**Renungan Jumat Agung**
Film yang
disutradarai oleh Mel Gibson itu adalah film yang jujur seperti sebuah cermin.
Layaknya cermin, ia merefleksikan wajah kita dengan sebenar-benarnya. Sebuah cermin
memberitahu kita apa adanya, jadi jika kita melihat wajah kita buruk, tak perlu
cerminnya dibelah. Setelah menonton film itu, perasaan kita campur-aduk.
Sebagian adegan membuat kita marah, dan bagian lainnya meremas-remas hati kita
dan membuat kita meneteskan air mata. Film itu mengajak kita untuk merenung
tentang penderitaan Yesus Kristus dan siapakah diri kita sebenarnya.
Adakah tokoh
dalam film itu yang menggambarkan diri kita? Siapakah tokoh yang kita perankan
dalam kehidupan nyata sekarang? Petruskah? Yudas? Maria? Maria Magdalena?
Pilatus? Prajurit Romawi? Barabas? Ahli Taurat atau imam (ulama)?
Mungkin kita
mengejek Petrus yang sebelumnya begitu patriotik namun pada satu episode
hidupnya ia bersikap pengecut. Nyalinya mendadak ciut setelah Yesus ditangkap
dan dibawa ke hadapan imam besar. Ia mengatakan “Aku tidak kenal Dia” ketika
seorang mengenalinya sebagai salah satu murid Yesus. Belum apa-apa Petrus sudah
gemetar. Ia menyangkal sampai tiga kali dan baru sadar setelah ayam berkokok. Padahal
sebelumnya ia berkata dengan sok jago, “Sekalipun aku harus mati bersama-sama
Engkau, aku tak akan menyangkal-Mu.”
“Seandainya
aku Petrus, aku tak akan menyangkal guruku sendiri,” demikian mungkin kita
berkata dalam hati kita.
Mungkin kita
ingin meludahi muka Yudas Iskariot yang mata duitan itu, karena hanya demi
tigapuluh syikal perak ia menjual Yesus. Harga tigapuluh syikal perak itu
sendiri merupakan harga seorang budak (seperti yang ditulis dalam kitab
Keluaran 21:32). Jadi betapa hinanya Yudas memperlakukan gurunya. Mungkin kita
“agak memaafkan” Yudas seandainya ia menjual Yesus dengan harga mahal, karena
bisa jadi ia tergoda uang suap yang jumlahnya milyaran (uang sekarang). Tetapi
uang receh sejumlah itupun nyatanya telah membutakan matanya. Ya ampun… betapa greedy-nya Yudas itu, sampai recehan pun
diembat.
“Seandainya
aku Yudas, aku tak akan menjual guruku sendiri. Aku takkan korupsi, berapapun
harga yang ditawarkan oleh imam-imam anggota mahkamah agama itu,” demikian
mungkin kita berkata dalam hati kita.
Mungkin kita
ingin menampar Pilatus, karena sebagai seorang Gubernur yang memiliki kuasa
untuk membebaskan atau menghukum orang, ia mencla-mencle. Pilatus mengerti
benar bahwa para ulama Yahudi itu menyerahkan Yesus karena dengki. Ia
mondar-mandir di atas balkon, masuk ke dalam menanyai Yesus, lalu keluar menjawab
para ulama, bahkan sampai beberapa kali bolak-balik keluar-masuk dalam
keraguan. Di ujung persimpangan jalan, setelah ia menyelidik Yesus dengan
seksama, ia sudah punya keyakinan, kemudian berseru kepada orang banyak, “Aku
tidak menemukan kesalahan apapun pada diri-Nya.”
Tetapi apa daya, massa
meresponnya dengan prinsip “Pokoknya”. Pokoknya Yesus harus mati, tak perlu
tanya alasannya. Dia adalah penghujat, penista, dan menurut hukum Taurat, Dia
harus dihukum mati. Pilatus yang harusnya tahu bahwa soal hujat-menghujat tidak
bisa diadili olehnya, akhirnya tunduk kepada teriakan massa yang makin keras
menuntut Yesus dihukum mati. Lalu Pilatus mengambil baskom berisi air, dan
sambil mencuci tangan ia berkata kepada orang banyak, “Aku tidak bersalah atas
darah Orang ini, itu urusanmu sendiri.”
“Seandainya
aku Pilatus, aku tak akan cuci tangan, apapun risiko politiknya atas kedudukanku
atau jabatanku, aku siap mempertanggung-jawabkan. Gila! Siapa mereka? Aku tak
mungkin tunduk kepada tekanan massa,” demikian mungkin kita berkata dalam hati
kita.
Mungkin kita
ingin menonjok mulut para ahli Taurat dan imam-imam kepala, yang dengan
kebencian dan amarah membara menghasut rakyat untuk berdemonstrasi di hadapan
Pilatus menuntut agar Yesus dihukum mati. Para ahli agama itu hafal ayat-ayat
dan mengerti luar kepala isi hukum Taurat, tetapi pengetahuannya justru membawa
mereka kepada kemunafikan. Sudah tiga setengah tahun terakhir ini mereka menahan
geram karena kalah pamor. Banyak orang rela antri dan berdesak-desakan untuk melihat
Yesus dan mendengar-Nya berkhotbah (kalau jaman dulu sudah ada smartphone, mungkin rakyat Yahudi itu rebutan
selfie dengan Yesus) - sedangkan rakyat
yang mau mendengarkan para ulama itu makin lama makin habis karena (mungkin)
khotbah mereka yang tidak menarik, dan oleh sebab rakyat tahu bahwa para
pemimpin agama mereka itu mengelabuhi mereka dengan jubah putih dan doa yang
panjang-panjang.
Selain itu,
gara-gara Yesus penghasilan para ulama itu menurun drastis, salah satunya yang
paling ngedrop adalah bisnis sertifikasi halal untuk hewan kurban yang mereka
lakukan di bait Allah, yang beberapa hari sebelumnya diobrak-abrik oleh Yesus
sambil mengatakan, “Rumah-Ku adalah rumah doa bagi segala bangsa, tetapi kamu
menjadikannya sarang penyamun.”
Sudah terlalu
sering para ulama itu mencari-cari kesalahan Yesus, tetapi tak setitik pun bisa
didapatkan. Dalam soal tanya-jawab pun, para ulama itu seringkali menanggung
malu di hadapan rakyat, karena jawaban cerdas Yesus yang membuat mereka tak
berkutik. Ilmu apalagi yang harus mereka keluarkan selain menuduh Dia sebagai
Si Penghujat?
“Seandainya
aku ahli Taurat atau imam, aku akan bersikap rendah hati, bahkan dengan ilmu
agamaku mungkin aku akan mengajak rakyat untuk belajar lebih banyak lagi
dari-Nya – tentang kasih, tentang kerendah-hatian, tentang pengorbanan,”
demikian mungkin kita berkata dalam hati kita.
Apakah kita
akan memilih peran yang lainnya karena tak satu peran pun kita inginkan sebab semuanya
berkarater buruk?
Jujurkah hati
kita seandainya kita berada di saat itu, dan kita tidak akan bersikap pengecut
seperti Petrus? Benarkah kita bukan pengkhianat seperti Yudas Iskariot yang
menyerahkan gurunya dengan ciuman? Yakinkah kita bahwa kita bukan seorang pemimpin
mencla-mencle seperti Pilatus yang membunuh kebenaran demi kekuasaan? Apakah
kita juga bukan penghasut munafik seperti ahli-ahli Taurat dan imam-imam yang menjual
agama demi keuntungan pribadi?
Lalu aku melihat Barabas, seorang penjahat dan pemberontak, yang
oleh Pilatus dilakukan subsitusi demi menghukum mati Yesus. Substitusi itu
telah menggoreskan sejarah Jumat Agung dimana Barabas si pendosa itu dibebaskan,
dan Yesus yang suci itu disalibkan.
Aku mengutuki Barabas, oleh karena si bedebah itulah Yesusku disalibkan.
Dalam kemarahan dan murka menyala aku mengambil cermin, memegangnya tepat di depan wajahku. Saat itulah aku melihat wajah Barabas di cermin itu.
Dalam kemarahan dan murka menyala aku mengambil cermin, memegangnya tepat di depan wajahku. Saat itulah aku melihat wajah Barabas di cermin itu.
“But he
was pierced for our transgressions, he was crushed for our iniquities;
the punishment that brought us peace was on him, and by his wounds we are healed.
We all, like sheep, have gone astray, each of us has turned to our own way;
the punishment that brought us peace was on him, and by his wounds we are healed.
We all, like sheep, have gone astray, each of us has turned to our own way;
and the Lord has laid on him the iniquity of us all.” (Isaiah
53:5-6)
***
Serpong, 9
Apr 2017
Titus J.
No comments:
Post a Comment