Pemikiran Dietrich Bonhoeffer
Tentang keberanian
melawan kekejaman, ketaatan terhadap panggilan, dan harga murid Kristus
Dietrich
Bonhoeffer adalah seorang Teolog Lutheran berdarah Jerman yang lahir Wroclaw, Polandia
pada 4 Februari 1906. Semasa hidupnya, ia menghabiskan waktunya untuk mendalami
teologi, mengajar, dan menulis buku. Dua bukunya yang terkenal adalah “The Cost
of Discipleship” dan “Life Together” yang ia tulis pada usia 30-an tahun.
Pada
kurun waktu menjelang pecah perang dunia ke-2 dan setelah Adolf Hitler memimpin
Nazi Jerman, Bonhoeffer menyatakan penentangannya atas gerakan anti-semitism
oleh Nazi. Ia mendirikan Confessing Church bersama dengan rekannya Martin
Niemoller dan Karl Barth dan terus menyuarakan kritikannya kepada Nazi.
Karena
kritikan-kritikannya yang tajam itu, Bonhoeffer dilarang berbicara di depan
publik bahkan dilarang mengajar di kampus. Beberapa waktu lamanya ia harus
mengajar dan berbicara secara sembunyi-sembunyi (underground). Pada tahun 1939,
ia memutuskan untuk meminta suaka ke Amerika Serikat (AS). Hanya bertahan
selama satu bulan di AS, karena ia merasa tidak sepatutnya meninggalkan
rekan-rekannya untuk berjuang sendirian di Jerman, ia memutuskan untuk pulang
ke Jerman.
Ia
mati muda pada usia 39 tahun di sebuah kamp konsentrasi Jerman di Flossenburg
karena dituduh terlibat dalam sebuah rencana pembunuhan Hitler bersama dengan
sebuah kelompok bernama Abwehr yang memiliki agenda mengakhiri kekejaman Hitler
dalam gerakan genosida atas orang-orang Yahudi.
Untuk menggali pemikiran figur intelektual muda, teolog kritis dan
pejuang anti Nazi ini, saya menyajikan wawancara
secara imajiner dengan Dietrich
Bonhoeffer, seorang tokoh yang menginspirasi dunia
kekristenan karena perjuangannya mengedepankan prinsip kebenaran dan yang
berani bersikap terhadap ketidakadilan dan kekejaman.
Berikut ini petikannya:
Titus Jonathan (TJ): Apa yang mendorong Anda berani menentang
Nazi bahkan Adolf Hitler ketika mereka sedang kuat-kuatnya berusaha menaklukkan
dunia?
Dietrich
Bonhoeffer (DB): Kekejaman
yang didasari oleh kebencian harus dihentikan. Saya seorang yang menyelidiki kitab
suci dan Alkitab jelas sekali menentang kekejaman, apalagi yang dilakukan
terhadap suatu etnis.
TJ: Anda
adalah seorang Teolog. Mengapa Anda tidak mengambil approach yang lebih halus,
misalkan mendoakan situasi tersebut?
DB: Nah, kesalahan dalam merespon situasi
semacam ini yang sering kita temukan pada orang Kristen. Penjelasannya begini.
Katakanlah saya sedang duduk bersebelahan dengan seorang yang kalap dan marah
yang sedang menyetir mobil dan ia bermaksud untuk menabrakkan mobil itu kepada
kerumunan pejalan kaki. Sebagai seorang Kristen, saya tidak bisa sekadar
menunggu malapetaka itu terjadi dengan dalih bahwa setelah kejadian itu saya
akan datang dalam penguburan para korban dan menghibur keluarganya. Tidak. Saya
harus merebut kemudi dari sopir yang kalap itu secepatnya bahkan sebelum ada
korban. Hitler dan Nazi adalah orang-orang yang kalap dan kita berkewajiban
menghentikannya.
TJ: Apakah
Anda sadar akan risiko di tengah kekuatan penguasa Nazi saat itu?
DB: Sadar sepenuhnya. Selama saya adalah
murid Kristus, keberanian bersikap selalu ada harganya.
TJ: Maksudnya?
DB: Saya sudah memperoleh keselamatan
secara cuma-cuma oleh Kristus dan menjadi murid-Nya. Setelah menjadi murid
Kristus, setiap tindakan dan keputusan saya memiliki harga segenap hidup saya. Salvation is
free, but discipleship will cost you your life.
TJ: Apakah
panggilan sebagai murid Kristus akan selalu dibayar nyawa?
DB: Memang begitulah substansi sebuah
panggilan. Yesus sendiri berkata, “Barang siapa mengasihi nyawanya, ia tidak
layak untuk Aku.” When Christ calls a man, he bids him come and die.
TJ: Itukah
inti dari buku yang Anda tulis ‘The Cost of Discipleship?
DB: Benar, pengorbanan pribadi adalah hal
yang paling esensial dari iman Kristen. Selain itu, sepertiga dari buku itu
saya kupas tentang khotbah Yesus di atas bukit, agar setiap orang Kristen hidup
dalam kehidupan spiritual bersama Kristus.
TJ: Anda
terlihat sekali memiliki total penyerahan hidup kepada Tuhan..
DB: Terus terang, saya bukan hanya
mengajarkan penyerahan total, tetapi menghidupinya dalam setiap aspek hidup
saya.
TJ: Anda
sudah meninggalkan Jerman dan hidup tenang di Amerika Serikat, mengajar, dan
menulis. Mengapa Anda harus kembali ke Jerman pada situasi yang berbahaya?
DB: Setiap orang memiliki rencana,
termasuk juga saya. Ketika saya meninggalkan Jerman karena gerakan saya
terbatas dan diawasi oleh penguasa, saya berpikir lebih baik saya ke Amerika
karena mungkin disana saya lebih bermanfaat dan dapat menggunakan ilmu yang
saya pelajari. Tetapi ternyata Tuhan menginterupsi rencana saya, dan saya harus
kembali ke Jerman. Siapapun harus rela rencananya diinterupsi oleh Tuhan.
TJ: Bagaimana
Anda yakin hal itu, sedangkan dengan kembali ke Jerman Anda malah ditangkap?
DB: Kehendak Tuhan tidak bisa kita kaitkan
dengan kesenangan atau kebahagiaan. Carilah Tuhan terlebih dahulu, bukan
kebahagiaan sebagai hal utama. Ini adalah hal yang fundamental. Ia akan
memberikan kebahagiaan sesudahnya, karena itu adalah janji-Nya.
TJ: Tampaknya
Anda sedang menjelaskan tentang ketaatan. Apa yang Anda bisa kemukakan mengenai
ketaatan?
DB: Satu kalimat: One act of obedience is worth a hundred
sermons..
TJ: Maksud
Anda?
DB: Setiap khotbah disampaikan agar orang
yang tidak percaya dapat menjadi percaya kepada Kristus. Tetapi jauh lebih
penting daripada khotbah adalah kehidupan sehari-hari kita sebagai orang
Kristen. Sebuah tindakan ketaatan yang ditunjukkan oleh orang Kristen akan
lebih berarti daripada seratus khotbah. Dengan memberi contoh nyata, kehidupan
orang percaya akan membuat orang yang tidak percaya mempertanyakan lagi
ketidakpercayaan mereka kepada Allah.
Bonhoeffer
dilahirkan dari pasangan Karl dan Paula. Ia memiliki tujuh saudara kandung,
salah satu saudaranya tewas dalam perang dunia pertama. Sejak kecil Boenhoeffer
sudah terlihat bakatnya di musik, tetapi pada umur 12 tahun,
Bonhoeffer
mengatakan kepada orang-tuanya bahwa ia ingin sekolah teologi. Ia tumbuh
menjadi anak yang cerdas dan suka menyelidiki kitab suci. Pada umur 21 tahun, ia
meraih gelar doctor pertamanya dengan disertasi berjudul ‘Sanctorum Communio’.
Tiga tahun berselang, ia meraih gelar doctor keduanya dengan disertasi berjudul
‘Act & Being’.
Pada
tahun 1930-1931, Bonhoeffer melanjutkan studinya ke Union Theological Seminary
di New York City. Disanalah ia melihat dan belajar doktrin liberalisme tetapi
akhirnya ia tak menyukainya. “Tidak ada teologi disini,” katanya, dan iapun
kembali ke Jerman dan mengajar di University of Berlin untuk bidang
Christology. Di tahun 1933, Adolf Hitler memegang kendali dan memimpin Jerman
masuk ke dalam perang dunia ke-2.
Selama
enam tahun antara 1933 hingga 1939, Bonhoeffer aktif mengkritisi pemerintah
Nazi hingga ia dilarang berbicara di depan publik bahkan nyawanya terancam. Ia
meminta suaka ke Amerika Serikat tetapi hanya bertahan satu bulan saja. Di
tahun 1939 sekembalinya Bonhoeffer dari Amerika Serikat ia kembali mengkritik
Nazi. Namanya dikaitkan dengan sebuah konspirasi untuk membunuh Hitler.
Bonhoeffer
tidak pernah menikah. Ia sempat bertunangan tetapi tak lama kemudian ia dijebloskan
ke dalam penjara Nazi di 5 April 1943 di kota Tegel. Ia kemudian dipindahkan ke
penjara Prinz-Albrecht-Strasse. Pada 7 Februari 1945, ia dipindahkan lagi ke
penjara Buchenwald, dipindahkan lagi ke Regenburg, dan dipindahkan lagi ke
Flossenburg.
Walaupun di dalam penjara, api dalam dadanya terus berkobar untuk
berkhotbah. Tak peduli dimanapun, bahkan di atas truk militer yang mengangkut
para terpidana, ia berkhotbah. Di dalam barak yang penuh sesak pun ia
berkhotbah. Yang mengherankan, semua terpidana itu selalu menantikan siraman
rohaninya.
TJ: Apa
yang membuat Anda terus berkhotbah bahkan ketika Anda berada dalam penjara?
DB: Tentara Nazi itu menyangka bisa
membungkam saya lewat penjara. Tetapi saya sendiri tidak mampu menahan kobaran
api di dalam dada saya. Ia terus meletup sehingga tak ada cara lain bagi saya
untuk terus bersuara. Di barak atau di atas truk pun, selama masih ada telinga
yang bisa mendengar, saya akan tetap bersuara.
TJ: Apa
tema yang Anda khotbahkan di tempat-tempat tersebut?
DB: Dalam situasi ketika orang tinggal
menunggu giliran dieksekusi, tema khotbah yang paling tepat adalah mengenai
jalan keselamatan. Memilih jalan keselamatan ibarat memilih jalur kereta api. If you board the wrong train, it is no use running along the corridor in
the other direction. Tak
ada kesempatan untuk kembali jika waktu begitu kritis.
TJ: Apa
tema penghiburan yang Anda sampaikan kepada mereka di dalam penjara?
DB: Bahwa Allah mengasihi orang berdosa,
termasuk saya, termasuk mereka para tawanan. Saya tegaskan, say ‘no’ to sin and
‘yes’ to the sinner. Itulah alasan Yesus Kristus datang ke dalam dunia, semata-mata
untuk orang berdosa.
TJ: Anda
sadar akibatnya ketika melanggar larangan untuk berkhotbah?
DB: Tentara Nazi pasti akan mengeksekusi
siapapun yang dianggap melawan. Tetapi jika saya mati, bagi mereka adalah akhir
dari cerita, tetapi bagi saya itu adalah sebuah awal kehidupan.
TJ: Dalam keadaan Anda terpenjara dan
menderita. Pernahkah Anda mempertanyakan ‘dimanakah Allah? Benarkah Allah itu
ada dan siap menolong?’
DB: Saya tak pernah meragukan-Nya. Saya
juga tidak pernah mempertanyakan eksistensi-Nya. Saya yakin Dia pun tak pernah
menuntut kita untuk membuktikan eksistensi-Nya. A God who let us prove his
existence would be an idol.
TJ: Anda
sebelumnya juga membantu orang-orang Yahudi dan meloloskan mereka ke Swiss dari
kejaran Nazi?
DB: Benar, karena gereja diam pada saat
seharusnya gereja berteriak keras melihat darah orang yang tidak bersalah
ditumpahkan dengan seenaknya oleh tentara Nazi. Darah itu sendiri sudah
berteriak sampai ke surga, sehingga saya tak mungkin menutup mata.
TJ: Anda
tidak takut terhadap kematian. Apa pendapat Anda tentang kematian itu sendiri?
DB: Kematian adalah anugerah, anugerah
terbesar yang Allah berikan kepada siapapun yang percaya kepada-Nya. Kematian
itu begitu lembut, begitu manis, sebagai ‘gateway’ menuju tanah air kita, our
homeland, yaitu apa yang dinamakan sebagai ‘tabernacle of joy’ dan ‘everlasting
kingdom of peace’.
TJ: Berbicara
tentang anugerah. Apakah inisiator anugerah adalah hanya Allah semata-mata?
DB: Inisiator segala sesuatu adalah Allah.
Demikian juga anugerah. Tetapi jangan lupa, anugerah memerlukan respon. Ingat
kisah penjahat yang disalib di dekat Yesus? Yesus sendiri tidak pernah
meng-convert penjahat itu. Yesus menunggu hingga salah satu dari penjahat itu
berpaling kepada-Nya dan mengucapkan pengakuannya.
Pada
tanggal 9 April 1945, Bonhoeffer dieksekusi mati di tiang gantungan oleh Nazi.
Sebulan kemudian, Jerman menyerah kalah kepada tentara Sekutu.
Banyak orang menyayangkan jeda waktu yang hanya satu bulan
itu. Seandainya eksekusi mati itu ditunda satu bulan saja, mungkin Bonhoeffer
akan selamat, dibebaskan oleh tentara Sekutu dari penjara, kemudian ia bisa kembali
mengajar di universitas-universitas, berkhotbah di gereja-gereja, dan menulis
buku lebih banyak lagi. Mungkin kita pun bertanya kepada Tuhan, “Tidakkah
Engkau mau memakai Bonhoeffer sebagai alat di tangan-Mu untuk pekerjaan-Mu yang
lebih dahsyat lagi, Tuhan? Mengapa Kau biarkan ia yang penuh potensi dan
dedikasi itu mati muda?”
Tetapi itulah rahasia Tuhan. Kita tak pernah mengerti
jalan pikiran-Nya, yang begitu tinggi dan begitu dalam.
***
Semua kalimat Bonhoeffer yang
tertulis dalam wawancara imajiner di atas dikompilasi dari sumber berikut ini:
Serpong, Jun 2019
Titus J.
No comments:
Post a Comment