Sunday, April 9, 2017

Wajah Barabas di Cermin Kita

**Renungan Jumat Agung**

Mungkin sudah lama kita tak memutar film “The Passion of The Christ”. Walaupun sudah lebih dari 12 tahun sejak film itu diluncurkan pada 2004, apa yang digambarkan di film itu tetap relevan, dan kita perlu mengenangnya kembali menjelang Jumat Agung beberapa hari lagi.

Film yang disutradarai oleh Mel Gibson itu adalah film yang jujur seperti sebuah cermin. Layaknya cermin, ia merefleksikan wajah kita dengan sebenar-benarnya. Sebuah cermin memberitahu kita apa adanya, jadi jika kita melihat wajah kita buruk, tak perlu cerminnya dibelah. Setelah menonton film itu, perasaan kita campur-aduk. Sebagian adegan membuat kita marah, dan bagian lainnya meremas-remas hati kita dan membuat kita meneteskan air mata. Film itu mengajak kita untuk merenung tentang penderitaan Yesus Kristus dan siapakah diri kita sebenarnya.

Adakah tokoh dalam film itu yang menggambarkan diri kita? Siapakah tokoh yang kita perankan dalam kehidupan nyata sekarang? Petruskah? Yudas? Maria? Maria Magdalena? Pilatus? Prajurit Romawi? Barabas? Ahli Taurat atau imam (ulama)?

Mungkin kita mengejek Petrus yang sebelumnya begitu patriotik namun pada satu episode hidupnya ia bersikap pengecut. Nyalinya mendadak ciut setelah Yesus ditangkap dan dibawa ke hadapan imam besar. Ia mengatakan “Aku tidak kenal Dia” ketika seorang mengenalinya sebagai salah satu murid Yesus. Belum apa-apa Petrus sudah gemetar. Ia menyangkal sampai tiga kali dan baru sadar setelah ayam berkokok. Padahal sebelumnya ia berkata dengan sok jago, “Sekalipun aku harus mati bersama-sama Engkau, aku tak akan menyangkal-Mu.”

“Seandainya aku Petrus, aku tak akan menyangkal guruku sendiri,” demikian mungkin kita berkata dalam hati kita.

Mungkin kita ingin meludahi muka Yudas Iskariot yang mata duitan itu, karena hanya demi tigapuluh syikal perak ia menjual Yesus. Harga tigapuluh syikal perak itu sendiri merupakan harga seorang budak (seperti yang ditulis dalam kitab Keluaran 21:32). Jadi betapa hinanya Yudas memperlakukan gurunya. Mungkin kita “agak memaafkan” Yudas seandainya ia menjual Yesus dengan harga mahal, karena bisa jadi ia tergoda uang suap yang jumlahnya milyaran (uang sekarang). Tetapi uang receh sejumlah itupun nyatanya telah membutakan matanya. Ya ampun… betapa greedy-nya Yudas itu, sampai recehan pun diembat.

“Seandainya aku Yudas, aku tak akan menjual guruku sendiri. Aku takkan korupsi, berapapun harga yang ditawarkan oleh imam-imam anggota mahkamah agama itu,” demikian mungkin kita berkata dalam hati kita.

Mungkin kita ingin menampar Pilatus, karena sebagai seorang Gubernur yang memiliki kuasa untuk membebaskan atau menghukum orang, ia mencla-mencle. Pilatus mengerti benar bahwa para ulama Yahudi itu menyerahkan Yesus karena dengki. Ia mondar-mandir di atas balkon, masuk ke dalam menanyai Yesus, lalu keluar menjawab para ulama, bahkan sampai beberapa kali bolak-balik keluar-masuk dalam keraguan. Di ujung persimpangan jalan, setelah ia menyelidik Yesus dengan seksama, ia sudah punya keyakinan, kemudian berseru kepada orang banyak, “Aku tidak menemukan kesalahan apapun pada diri-Nya.” 

Tetapi apa daya, massa meresponnya dengan prinsip “Pokoknya”. Pokoknya Yesus harus mati, tak perlu tanya alasannya. Dia adalah penghujat, penista, dan menurut hukum Taurat, Dia harus dihukum mati. Pilatus yang harusnya tahu bahwa soal hujat-menghujat tidak bisa diadili olehnya, akhirnya tunduk kepada teriakan massa yang makin keras menuntut Yesus dihukum mati. Lalu Pilatus mengambil baskom berisi air, dan sambil mencuci tangan ia berkata kepada orang banyak, “Aku tidak bersalah atas darah Orang ini, itu urusanmu sendiri.”

“Seandainya aku Pilatus, aku tak akan cuci tangan, apapun risiko politiknya atas kedudukanku atau jabatanku, aku siap mempertanggung-jawabkan. Gila! Siapa mereka? Aku tak mungkin tunduk kepada tekanan massa,” demikian mungkin kita berkata dalam hati kita.

Mungkin kita ingin menonjok mulut para ahli Taurat dan imam-imam kepala, yang dengan kebencian dan amarah membara menghasut rakyat untuk berdemonstrasi di hadapan Pilatus menuntut agar Yesus dihukum mati. Para ahli agama itu hafal ayat-ayat dan mengerti luar kepala isi hukum Taurat, tetapi pengetahuannya justru membawa mereka kepada kemunafikan. Sudah tiga setengah tahun terakhir ini mereka menahan geram karena kalah pamor. Banyak orang rela antri dan berdesak-desakan untuk melihat Yesus dan mendengar-Nya berkhotbah (kalau jaman dulu sudah ada smartphone, mungkin rakyat Yahudi itu rebutan selfie dengan Yesus) - sedangkan rakyat yang mau mendengarkan para ulama itu makin lama makin habis karena (mungkin) khotbah mereka yang tidak menarik, dan oleh sebab rakyat tahu bahwa para pemimpin agama mereka itu mengelabuhi mereka dengan jubah putih dan doa yang panjang-panjang.

Selain itu, gara-gara Yesus penghasilan para ulama itu menurun drastis, salah satunya yang paling ngedrop adalah bisnis sertifikasi halal untuk hewan kurban yang mereka lakukan di bait Allah, yang beberapa hari sebelumnya diobrak-abrik oleh Yesus sambil mengatakan, “Rumah-Ku adalah rumah doa bagi segala bangsa, tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun.”

Sudah terlalu sering para ulama itu mencari-cari kesalahan Yesus, tetapi tak setitik pun bisa didapatkan. Dalam soal tanya-jawab pun, para ulama itu seringkali menanggung malu di hadapan rakyat, karena jawaban cerdas Yesus yang membuat mereka tak berkutik. Ilmu apalagi yang harus mereka keluarkan selain menuduh Dia sebagai Si Penghujat?

“Seandainya aku ahli Taurat atau imam, aku akan bersikap rendah hati, bahkan dengan ilmu agamaku mungkin aku akan mengajak rakyat untuk belajar lebih banyak lagi dari-Nya – tentang kasih, tentang kerendah-hatian, tentang pengorbanan,” demikian mungkin kita berkata dalam hati kita.

Apakah kita akan memilih peran yang lainnya karena tak satu peran pun kita inginkan sebab semuanya berkarater buruk?

Jujurkah hati kita seandainya kita berada di saat itu, dan kita tidak akan bersikap pengecut seperti Petrus? Benarkah kita bukan pengkhianat seperti Yudas Iskariot yang menyerahkan gurunya dengan ciuman? Yakinkah kita bahwa kita bukan seorang pemimpin mencla-mencle seperti Pilatus yang membunuh kebenaran demi kekuasaan? Apakah kita juga bukan penghasut munafik seperti ahli-ahli Taurat dan imam-imam yang menjual agama demi keuntungan pribadi?

Lalu aku melihat Barabas, seorang penjahat dan pemberontak, yang oleh Pilatus dilakukan subsitusi demi menghukum mati Yesus. Substitusi itu telah menggoreskan sejarah Jumat Agung dimana Barabas si pendosa itu dibebaskan, dan Yesus yang suci itu disalibkan.

Aku mengutuki Barabas, oleh karena si bedebah itulah Yesusku disalibkan.

Dalam kemarahan dan murka menyala aku mengambil cermin, memegangnya tepat di depan wajahku. Saat itulah aku melihat wajah Barabas di cermin itu.

“But he was pierced for our transgressions, he was crushed for our iniquities;
the punishment that brought us peace was on him, and by his wounds we are healed.
We all, like sheep, have gone astray, each of us has turned to our own way;
and the Lord has laid on him the iniquity of us all.” (Isaiah 53:5-6)

***
Serpong, 9 Apr 2017
Titus J.

No comments:

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...