Sunday, March 25, 2018

Dia sudah tersalib di Getsemani


--Renungan Jumat Agung--
Pergumulan terberat Yesus Kristus sebenarnya bukan di Golgota, tetapi di taman Getsemani. Di Getsemani itulah kita melihat potret seorang manusia sejati yang memiliki segala rasa seutuhnya sebagaimana kita, manusia dengan darah dan daging ini.
Di Getsemani itu jiwa yang tertekan di ambang kekejaman salib didemonstrasikan apa adanya, sejujurnya, dan sewajar-wajarnya.
Banyak dari kita yang sebenarnya tidak rela Yesus mempertontonkan adegan di Getsemani itu, karena hal itu menjadi sebuah titik balik dari kehebatan-Nya yang selama 3,5 tahun ditunjukkan-Nya. Ia memerintahkan badai dan angin ribut untuk diam dan tenang, dan angin ribut itu taat. Ia memerintahkan gerombolan setan yang bernama Legion itu keluar dari seorang yang kerasukan di Gadara, dan kawanan setan itu lari terbirit-birit masuk jurang bersama duaribuan kawanan babi. Ia memanggil Lazarus yang sudah empat hari terkubur dan Lazarus pun hidup dan keluar dari kuburan. Ia berulang kali mengatakan kepada murid-muridNya bahwa Ia datang ke dunia untuk menyelesaikan pekerjaan yang diberikan oleh Bapa-Nya. Dan untuk menyelesaikan tugas itu, hanya ada satu jalan, yaitu jalan salib.
Ia dengan segenap hati sadar akan panggilan dan tugas-Nya.
Tetapi di Getsemani itu Yesus seolah kehilangan keperkasaan-Nya dan berubah menjadi Seorang yang lemah tak berdaya dan penakut. Kita seperti tidak mau mendengar Ia mengucapkan sebuah keluhan, “Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya.” Tak cuma itu, Ia kemudian harus mengucapkan sebuah doa yang sama sekali tidak menggambarkan Seorang yang pemberani menghadapi saat paling kritis dalam hidup. “Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu, ambillah cawan ini daripada-Ku,” ucap-Nya.
Ia memohon, wholeheartedly begging, kepada Yang Maha Menentukan Segalanya: “Bapa, seandainya mungkin ada sebuah jalan yang lain.”
Bagaimana mungkin Yesus yang kita kagumi mencoba menghindari komitmen-Nya sendiri? Bagaimana mungkin Ia mengucapkan doa kepada Bapa-Nya dengan permohonan yang sudah Ia ketahui tak bakal dikabulkan? Cawan penderitaan yang berisi dosa seisi dunia itu sudah tersedia di hadapan-Nya, dan perintah Bapa cuma satu kata: “Minum!”
Apakah Ia hanya bersandiwara saja?
Tidak. Saat itu ia benar-benar tercekam oleh rasa gentar karena Ia tahu benar apa yang bakal terjadi atas diri-Nya. Kita tidak bisa mengingkari dimensi kemanusiaan-Nya yang melekat pada diri-Nya, walaupun kita percaya bahwa Ia datang dari Surga, bahwa Ia datang dari Bapa.
Ia datang dari Bapa, dan Bapa memanggil-Nya: “Anak-Ku yang Kukasihi”. Ia adalah Firman Allah – sebagaimana ditulis pada Injil Yohanes 1:1. Sebutan apa yang lebih tepat untuk menggambarkan diri-Nya selain sebagai Anak Allah karena Ia adalah Firman Allah yang berinkarnasi menjadi manusia? Ia, ketika wewujud manusia, adalah sungguh-sungguh manusia utuh yang memiliki perasaan sebagaimana manusia pada umumnya. Kala itu, Ia adalah manusia seperti kita, hanya bedanya, Ia tidak berbuat dosa dan tidak bisa berbuat dosa. Tidak mungkin Ia mengatakan kepada orang berdosa: “Dosamu sudah diampuni” jika Ia sendiri adalah seorang pendosa.
Maka di Getsemani itu Ia menghadapi pergumulan yang maha berat, karena Ia – Anak Allah yang berkuasa – harus menanggalkan kuasa-Nya dan menjadi seperti anak domba yang siap disembelih sebagai kurban. Ia sengaja merelakan untuk tidak menggunakan kuasa-Nya. Ketika Ia ditangkap oleh prajurit Romawi, murid yang sedang bersama-Nya tiba-tiba menghunus pedang, tetapi Ia berkata, “Masukkan pedangmu. Sangkamu Aku tak dapat meminta kepada Bapa-Ku untuk mengirimkan duabelas pasukan malaikat untuk membantu Aku?” Dengan kata lain Ia seolah ingin mengatakan, “Tahukah kau bahwa jalan untuk menyelesaikan tugas dari Bapa memang hanya ini? Bapa-Ku tak bersedia memberikan jalan alternatif.”
Getsemani adalah tempat pergumulan batin Yesus Kristus. Injil Lukas menulis di situlah Ia meneteskan peluh seperti titik-titik darah. Di situlah hati-Nya yang suci itu tercabik dan terpaku. Ia merasa begitu sendiiri. Ia merasa dibiarkan. Ia sudah berusaha meminta kepada ketiga murid-Nya untuk menemani-Nya di saat yang mencekam, tetapi kenyataannya mereka tertidur lelap. Sampai tiga kali Ia mengucapkan doa yang sama: “Father… if possible..” Tetapi Bapa-Nya membisu, tak menjawab sama sekali selain menunjukkan sebuah cawan sebagai jawaban tanpa kata-kata.
Adakah yang lebih menyiksa batin seseorang yang harusnya punya kuasa tetapi dalam suatu situasi justru tidak bisa menggunakan kuasa-Nya? Yesus memilih mengosongkan diri-Nya secara total padahal Ia memiliki segala kepenuhan Allah. Kesadaran inilah yang membuat-Nya melanjutkan doa-Nya, “Tetapi jangan kehendak-Ku yang jadi, melainkan kehendak-Mu ya Bapa.”
Ia akhirnya memilih untuk taat, walaupun konsekuensinya Ia harus mati. Ia bisa saja memilih pulang ke Surga saat itu daripada melangkah ke Golgota, tetapi kasih-Nya kepada para pendosa lebih kuat menarik-Nya untuk menjalani via dolorosa. Max Lucado mengatakan, “He saw you in your own Gethsemane and He didn't want you to be alone. He would rather go to hell for you than to heaven without you.”
Pergumulan-Nya di Getsemani dan kegentaran yang ditunjukkan-Nya dengan jujur bukanlah ketakutan menghadapi cambukan tentara Romawi yang merobek daging-Nya, bukanlah ketakutan terhadap paku yang akan menembus tangan dan kaki-Nya, dan bukan pula ketakutan terhadap tombak yang bakal menancap di lambung-Nya. Ia sudah tahu semua itu jauh-jauh hari sebelum Ia dihadirkan ke dalam dunia. Tetapi kesedihan dan ketakutan-Nya disebabkan oleh keterpisahan diri-Nya dengan Bapa yang mengasihi-Nya. Dari sinilah kita mengerti situasi batin-Nya ketika Ia mengatakan: “Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya.”
“Eloi… Eloi… Lama Sabakhtani..?” adalah seruan yang memilukan dari seorang Anak yang direnggut secara paksa dari pangkuan Bapa-Nya. Seruan itu berkumandang nyaring di langit kosong karena Bapa-Nya tak sanggup melihat dosa keji seluruh dunia ditimpakan kepada-Nya.
Keterpisahan-Nya dengan Bapa-Nya sudah terjadi di Getsemani, ketika doa-Nya kepada Bapa-Nya berlalu ditelan sepi.

Gethsemane is where He died; the cross is only the evidence --Leonard Ravenhill

***

Serpong, 25 Mar 2018
Titus J.

1 comment:

Doyan Main said...

Permainan Poker Paling Seru Bersama Winning303...
Menghadirkan IG poker & IDN poker ....

Dengan 1 User ID, Sudah Dapat Bermain 8 Games Kartu Populer :
1. Texas Poker
2. Omaha Poker
3. Domino QQ
4. Ceme Keliling
5. Bandar Ceme
6. Capsa Susun
7. Bandar Capsa
8. BIG 2

Bonus New Member Slot 15%
Bonus New Member Poker 10%
Bonus New Member Sabung Ayam 10%
Bonus New Member Sportsbook & Live Casino 20%
Bonus Deposit 10% Setiap Hari
Bonus Deposit 10% Slot Setiap Hari
Bonus Deposit Sabung Ayam 5%
Bonus Cashback 5-10%
Bonus 100% 7x Kemenangan Beruntun Sabung Ayam
Diskon Togel Hingga 65%
Bonus Rollingan Slot 1%
Bonus Rollingan Poker dan Live Casino 0.5%

Tunggu Apa Lagi, Ayok Segera Daftarkan Diri Anda Bersama Kami Di Winning303
Dapatkan juga berbagai macam Bonus menarik dalam bermain Poker bersama kami.

Informasi Lebih Lanjut, Silakan Hubungi Kami Di :
- WA : +6287785425244

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...