Pada waktunya
nanti tanggal 24 Januari, Ahok akan menjadi orang merdeka yang bebas dari
kurungan. Ia bukan bebas bersyarat, tetapi bebas murni, bebas seluruh jiwa
raganya itu.
Sebenarnya
jiwanya sudah merdeka sejak dulu-dulu, sejak ia masih menjadi gubernur, wakil
gubernur, bupati, anggota DPR, bahkan sejak ia masih muda. Saya meyakini
kemerdekaan jiwanya ini dari mengamati dan memperhatikan sepak terjangnya di
dunia politik. Ia selalu menjadi dirinya sendiri, yang berani berbeda dari kebanyakan
orang, yang berani menempuh risiko atas tindakan yang ia yakini benar.
Sejauh yang
saya ketahui, ia cukup taat menjalankan imannya, tetapi di depan publik ia tidak
mendemonstrasikannya seolah sengaja agar dibilang saleh. Ia lebih suka bicara
soal rencana kerjanya untuk daerah yang ia pimpin, tentang membenahi birokrasi,
tentang menolong rakyat. Baginya soal iman tetap menjadi ranah paling privat,
yang hanya perlu ia persembahkan untuk Tuhannya. Karena sikapnya yang apa
adanya itulah jiwanya begitu merdeka.
Ternyata penjara
Mako Brimob hanya dapat mengurung badannya saja.
Tak banyak
(atau mungkin langka) orang yang dipenjara masih mempunyai jiwa yang tetap
merdeka. Kita terkadang masih dapat mengikuti denyut kehidupan Ahok di Mako
Brimob dari media sosial yang diupload oleh timnya, atau dari rekan-rekan kita
yang sempat menengoknya disana. Teman saya yang beberapa kali menengoknya di
Mako Brimob membenarkan bahwa di penjara pun Ahok tetap seperti biasa
sebagaimana yang dulu selalu kita saksikan di televisi atau di Youtube. Kita
sungguh melihat betapa penjara tak berdaya menindas jiwanya itu.
Surat-surat
dari masyarakat sudah tak terhitung menyambanginya untuk membesarkan hatinya,
bahkan minta nasihatnya untuk hal-hal sederhana tentang kehidupan. Ada seorang
anak muda bahkan minta tolong Ahok untuk menyurati kekasihnya agar mau dilamar
menjadi istrinya. Maka mereka yang membenci Ahok sungguh geram sebab tembok
penjara ternyata tak pernah bisa menghalanginya untuk tetap berbuat baik selagi
ia mampu kerjakan dimanapun dan kapanpun. Jika di saat paling pahit saja ia
tetap menjadi berkat bagi banyak orang, bagaimana ia nanti setelah bebas?
Saya termasuk
salah satu yang berkeyakinan bahwa yang terbaik bagi Ahok saat hakim
mengetokkan palu vonis di tanggal 9 Mei 2017 adalah menerimanya dan menjalani
hukumannya di penjara. Semula Ahok menyatakan mau banding, tetapi saat itu saya
berkata dalam hati – seolah ingin berbisik kepadanya, “Tidak perlu Hok,
percuma, kau tetap akan kalah. Idealisme-mu untuk mencari kebenaran di ruang
pengadilan memang patut dihargai, tetapi sayangnya kebenaran sedang membisu di
tempat tersembunyi.”
Lalu,
beberapa hari kemudian Ahok membatalkan niatnya untuk melawan.
Saya masih
ingat begitu pahitnya keputusan itu dibuat, keputusan yang ditulis oleh Ahok
sendiri dan dibacakan oleh Veronica Tan, istrinya (kala itu) dengan mencucurkan
air mata.
Ada perasaan
sedih bercampur bangga di dalam hati kita ketika ia mengakhiri perlawanan
dengan caranya itu. Sedih karena untuk waktu dua tahun bakal puasa menyaksikan
pemimpin berkelas yang kaya ide bekerja tak kenal lelah membangun peradaban, muak
karena para tikus yang sudah masuk lubang bakal keluar lagi dan berpesta-pora. Tetapi
di sisi lain kita harusnya bangga karena sikapnya yang ksatria untuk patuh kepada
keputusan pengadilan walaupun hatinya ingin memberontak. Sejak pertama kali ia
duduk di kursi terdakwa, ia tak pernah berteriak bahwa ia sedang
dikriminalisasi, atau berupaya untuk menghindari hukum apalagi melarikan diri
ke luar negeri.
Ahok sudah
meneladani Gurunya untuk taat sepahit apapun manusia memperlakukannya. Baginya,
sebuah ketaatan walaupun rugi jauh lebih bernilai daripada sikap pengecut. Ia benar-benar
adalah The Valiant.
Di suratnya
yang dibacakan oleh Vero tersebut, saya terkesan ketika ia menuliskan bahwa
Tuhan berdaulat atas kehidupan setiap manusia termasuk dirinya. Apa lagi yang
lebih tepat untuk menjadi bukti keimanan seseorang yang begitu mempercayakan
seluruh jiwa-raganya kepada Sang Pencipta? Jika Yang Maha Berdaulat itu mengijinkannya
untuk masuk penjara, bagaimana mungkin ia menolaknya? Sebaliknya seorang
pengecut tidak pernah percaya akan kedaulatan Tuhan.
Hari ini sudah
hampir dua tahun. Masih segar dalam ingatan ketika melihat Ahok yang mengenakan
baju batik berwarna putih-biru dibawa dengan barracuda menuju rutan Cipinang
sesaat setelah divonis. Dan sekarang ia sudah akan bebas setelah masa
hukumannya dipotong beberapa kali remisi. Apakah dua tahun adalah seperti
perjalanan seorang musafir di padang gurun? Ataukah hanya sepeminum teh saja?
Mungkin tidak
begitu penting untuk menakar apakah dua tahun bagi orang yang terpenjara adalah
waktu yang lama atau singkat. Bagi mereka yang dipenjara karena konsekuensi atas
perjuangannya, waktu bukan menjadi soal. Nelson Mandela menjalani hukumannya di
Afrika Selatan selama dua puluh tujuh tahun dan ia keluar penjara dengan tawa
kemenangan. Ahok akan keluar dari penjara dengan kepala tegak. Ia tidak akan
takut dengan tatapan mata rakyat, sebab ia bukan pencuri uang rakyat alias
koruptor.
Di tanggal 24
Januari nanti – jika Yang Maha Berdaulat mengijinkan - Ahok akan melangkahkan
kakinya menuju pintu keluar Mako Brimob. Ia mungkin akan disambut dengan gegap
gempita oleh para pengagumnya, dielu-elukan dengan bunga-bunga sebagai tanda
cinta. Tetapi mungkin juga tak ada siapa-siapa yang menyambutnya, sepi, bahkan tak juga oleh
orang yang dulunya paling dekat sekalipun.
Apapun itu
nanti, gegap gempita atau sepi, ia telah menyelesaikan masa hukumannya dengan
tuntas, dan akan keluar dengan tawa kemenangan, seperti Nelson Mandela.
Cowards die many times before their
deaths; the valiant never taste of death but once --William
Shakespeare--
Serpong, 4
Jan 2019
Titus J.
No comments:
Post a Comment