Thursday, March 23, 2017

Tuhan mampir di Kalijodo

Di suatu pagi bulan Februari tahun dua ribu enam belas yang tidak terlalu sejuk dan tidak pula terlalu panas, Tuhan berjalan-jalan di Kalijodo. Ia menghentikan langkah-Nya ketika sebuah nyanyian menggema dari kerumunan beberapa puluh orang yang sedang mengikuti kebaktian di sebuah gereja yang terletak di antara padatnya pemukiman dan café yang kalau malam hari begitu semarak dan kalau pagi hari tertidur lelap. Puluhan sepeda motor dan bajaj berjajar di halaman parkir gereja yang luasnya hanya beberapa meter saja.

Di situlah Tuhan mampir.

Jemaat gereja yang sederhana  itu terus menyanyi dengan khusuk. Lagu yang dipilih oleh pemimpin pujian adalah “Briku hati”. Maka diiringi dengan organ tunggal yang suaranya sember, yang pemain organnya mengangguk-angguk konsisten mengikuti irama, jemaat itu menyanyikan: “Briku hati untuk menyembah-Mu, briku hati untuk mengasihi-Mu, briku hati memuji-Mu dan mengasihi Engkau, seperti wanita yang datang mengurapi-Mu….

Jari-jemari pemain organ tunggal itu terus memijit-mijit tuts, sesekali ia melirik ke arah sang pemimpin pujian yang berdiri di belakang mimbar sambil memegang mikrofon yang suaranya juga sember.

Pagi itu Tuhan mengenakan celana jeans belel, berkaos oblong putih berlabel Giordano dan bersandal kulit warna coklat muda. Setelah kaki-Nya memasuki ruangan gereja, Ia duduk di bangku paling belakang, tepat di sebelah seorang perempuan yang mengenakan terusan berwarna coklat bermotif kembang, berambut hitam sebahu dan ber-lipstick merah jambu.

Perempuan itu tengah menundukkan kepala dan berdoa dalam hatinya, “Tuhan, ampunilah dosa-dosaku….” Setelah selesai berdoa, ia mengusap matanya dengan sehelai tisu yang sejak tadi digenggamnya. Ketika ia melihat siapa yang duduk di sebelahnya, ia beringsut sedikit memperlebar jarak duduknya. Lalu kepalanya menunduk. Ia tidak ikut menyanyi seperti jemaat yang lain.

“Mengapa engkau tidak menyanyi?” sapa Tuhan.
“Aku tidak bisa menyanyi,” jawab perempuan itu.
“Benarkah engkau tidak bisa menyanyi? Aku sering melihatmu menyanyi di café bercat biru di ujung jalan ini,” kata Tuhan.
“Hmm, bukan itu maksudku, lebih tepatnya, aku tak pantas menyanyi di sini.”

Tuhan diam. Perempuan itu diam.

Seorang laki-laki mabuk berjalan lewat di depan gereja dengan langkah terhuyung-huyung. Kancing bajunya terlepas dan rambutnya acak-acakan. Ia menyanyikan lagu ‘It’s my life’ menirukan Bon Jovi dengan suara serak diselingi dengan suara sendawa dari mulutnya yang berbau alkohol. Ketika ia mendengar suara organ dari dalam gereja itu, ia berhenti, lalu memanggil: “Selvi.. Selvi…!” Perempuan yang duduk di sebelah Tuhan itu menoleh ke arah pintu, memandang sejenak, lalu membuang muka tanpa menyahut apa-apa. Laki-laki itu kemudian berlalu pergi.

“Sudah berapa lama engkau tinggal di sini, Selvi?” tanya Tuhan.
“Ohh.., Engkau tahu namaku?” perempuan itu balik bertanya.
“Aku tahu nama semua perempuan di tempat ini,” jawab Tuhan.
“Hmm..,” perempuan itu menggumam, mencuri pandang ke arah Tuhan dengan ekor matanya, kemudian menjawab, “Kalau kuhitung sejak aku lulus SMA, tidak kurang dari lima belas tahun.”
“Apakah engkau selalu datang ke gereja ini setiap hari Minggu?”
“Ya, aku tak pernah melewatkan hari Minggu di gereja ini. Oleh sebab itu, di hari Sabtu aku tidak bekerja terlalu larut agar esoknya aku bisa bangun pagi-pagi.”
“Apakah jemaat dan Bapak Pendeta di sini mengenalmu?”
“Ohh, kenal.. setiap hari Minggu aku ikut kebaktian di sini bukan?”
“Hmm.. bukan itu maksud-Ku..”
“Ohh, aku tahu maksud-Mu. Ya, mereka tahu aku.. mereka kenal aku. Bapak Pendeta selalu menjabat tanganku setiap selesai kebaktian dan memberikan senyum yang ramah. Ia selalu menitipkan sepotong doa untuk aku bawa pulang.”

Pemain organ tunggal itu telah mengganti lagu yang tadi dan sudah memainkan dua lagu lain, membiarkan jemaat tenggelam dalam moment kontemplasi yang khusuk. Di bangku baris belakang perempuan itu masih bercakap-cakap dengan Tuhan.

“Aku dengar, tidak lama lagi tempat ini akan dibongkar,” kata Tuhan. Perempuan itu mengangguk.
“Kemana engkau akan pergi setelah tempat ini diratakan dengan bulldozer?”
“Entahlah, terus terang aku bingung karena tempat ini sudah menjadi rumahku selama ini. Hmm.., dan jemaat gereja ini, kemana mereka akan pergi beribadah setelah tempat ini diratakan?”
“Pergilah ke gereja mana saja, nanti aku akan datang menemuimu dan mengobrol seperti ini,” jawab Tuhan.
“Benarkah? Tidakkah Engkau akan mempermalukan Diri-Mu sendiri jika Engkau mencariku dan mengobrol denganku?”
“Dulu, Aku pun pernah menemui seorang perempuan seperti dirimu di dekat perigi dan bercakap-cakap seperti ini dengannya.”
“Dimana?”
“Di tempat yang jauh dari sini, di Samaria.”

Perempuan itu menoleh kepada Tuhan, tapi ia tak kuasa menatap wajah-Nya, melainkan hanya memberanikan diri memandang kaos oblong berlabel Giordano yang dikenakan-Nya.
Sejurus kemudian, pemain organ tunggal itu menghentikan musiknya, kemudian turun setelah terlebih dahulu menyerahkan mimbarnya kepada Bapak Pendeta.

“Saudara-saudara terkasih, hari ini tidak ada khotbah. Mari kita berdoa dan pulang!” seru Bapak Pendeta dari mimbar.

***
Setahun pun berlalu.

Pada suatu hari Minggu, di sebuah gereja yang letaknya jauh dari kawasan Kalijodo, seorang perempuan yang mengenakan terusan berwarna coklat bermotif kembang, berambut hitam sebahu dan ber-lipstick merah jambu datang mengikuti kebaktian.

Sudah setahun sejak Kalijodo dibongkar atas perintah Gubernur Ahok, setiap hari Minggu perempuan itu datang kesana. Ia selalu duduk di kursi di deretan belakang. “Tuhan, ampunilah dosa-dosaku yang telah kulakukan selama ini…,” demikianlah doa yang ia ucapkan setiap kali ia berada di dalam gereja itu. Selepas kebaktian, ia menuju Roxy tempat kerjanya sebagai penjaga toko handphone.

Sudah setahun perempuan itu menunggu Tuhan di gereja itu, tetapi yang ditunggu tak pernah datang. Hingga akhirnya di suatu pagi yang tidak terlalu sejuk dan tidak pula terlalu panas, perempuan itu mengorder ojek aplikasi untuk mengantarnya ke Kalijodo. Hatinya begitu rindu untuk bertemu Tuhan dan ia ingat di situlah tempat ia bertemu dengan-Nya setahun sebelumnya.

Setibanya disana ia ragu-ragu dan bertanya dalam hatinya, benarkah tempat itu adalah tempatnya dulu? Ia membaca tulisan “RPTRA Kalijodo”. Ia melihat tempat itu telah berubah. Ketimbang deretan café dan warung remang-remang, ia melihat arena belajar dan bermain yang rapi dan terang. Anak-anak kecil berkejaran dan sebagian bermain di playground, anak-anak remaja bermain bola dan anak-anak muda sedang bermain skateboard.

Sedang ia berdiri dan dipenuhi kekaguman melihat keindahan di depannya, Tuhan datang mendekatinya. Pagi itu penampilan Tuhan masih tetap sama seperti dulu: mengenakan celana jeans belel, berkaos oblong putih berlabel Giordano dan bersandal kulit warna coklat muda.

“Mengapa engkau datang kesini?” sapa Tuhan.
“Aku kesepian. Tak ada lagi sepotong doa yang aku bawa pulang selepas kebaktian seperti dulu. Aku menunggu-Mu di gereja sana, tetapi sudah setahun Engkau tak pernah datang,” jawab perempuan itu.
“Aku selalu lewat di depan gereja itu, tetapi enggan mampir,” jawab Tuhan.
“Mengapa?”
Hmm..karena mereka merasa dirinya sudah suci. Hanya pendosa yang mencari-Ku.”

Perempuan itu diam. Pandangannya tertuju pada tempat di depannya yang sudah berubah, dan pikirannya dipenuhi dengan wajah-wajah orang yang sangat dikenalnya, yang sering ia lihat berdiri di atas panggung di gereja sana, mengenakan jas dan dasi.
Sebuah bola menggelinding dari lapangan RPTRA itu dan berhenti tepat di kaki Tuhan. Tuhan memungut bola itu dan menyerahkannya kepada seorang anak yang datang menghampiri. Anak itu menerima bola dari tangan Tuhan, kemudian berlari menuju ke tengah lapangan.

Perempuan itu mengorder ojek aplikasi kemudian berlalu pergi. Tuhan berjalan menuju ke arah Angke.

A church is a hospital for sinners, not a museum for saints (Abigail Van Buren)

***
Catatan:
*) Cerita ini mengambil tempat dan waktu yang aktual namun dengan dialog imajiner.
*) RPTRA: Ruang Publik Terpadu Ramah Anak. Gubernur Ahok mempunyai visi menyediakan taman dan ruang bermain bagi keluarga yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti tempat olah-raga, perpustakaan, taman bermain anak (playground), bahkan disediakan pula ruang laktasi bagi ibu-ibu yang membawa balita. RPTRA menjadi semacam community center bagi masyarakat sekitarnya sebab dibangun di area yang dekat dengan perkampungan. Dana untuk membangun RPTRA tidak diambil dari APBD DKI Jakarta melainkan dari perusahaan-perusahaan lewat dana CSR (Corporate Social Responsibility) mereka. Perusahaan yang mendanai diperbolehkan memasang nama perusahaannya di samping papan nama “RPTRA” tersebut. Bagi yang tidak mengerti dan sinis terhadap hasil karya Pemprov DKI ini, mereka menuduh antara Pemprov DKI dan pengusaha “ada udang di balik rempeyek”.
Salah satu RPTRA yang sangat fenomenal adalah RPTRA Kalijodo, karena dibangun “bagai sulapan” dari kompleks prostitusi tertua di Jakarta hanya dalam waktu 1 tahun. Per Januari 2017, jumlah RPTRA yang sudah dibangun oleh Pemprov DKI sebanyak 186, dan jumlah ini akan terus ditambah agar Jakarta sebagai kota metropolitan tidak terkesan garang tetapi ramah, aman dan nyaman.
***
Serpong, Mar 2017
Titus J.

1 comment:

BeritaBolaTerbaru said...

Terima kasih min informasinya ... Salam Satu Hobi dan Sukses Selalu ya gan !
Update terus gan artikelnya ... sangat bermanfaat untuk banyak orang ..

Baca Juga : Bolanewsports.com Indonesia, Matthijs de Ligt tanggapi rumor yang menyebutkan dia menolak tawaran Paris Saint Germain sebab masalah negosiasi gajinya. Namun, ia ungkapkan uang bukanlah alasan bek baru Juventus itu.

Sesudah sudah sempat jadi pertaruhan sepanjang sekian waktu, teka-teki masalah dengan masa depan De Ligt pada akhirnya terjawab. Bek berumur 19 tahun itu pada akhirnya tinggalkan Ajax untuk berlabuh di Juventus dengan nilai transfer 75 juta euro. Baca Selengkapnya di : https://bolanewsports.com/di-anggap-mata-duitan-ini-tanggapan-matthijs-de-ligt/

S128 | SV388 | KUNGFU CHICKEN

Slot Deposit Via LinkAja | Sabung Ayam Deposit Via LinkAja | Taruhan Bola Deposit Via LinkAja

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...