Saturday, August 30, 2008

Dul


Pantaslah jika saya mengagumi pelayan restoran, profesi yang begitu mempesona bagi saya. Apa yang dikerjakannya semata-mata adalah melayani. Mulai dari menyambut tamu/pelanggan, menawarkan menu, menjelaskan setiap menu dan content-nya, mencatat pesanan, menyerahkan catatan pesanannya ke belakang (kitchen) kemudian menyajikan pesanan yang sudah siap kepada kita. Tidak pernah tidak bahwa semua dilakukannya dengan ramah dan tersenyum.

Jika makanan yang kita pesan cocok dengan selera kita, dan hati kita gembira dibuatnya, maka kita sering lupa untuk mengucapkan terimakasih. Tapi jika sebaliknya yang terjadi, tak ayal pelayan tersebut menjadi sasaran kekesalan kita. Padahal, urusan enak atau tidak enak sebuah masakan bukan urusan si pelayan, bukan? Tapi kita tidak pernah mau tahu. Pendeknya, seorang pelayan harus selalu ada di dekat kita, untuk disuruh, dan tentunya, untuk dimarahi.

Di kantor saya ada seorang yang bekerja sebagai pelayan, bahasa kerennya Office Boy (OB). Saya tidak tahu nama lengkapnya. Yang saya tahu teman-teman memanggilnya “Dul.” Pagi-pagi ketika belum seorangpun sampai di kantor, Dul sudah datang kemudian melakukan tugas rutinnya: menyapu dan mengepel lantai, mengelap meja-kursi-kaca jendela dsb. Setelah itu Dul menyiapkan gelas-gelas minum untuk setiap karyawan dan meletakkannya di setiap meja. Dia hafal benar ini gelas dan botol siapa.

Jika satu demi satu karyawan datang, paling pertama sebelum melakukan apa-apa mereka mencari Dul, dan seperti biasa, memesan sarapan: ada yang pesan bubur, mie ayam, gorengan dan segala pernik-pernik makanan pagi. Makanan yang sudah dibeli tersebut tidak langsung diserahkannya kepada pemesannya begitu saja dalam bungkusnya, tetapi Dul akan menatanya di meja makan, rapi, lengkap dengan piring, sendok, garpu dan segelas air minum. Belajar table manner darimana si Dul ini? Setelah itu barulah Dul menghampiri meja pemesannya dan berkata: “Pak, Bu, sarapan sudah siap.”

Lalu kami menikmati sarapan kami sambil ngobrol kesana-kemari. Tetapi, sudah sarapankah si Dul ini?

Jika siang sudah tiba, Dul akan mendatangi kami satu persatu dan menanyakan: “Pak, Bu, mau pesan makan siang apa?” Lalu masing-masing kami akan menyebutkan makanan yang kami inginkan dan Dul mencatatnya. Setelah uang terkumpul, Dul akan keluar, men-start sepeda motor butut inventaris kantor dan melaju menuju restoran atau kantin langganan. Tak berapa lama kemudian Dul datang, lalu menyiapkan segala sesuatunya persis seperti ritual sarapan pagi itu, lalu menghampiri setiap meja dan berkata: “Pak, Bu, makan siang sudah siap.” sambil menyerahkan uang kembalian masing-masing.

Menu makanan akan tepat persis seperti pesanan kami, tidak ada yang meleset, kecuali kalau menu tertentu kehabisan maka Dul akan menggantinya dengan menu lain yang kira-kira sesuai dengan selera kami, misalkan kalau untuk saya si Dul tidak akan menggantinya dengan makanan pedas.

Saya jadi ingat cerita istri saya dulu, ketika dia masih bekerja di sebuah developer property di Jakarta. Jika dia atau teman-temannya menyuruh OB mereka membelikan makan siang, mereka tentu akan memberikan uang lebih dengan pesan agar uang lebihnya tersebut untuk si OB beli makan siang juga. Tapi apa yang terjadi? Si OB tersebut kembali dengan membawa 2 bungkus nasi, satu untuk yang pesan dan yang lainnya untuk dirinya sendiri. Tetapi yang lucu adalah ketika bungkusan dibuka, menu untuk si OB akan selalu lebih mewah daripada menu kepunyaan yang menyuruh, ha..ha..ha.. Misalkan kalau punya istri saya hanya sayur kacang-panjang, sepotong tempe, bakwan jagung dan sambal, punya si OB terdiri atas ayam goreng dan telur dadar. Ha..ha..ha.. lucu sekali.

Tidak demikian dengan Dul. Kami tidak membiasakan untuk memberinya “upah”. Menurut saya akan lebih baik demikian. Jadi jangan sampai terjadi OB menjadi rajin karena selalu diberi upah, toh bentuk terimakasih bisa diwujudkan dalam bentuk lain, bukan? Saya cenderung memberi sesuatu kepadanya bukan setelah saya suruh, tetapi pada waktu-waktu lain yang tidak ada hubungannya dengan suatu pekerjaan yang saya suruh kerjakan.

Seperti biasa setelah Dul kembali membawa bungkusan-bungkusan pesanan makan siang kami, kami berkumpul di meja makan oval besar, menikmati makan siang kami sambil ngobrol reriungan kesana-kemari. Ketika kami makan, Dul sibuk di pantry menyiapkan buah seperti irisan melon atau jus strawberry untuk pencuci mulut-mulut kami yang beraroma ikan, ayam, daging, bahkan…sambal terasi. Tetapi, sudah makan siangkah si Dul ini?

Suatu siang waktu saya mau menyantap makan siang saya, Dul yang sedang sibuk mengupas melon saya tanya: “Dul, kamu sudah makan ?” Dul, dengan gayanya yang lugu sambil meringis menjawab, “Hmm…entar aja, Pak…” Saya tersenyum dan menggumam, “Ohh, mungkin Dul mendahulukan melayani kami sampai semua beres dulu.” Tetapi setelah meja makan beres dan kembali rapi, saya tidak pernah (atau belum pernah) melihat Dul makan siang juga. Dia terus sibuk disuruh kami mengerjakan ini-itu misalkan mengangkat barang, foto kopi dokumen, transfer ke bank, dsb.

***

Pantaslah kalau saya mengagumi seorang pelayan, entah pelayan kantor ataupun pelayan restoran. Sebuah profesi yang kita pandang rendah itu, tapi yang sekaligus juga mulia itu. Kita tidak pernah tahu apakah pelayan restoran itu sudah mengisi perutnya dan kenyang waktu melayani kita. Yang kita tahu hanya kita datang sebagai tamu untuk dilayani sebaik-baiknya. Dan pelayan selalu kita tuntut tanpa alasan untuk selalu sigap dan cekatan jika kita meminta sesuatu, sampai kita puas makan, kemudian kita pergi, kadang-kadang dengan meninggalkan tips ala kadarnya, kadang-kadang tidak.

Sering ketika saya diajak teman atau kolega makan di sebuah restoran mewah, sebuah restoran di hotel berkelas, yang menu makanannya 75% tidak saya mengerti sama sekali, dan melihat harganya yang terpampang di buku menu, seperti ada suatu rasa yang aneh yang timbul di hati, ketika melihat si pelayan yang sabar melayani dan menjawab setiap pertanyaan kita. Timbul, selalu timbul sebuah pertanyaan, “Apakah dia sudah makan?” Atau sebuah pertanyaan lain, “Sudah pernahkah dia mencicipi menu yang mahalnya luar biasa itu?”

Jangan pernah sangkakan ada rasa kepengin di hati pelayan itu untuk mencicipinya walau hanya setetes atau sesuap. Tidak, seorang pelayan takkan berani untuk itu. Dia tahu diri. Saya tidak pernah melihat pelayan yang menelan air liurnya. Jangan remehkan seorang pelayan dengan merasa bahwa kita lebih terhormat, karena terhormat atau tidak bukanlah soal uang. Bisa jadi seorang pelayan lebih terhormat daripada seorang tamu yang memesan makanan berlimpah-limpah tapi tidak sanggup menghabiskannya karena tidak menyadari bahwa ukuran perutnya cuma sejengkal. Bisa jadi seorang penyapu jalan lebih terhormat daripada seorang bermobil BMW yang membuka jendela mobilnya dan melemparkan tisu atau kulit kacang beterbangan di jalan raya.

Selalu di setiap restoran mewah, timbul dan selalu timbul rasa yang aneh di hati ketika menu-menu yang aneh dengan hiasan-hiasan yang aneh itu disajikan, lalu lidah saya merasakan dan menikmati suap demi suap diiringi musik yang lembut untuk menambah selera, sampai suap terakhir. Dan rasa aneh itu makin menjadi-jadi ketika seusai makan billing disodorkan. Melihat angkanya, rasanya gaji sebulan pelayan itu masih terlalu kecil jika dibandingkan dengan yang teman saya bayarkan untuk makan satu kali pada waktu itu.

Masihkah kita menggerutu dengan pekerjaan kita, dan memprotes besaran gaji kita dengan alasan tidak cukup, lalu mencoba membenarkan diri dengan korupsi atas nama kebutuhan? Sedangkan si Dul dengan seorang istri dan satu anak tetap konsisten melayani dengan jujur, mencukupkan dirinya dengan gaji sebulan, yang besarannya masih lebih kecil daripada apa yang kita bayarkan untuk makan satu kali di restoran yang berkelas itu?

Serpong, 30 Agustus 2008
Titus J.

2 comments:

Anonymous said...

pesannya dalam euy... :-)

Anonymous said...

Sehabis membaca "Cerita" ini tambah kepikiran kalau puasa yang saya jalani ini nggak seberapa,dibanding puasanya si Dul (yang bukan anak sekolahan). Tus, terimakasih untuk sebuah "reminder" yang enak dibaca

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...