tanganmu.

I have found the paradox, that if you love until it hurts, there can be no more hurt, only more love (Mother Teresa)

***
Serpong, 25 Mei 2017

Titus J.

No comments:

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...