Tiada seorang pun manusia di dunia ini yang kedekatannya dengan Tuhan melebihi Musa.
Jaraknya
melebihi dekat. Sejarak nafas dengan hembusannya. Sejarak nadi dengan
denyutannya.
Ia begitu intim
dengan Tuhannya.
Tuhan sendiri
yang menyatakan bahwa keintiman-Nya dengan Musa melebihi nabi-nabi manapun.
“Aku bicara
dengan nabi melalui penglihatan, melalui mimpi, tetapi dengan Musa aku bicara berhadap-hadapan.
Hanya dia yang boleh memandang rupa-Ku,” kata Tuhan.
Itu adalah
deklarasi oleh Tuhan saat terjadi sebuah insiden di padang gurun, ketika Musa
memimpin bangsa Israel keluar dari tanah Mesir.
Kakak-kakak
Musa, yaitu Miryam dan Harun, nge-gerundel tentang Musa yang memperistri
perempuan Kush. Sebagian penafsir Alkitab mengatakan, perempuan Kush yang
dimaksud ini adalah Zipora, anak seorang imam di Midian, bukan perempuan lain (Secara
paras, orang Midian yang tinggal di padang pasir mirip dengan orang Kush).
Tetapi penafsir yang lain mengatakan bahwa perempuan Kush ini bukan Zipora
melainkan seorang perempuan dari tanah Afrika (sebuah wilayah antara Etiopia
dan Sudan pada era modern sekarang).
Gerundelan Miryam dan Harun ini bukan sekadar obrolan
ngalor-ngidul, dan apa yang mereka perbincangkan jauh daripada gerundelan
soal perempuan. Mereka memandang rendah Musa sehubungan perempuan Kush itu.
Kemudian muncullah niat yang kebablasan. Kudeta.
Upaya kudeta
ini dipertegas dengan penulisan perikop di kitab Bilangan 12, dimana insiden
itu diberi judul “Pemberontakan Miryam dan Harun”.
Mereka
menganggap bukan cuma Musa yang sanggup menjadi pemimpin, tetapi mereka juga
merasa bisa. Hal ini sebenarnya aneh, sebab gara-gara soal perempuan, mengapa yang
disasar adalah jabatan Musa sebagai pemimpin? Sepertinya soal perempuan Kush
itu hanyalah soal yang dicari-cari. Entah mengapa, Miryam dan Harun mengingini
jabatan itu dan ingin merebutnya dari tangan Musa. Padahal mereka mengerti
posisi Musa sebagai seorang yang ditunjuk oleh Allah untuk memimpin bangsa
Israel keluar dari Mesir.
“Sungguhkah Tuhan
berfirman dengan perantaraan Musa saja? Bukankah dengan perantaraan kita juga
Ia berfirman?" kata mereka. Berdua saja mereka bicara, seperti dua orang
yang rasan-rasan (kasak-kusuk, membicarakan orang lain yang sedang tidak
ada disitu).
Tetapi angin
gurun yang berhembus membawa kabar itu. Dan rasan-rasan kedua kakaknya
yang menyakitkan itu sampai juga ke telinga Musa. Tetapi Musa memilih diam. Ia
tidak mau berkonfrontasi. Mengapa? karena hatinya teramat lembut.
“Musa adalah
seorang yang sangat lembut hatinya, lebih dari semua manusia yang di atas muka
bumi.” (Bilangan 12:3). Kalimat ini ditulis setelah kalimat gerundelan
Miryam dan Harun itu.
Tampaknya Musa adalah
seorang yang melankolis, yang tidak tertarik untuk berkonfrontasi. Maka Musa
tidak ingin persoalan itu dibesar-besarkan. Ia kembali sibuk bekerja, menyelesaikan
berbagai urusan bangsa Israel.
Barangkali Musa
ingin berdoa kepada Tuhan, tetapi diurungkannya niatnya. Ia bukan type pengadu.
Lagipula mereka adalah kakak-kakaknya sendiri. Jadi ia berharap persoalan itu
akan selesai sendiri dengan mendiamkannya. “Semoga Tuhan tidak mendengar…,”
demikian mungkin pikir Musa yang lemah-lembut.
Tetapi Tuhan mendengar.
“Keluarlah kamu
bertiga ke kemah pertemuan!” perintah Tuhan kepada Miryam, Harun dan Musa.
Setelah
ketiganya berkumpul, Tuhan turun dalam tiang awan.
Lengang. Tuhan
hadir dengan wibawa-Nya yang tak terkatakan.
“Ada apa ini?”
pikir mereka. Gemetar tubuh mereka. Tetapi gemetarnya Musa serasa berbeda
dengan gemetarnya Miryam dan Harun. Gemetarnya Musa adalah karena respeknya
kepada kebesaran Tuhan. Ia sudah biasa bertemu Tuhan, sedangkan gemetarnya Miryam
dan Harun karena ketakutan setelah berbuat dosa.
Dan benar.
Setelah Tuhan berdiri di pintu kemah itu, Ia hanya memanggil Miryam dan Harun
(saja) untuk maju ke depan.
Lalu
berfirmanlah Tuhan, "Dengarlah firman-Ku ini. Jika di antara kamu ada
seorang nabi, maka Aku, Tuhan menyatakan diri-Ku kepadanya dalam penglihatan,
Aku berbicara dengan dia dalam mimpi. Bukan demikian hamba-Ku Musa, seorang
yang setia dalam segenap rumah-Ku. Berhadap-hadapan Aku berbicara dengan dia,
terus terang, bukan dengan teka-teki, dan ia memandang rupa Tuhan."
(Bilangan 12:6-8).
Derrrr!!! Firman
Tuhan itu bagai gelegar petir yang menyengat hingga memisahkan jiwa dan roh,
sendi-sendi dan sumsum.
Miryam dan
Harun pucat pasi. Mungkin tubuh mereka ambruk ke tanah karena kaki mereka
tiba-tiba lemas tak bertenaga.
Ngeri sekali.
Musa lebih
daripada nabi, kata Tuhan sendiri. Sedangkan dengan nabi saja Tuhan hanya
berbicara lewat penglihatan dan mimpi. Tetapi dengan Musa berbeda. Tuhan
berbicara langsung, berhadap-hadapan, face to face. Tuhan memperkenankan
Musa memandang wajah Tuhan.
Ingatkah kita cahaya
wajah Tuhan yang penuh kemuliaan itu sampai “menular” ke wajah Musa ketika
selama empatpuluh hari empatpuluh malam Musa berdua-duaan dengan Tuhan di atas
gunung Sinai? “Ketika Musa turun dari gunung Sinai --kedua loh hukum Allah
ada di tangan Musa ketika ia turun dari gunung itu-- tidaklah ia tahu, bahwa
kulit mukanya bercahaya oleh karena ia telah berbicara dengan Tuhan.”
(Keluaran 34:29)
Itulah
keintiman yang tak terkatakan antara Musa dan Tuhan. Keintiman itu begitu
spesial bagi-Nya. Tuhan sangat mengerti bahwa Musa berhati lembut. Musa tidak
bakal berubah menjadi ofensif. Maka Tuhan memutuskan untuk turun-tangan dan membelanya
sedemikian rupa.
“Mengapakah
kamu tidak takut mengatai hamba-Ku Musa?” tanya Tuhan kepada Miryam dan Harun.
Kalimat Tuhan
begitu tajam, menusuk amat dalam. Ada bobot kemarahan yang tertahan dalam
kalimat itu. Ada murka yang meletup pada nada bicara-Nya. Tetapi sikap Tuhan
begitu elegan.
Jadi, mungkinkah
Tuhan begitu murka jika masalahnya cuma soal perempuan, urusan perempuan Kush
itu belaka?
Miryam dan
Harun lunglai di depan kemah pertemuan itu, gemetar, seakan-akan nafasnya berhenti
menghembusi jiwanya dan darahnya berhenti mengaliri raganya.
Seandainya
mereka mengerti keintiman Musa dengan Tuhan yang sedemikian itu.
Lalu Tuhan
pergi. Tiang awan itu naik dari atas kemah, tetapi jejak wibawa Tuhan masih
terasa di tanah.
Dan tiba-tiba
sekujur tubuh Miryam memutih, penuh dengan kusta.
Ketika Harun
melihat keadaan kakak perempuannya itu, maka melolonglah suara Harun penuh
penyesalan.
“Ampunilah
kebodohan kami, Tuan…,” Harun memohon belas kasihan kepada adiknya. Lututnya
yang sudah tiada daya itu diseretnya mendekati kaki Musa.
Betapa
lembutnya hati Musa. Betapa sabar. Ia tidak membusungkan dada atas pembelaan
Tuhan di depan mata seluruh bangsa Israel. Ia tidak jumawa. Ia tidak sakit hati
kepada kakak-kakaknya. Kelembutan hatinya bagai tangan yang suci menadahkan doa
kepada Tuhan: “Sembuhkanlah dia ya Allah...”
Keintimannya
dengan Tuhan menggapai tangan Tuhan seketika itu juga, dan Tuhan mengulurkan tangan-Nya.
Lalu Tuhan menjawab, “Suruhlah ayahnya meludahi mukanya, dan biarkan dia
dikucilkan dulu selama tujuh hari, baru setelah itu terimalah ia kembali.”
Seluruh bangsa
Israel terpana.
Beberapa saat
kemudian Harun membimbing Miryam menuju tempat karantina yang dikhususkan untuk
orang-orang yang kena kusta.
Musa terdiam.
Pikirannya menerawang tatkala dari jauh ia memandang kerudung Miryam yang
melambai diterpa angin. Ia teringat cerita Yokhebed, ibunya, puluhan tahun yang
lalu, tentang kakaknya itu, yang menjaganya ketika ia masih bayi,
terapung-apung di dalam peti pandan di sungai Nil, hingga putri Firaun yang
tengah mandi mengangkatnya dari dalam air.
Walau bagaimana
pun, rasa sayangnya kepada kakaknya itu tidak pudar, hingga detik itu, hingga rambut
sama-sama sudah ubanan dan kulit sama-sama sudah keriput.
Ia memohon
kepada Tuhan untuk tidak berangkat dari tempat itu sebelum tujuh hari masa
karantina Miryam berakhir. Dan ia pun menunggu dengan sabar.
Betapa
lembutnya hatinya.
***
Serpong, Jul
2022
Titus J.
No comments:
Post a Comment