The
crucifixion of Ahok. Inilah judul berita yang ditulis oleh harian The Jakarta
Post sehari setelah vonis dua tahun terhadap Ahok 9 Mei yang lalu.
Begitu
mendengar hakim mengetok palu, ia berdiri dan berjalan menuju barracuda yang
kemudian membawanya ke Cipinang. Via Dolorosa. Inilah jalan yang harus ditempuhnya.
Di luar gedung pengadilan ketokan palu itu disambut dengan tangisan banyak perempuan.
Di kantor-kantor, para perempuan yang sedang bekerja langsung shock, lalu menitikkan
airmata dan tidak lagi bisa fokus berpikir dan bekerja. Bahkan para ibu yang
berada di rumah pun tidak bernafsu lagi untuk mengerjakan apa-apa selain
menonton televisi dengan mata sembab dan wajah yang datar. Persetan dengan
urusan dapur dan rumah tangga. Hari itu mereka berduka untuk Ahok.
Siapakah Ahok
hingga ia menyedot simpati sedemikian dalam, bukan sehari dua hari tetapi
sepanjang waktu? Bahkan setelah kekalahannya dalam pilkada pun, orang menyiapkan
karpet merah sebagai jalan yang akan dilaluinya menuju pintu keluar. Ia lengser
dengan terhormat. Ia telah menjelma
menjadi magnet yang setiap geraknya selalu menarik untuk diikuti, baik dengan
penuh kekaguman dan juga kebencian. Bagi pengagumnya ia adalah pahlawan, tetapi
bagi pembencinya ia dijuluki penista agama.
Untuk dia,
tak ada salahnya kita memberikan ruang terhormat di hati kita. Untuk dia, tak
ada ruginya kita menundukkan kepala dan mengheningkan cipta.
Kita, yang
tidak pernah mengenal Ahok, ternyata diam-diam telah jatuh cinta setelah
beberapa tahun ini mengenalnya lewat banyak hal yang telah dikerjakannya. Kita,
yang sebagian besar tidak pernah bertemu langsung, telah dipersatukan dengan
bahasa cinta. Betapa bahasa cinta telah memperpendek jarak bahkan
meniadakannya. Cinta itu telah menjalar dalam frekuensi yang sama hingga kita
pun merasakan kepahitan yang dirasakannya saat ini, tanpa sekat perbedaan
agama, suku dan bahasa. Je Suis Ahok.
Saya Ahok. Kita adalah Ahok.
Tentu “kita”
itu bukanlah mereka yang membencinya, sebab cinta tak pernah bisa tertangkap dari
gelombang frekuensi kebencian. Tidak heran jika lautan bunga di balai kota pun
dikutuki mereka, dan dengan nyinyir mengatakan bahwa hal itu adalah pencitraan
murahan, bahwa bunga-bunga itu dipesan sendiri oleh Ahok untuk dikirimkannya
kepada dirinya sendiri. Kampret!
Tentu “kita”
itu bukanlah mereka yang merasa memiliki surga, yang memperjual-belikan surga untuk
meraih suara, lalu menunjuk-nunjuk dengan jarinya dan mengatakan barang siapa
yang mendukung atau bersimpati kepada Ahok tidak layak mendapatkan surga.
Betapa surga di benak mereka hanyalah berupa sejengkal kavling yang diukur
berdasarkan pilihan politik dan bisa dibagi-bagikan seenaknya. Ya, mereka
merasa menjadi tuan tanah surga dan kita wajib membelinya dengan harga pantas.
“Ahokers nggak
bisa move-on,” ejek mereka sambil memekikkan sorak kemenangan. Mereka tidak
mengerti bahwa apa yang kita lakukan adalah semata-mata atas nama cinta; cinta
atas pengorbanan, cinta atas kepedihan karena disalah-mengerti, cinta atas
kebenaran yang tertindas oleh kesombongan karena merasa besar.
Frekuensi
cinta selalu mengalirkan ekspresi cinta. Itulah sebabnya mengapa ajakan Addie
MS untuk menyanyi di Balai Kota mendapatkan sambutan hangat. Nyanyian tentang
keindahan Indonesia pagi itu dinyanyikan dengan hati yang meratap, karena
hari-hari ini Indonesia kita sedang terluka. Seorang netizen memposting
komentar di akun Twitter-nya: “Aku menangis melihat orang benar ini dijatuhi
hukuman. Tak pernah dalam hidupku merasa begitu mencintai ibu pertiwi seperti
hari ini.” Benar, apa yang telah terjadi terhadap Ahok telah memanggil cinta untuk
kembali kepada ibu pertiwi yang selama ini kita abaikan. Jangan pernah berhenti
mencintai Indonesia.
“Ahokers
tidak menghormati hukum,” kata mereka lagi. Padahal, ketika mereka bergerombol
di depan gedung Mahkamah Agung beberapa hari sebelum hari pembacaan vonis,
mereka sendirilah yang telah menusuk dewi keadilan itu dengan pedang. “Ohh,
kami tidak intervensi, kami hanya mau mengawal hukum,” kata mereka. Tetapi mengawal
hukum bagi mereka adalah menuntut hukum memenjarakan Ahok.
Sudahlah, tak
perlu mendengarkan orang berdalih bahwa vonis dua tahun untuk Ahok itu adalah
murni soal hukum dan keadilan. Dan tak perlu menggubris orang mengajari kita
untuk taat hukum ketika kita bersimpati kepada Ahok dan berjuang menuntut
keadilan. Ahok – orang yang kita bela ini adalah contoh manusia yang taat
hukumnya hampir mencapai langit. Dari 22 kali persidangan yang harus ia jalani,
ia tak sekalipun pernah mangkir. Ia tekun menjalani sidang yang melelahkan karena
ia menghormati hukum.
Tidak
mengapa, Ahok mengerti benar arti dari membayar harga. Dalam kamar tahanan itu
Ahok tetap bertekun dalam doa. Doa adalah pesannya kepada siapapun, bahkan kepada
seorang ibu yang sakit kanker yang datang menemuinya di Balai Kota. Ahok
menolong menyelesaikan persoalan pengobatannya dan mengatakan: “Ibu harus
berdoa kepada Tuhan, karena doa akan membuat hati Ibu merasa tenang.”
Tetapi
sebagai manusia biasa, sekuat apapun ia bertahan, ingatan akan keluarganya akan
selalu meremas-remas hatinya. Ia yakin akan keteguhan Veronica, juga Nicholas dan
Nathania. Tetapi bagaimana ia menjelaskan penjara kepada Daud Albeenner? Ia
ingin Daud berbahagia melihat karangan bunga untuknya membanjiri Balai Kota. Ia
ingin Daud melihat ribuan orang yang bersimpati dan menyalakan lilin di Tugu
Proklamasi sebagai bentuk dukungan untuknya. Ia ingin Daud mendengar orang
mengatakan, “Lihat, banyak orang mencintai bapakmu. Kau harus bangga kepada
bapakmu!”
Tetapi,
apakah arti sebuah kebanggaan bagi anak berumur 10 tahun? Baginya semua itu
tidak ada artinya, karena papanya tidak bisa pulang ke rumah. Jika boleh
memilih, mungkin bagi Daud lebih penting papanya berada di dekatnya,
menemaninya bermain dan belajar, menemaninya di kamar tidurnya hingga ia
terlelap dan lampu kamar dipadamkan, dan pergi berlibur bersama-sama dengan
keluarganya ke tempat yang hanya ada mereka berlima saja.
“Tetapi bapakmu
dicintai rakyat, Daud!” kata banyak orang menghiburnya. “Aku tak butuh ribuan
orang mencintai papaku, sebab aku lebih membutuhkan tangan papa memelukku pada
waktu aku menangis, lalu mengajariku untuk tidak cengeng melihat dunia,” kata
Daud dalam kejujuran hati seorang anak kecil.
“Di negeri
ini orang yang memberikan hidupnya untuk melayani rakyat berakhir di penjara,
tetapi koruptor tidur di hotel mewah,” kata seorang netizen. Memang banyak
orang menjadi frustrasi, dan mungkin sebagian dari kita menganggap riwayat Ahok
sudah tamat, harapan sudah mati. Tetapi bersabarlah. Burung rajawali tidak akan menjadi burung nuri
walaupun disekap di dalam sangkar.
Je Suis Ahok. Engkau tidak sendiri, Ahok. Kita jalani Via Dolorosa ini
bersama-sama. Di ujung jalan nanti kita akan melihat kemuliaan. Kita telah
melawan sebisa-bisanya, sehormat-hormatnya.
“Never be afraid to stand with the minority
when the minority is right, for the minority which is right will one day be the
majority” (William Jennings Bryan)
***
Serpong,
11 Mei 2017
Titus J.
No comments:
Post a Comment