“Oh God, I don’t love you, I don’t even want to love you, but I want to want to love you.” --Teresa of Avila
Tidak mudah
untuk menolak cinta, ternyata.
Apalagi yang
menyatakan cinta adalah Tuhan.
Banyak orang
menghindari cinta Tuhan, menolak untuk mencintai Tuhan, dan tidak ingin
mencintai Tuhan, bukan karena mereka orang jahat, tetapi karena cinta Tuhan
adalah cinta yang paling sulit untuk dipahami.
Melibatkan diri
dalam cinta Tuhan, barangkali bagi mereka, hanya membuang-buang waktu saja,
karena toh tidak akan bisa memahaminya.
Bagaimana kita
memahami cinta kepada seorang penjahat, penjahat yang selama hidupnya hanya
berbuat jahat, tetapi pada satu menit terakhir sebelum ajal, kepadanya justru
disediakan Firdaus tanpa perbuatan baik apapun yang pernah dilakukannya?
Bagaimana kita
memahami cinta kepada seorang yang brutal dan ganas, yang menjadi penganiaya
orang-orang yang berdoa kepada Tuhan, tetapi pada suatu ketika ia malah dipilih
menjadi utusan-Nya, menjadi rasul-Nya?
Bagaimana kita
memahami cinta kepada seorang pelacur, yang dianggap najis oleh para pemuka
agama, yang oleh masyarakat ditempel label “perempuan berdosa”, tetapi justru kepada
perempuan ini Ia menyatakan “dosamu sudah diampuni” hanya karena perempuan ini
menuang minyak wangi di kaki-Nya dan menyekanya dengan rambutnya?
Dan bagaimana
kita memahami cinta yang suatu ketika datang, mengetuk pintu rumah kita, lalu
berkata, “Tubuhmu penuh luka, biarkan Aku membalutnya, merawatnya, dan
memulihkannya.” Ia datang tanpa kita minta dan harapkan, lalu ketika kita
menolak-Nya, Ia justru mengambil luka-luka kita, karena Ia tahu jika luka itu dibiarkan,
maka kita akan mati. Lalu Ia mati oleh luka kita itu.
Sungguh sulit
untuk menerima kenyataan cinta semacam itu, sehingga banyak orang memilih lebih
baik tidak menanggapinya, apalagi membalas mencintai-Nya.
“Tuhan, aku
tidak mencintai-Mu. Aku bahkan tidak ingin mencintai-Mu. Tetapi aku ingin
mempunyai keinginan untuk mencintai-Mu,” kata Teresa dari Avila.
Keinginan untuk
mencintai Tuhan, barangkali sudah lebih dari cukup, bagi orang yang sama sekali
tidak pernah mencintai-Nya karena tidak bisa memahami cinta-Nya.
Alkisah, ada
sebuah cerita kuno tentang anak durhaka.
Ah, bukan,
bukan kisah tentang anak durhaka, tetapi tentang cinta seorang ayah.
Suatu hari,
anak itu ingin pergi ke tempat yang jauh untuk bersenang-senang, pelesir,
foya-foya. Dan untuk merealisasikan keinginannya, ia perlu sekarung uang. Ia
tahu, ayahnya yang kaya raya akan memberi apa yang ia minta. Tetapi ia tidak
mau hanya meminta uang secukupnya sebagai ‘sangu’ bepergian, atau sekadar uang
untuk membeli tiket, hotel, makan, dan transportasi saja. Kurang banyak. Ia
akan meminta warisan yang menjadi haknya.
Anak itu sudah
lama menunggu ayahnya keluar dari kamarnya. Karena tak sabar ia pun mengetuk
pintu.
"Aku minta
warisanku sekarang, Ayah," kata anak itu. Betapa sebuah permintaan yang
kurang ajar. Tersirat ia berharap ayahnya untuk lekas berpulang (karena warisan
dibagi setelah orang tua meninggal, dengan sebuah wasiat).
Ayahnya hanya
membatin dengan nelangsa, dan berpikir bahwa anaknya itu tidak mengerti apa
yang ia perbuat. Tetapi karena cintanya maka ia pun masuk ke kamar, membuka
brankas, lalu menyerahkan setengah dari kekayaannya kepada anaknya yang
menunggu di depan pintu kamarnya dengan mata terbelalak. Setengah dari hartanya
disimpan untuk anak satunya lagi.
Tanpa bicara
apa-apa anak itu merenggut sekarung uang itu, lalu pergi. Ia menuju kota besar
dan mengejar kenikmatan dengan mabuk, berjudi, dan bersenang-senang dengan
perempuan, hingga suatu hari ketika ia merogoh karung uangnya, ia hanya
menangkap angin. Ia membalik karung itu dan mengibaskannya, tetapi hanya debu
yang tersisa.
Di kota yang ramai
itu ia pun menggelandang. Usus perutnya yang terbiasa dengan makanan mewah
mulai meremas-remas lambungnya. Ia mengemis kepada pemilik peternakan babi,
tetapi bahkan ampas yang menjadi sisa makanan babi pun tak boleh ia cicipi
untuk meredakan laparnya.
Maka
teringatlah ia akan ayahnya, ayahnya yang sabar, ayahnya yang penuh pengertian.
Teringatlah ia bagaimana mata ayahnya menatapnya dengan sendu ketika melepasnya
pergi. Ia menangis sesenggukan seperti anak kecil. Batinnya bergolak antara
pulang atau tidak. Tetapi tatapan mata ayahnya seakan memanggilnya, seperti
berbicara, “Ayah tetap mencintaimu, Nak, segembel apapun keadaanmu.”
Di teras
rumahnya itu ayahnya setiap hari menunggu.
Jika malam
tiba, dan jalanan sudah kosong dan sepi, ayahnya menutup pintu seraya berharap
tengah malam ada ketukan pintu. Ia akan melompat dari tempat tidurnya dan
bergegas membukanya karena ia akan melihat wajah anaknya lagi. Juga di waktu
pagi setelah ia bangun dari tidur, lekas-lekas dibukanya pintu rumahnya lebar-lebar,
tanda bahwa hatinya juga begitu lebar untuk menyambut anaknya, bila anaknya
pulang nanti.
"Ia tak
kan kembali," kata tetangganya di sebelah kiri rumahnya.
“Lupakan saja
anakmu, toh ia sudah kurang ajar kepadamu, bukan?” sahut tetangganya di sebelah
kanan rumahnya.
“Benar, tidak
ada ruginya hilang satu anak durhaka. Anggap saja seperti membuang telor
busuk,” teriak tetangganya di seberang rumahnya.
Tetapi ayahnya
bergeming. Hingga suatu sore ia melihat seseorang berjalan terseok-seok,
berpakaian gembel. Tetapi dari jauh ayahnya sudah mengenalinya. “Tak salah
lagi,” pikirnya. Ia melompat kegirangan seperti anak kecil.
Ayah yang sudah
tua itu berlari. Ia lupa kasutnya ketinggalan di teras rumahnya. Ia juga lupa
bahwa dirinya adalah orang kaya yang terhormat, yang pantang untuk berlari
seperti itu karena akan dicibir orang. Tetapi ia tak peduli. Ia hanya ingin
berlari karena tidak sabar untuk menjemput anaknya dan menumpahkan
kerinduannya.
"Ampunilah
aku, Ayah, aku sudah durhaka...," kata anaknya tersedu-sedu.
"Sudahlah,
anakku," kata ayahnya sambil memeluknya, tak peduli bau gembel menyengat.
"Aku tak
layak menjadi anakmu, Ayah. Aku pulang untuk menjadi orang upahanmu. Itu sudah
cukup bagiku," katanya dengan tangis lebih keras.
"Jangan
katakan begitu, Nak. Kau tetap anakku apapun keadaanmu," jawab ayahnya sambil
menyapu air mata anaknya.
Anak itu seakan
tak ingin melepaskan pelukan ayahnya.
"Ambilkan
baju baru untuknya," perintah ayahnya kepada hamba-hambanya yang tertegun
memandangi. Maka bergegaslah mereka melayani anak itu hingga ia selesai mandi
dan berurap. Ayahnya lalu menyiapkan pesta.
Sesaat sebelum
rebana ditabuh, ayahnya mengambil cincin termahal lalu mengenakannya pada jari
manis anaknya itu.
Dipeluknya anak
itu lagi, seakan belum tuntas ia menumpahkan kerinduannya yang sudah menumpuk. Pelukan
ayah yang tua itu mengalahkan kedurhakaan. Ia begitu bersukacita, dan kepada
siapapun ia selalu mengatakan, “Anakku yang hilang telah kembali, anakku yang
mati telah hidup kembali.”
Anaknya yang
sudah berdandan, wangi dan mengenakan cincin itu sudah kembali tinggal di rumah
ayahnya. Ia kembali menikmati keindahan rumah bersama ayahnya. Ia menikmati
cinta ayahnya yang bertimbun-timbun dan tak pernah habis.
Tetapi apakah ia
memahami cinta ayahnya?
Bisakah ia membalas
cinta ayahnya?
Memang tidak
mudah untuk menolak cinta, apalagi yang mencintai adalah Allah. Karena kekuatan
cinta-Nya akan terus memanggil-manggil, bahkan semakin kuat memanggil ketika
kita semakin berdosa.
“Dan dimana
dosa bertambah banyak, disana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah.” (Roma 5:20b)
***
Serpong, Nov
2022
Titus J.
No comments:
Post a Comment