Pada setiap Natal, kita mendengar lagu ‘Silent
Night’ mendayu begitu syahdu lewat penyanyi sopran atau instrumentalia. Lagu ini
selalu
mengingatkan kita betapa nestapanya malam yang sunyi itu ketika Yesus
dilahirkan. Tetapi ajaib,
kenestapaan itu justru membawa kabar baik, kabar damai kepada para gembala yang
hidupnya juga nestapa, dan tidak kepada Herodes yang duduk jumawa di istananya.
Malam
kudus sunyi senyap, di kandang Efrata terang besar turunlah, kata lagu itu. Di situlah
damai itu memilih tempatnya untuk dilahirkan. Damai lebih suka datang dalam
kesunyian dan menyapa yang nestapa. Bukan kenestapaan lahiriah, tetapi
kenestapaan batiniah dimana ada hati yang membutuhkan. Mestinya kita merayakan Natal dengan
hati yang nestapa karena sadar bahwa kita membutuhkan Sang Damai itu
untuk mengisi setiap ruang kosong di hati kita.
“Berbahagialah mereka yang membawa damai, karena mereka akan disebut
anak-anak Allah,” kata Sang Damai itu. Apakah kita benar-benar menghidupi damai
itu dan menyiramkannya kepada bumi yang gersang dan kerontang? Sayang sekali,
Natal sering kita agungkan hanya melalui perayaan yang gegap-gempita, sedangkan
damai yang menjadi esensi Natal kita singkirkan di pojok yang gelap.
Kita yang setiap tahun memasang tulisan “Damai di bumi” di dinding
gereja harusnya menjadi ‘peace
ambassador’ - dimulai dari diri kita, lalu keluarga kita dan mengalir terus
menyentuh orang-orang terdekat. Ini bukan moment
setahun sekali tetapi harus kita hidupi setiap saat. Jika setiap ruang di
keluarga kita memancarkan damai ke luar rumah, maka dunia ini niscaya akan
teduh, bukan? “What can you do to promote
world peace? Go home and love your family,” kata Mother Teresa.
***Serpong, Des 2013
Titus J.
No comments:
Post a Comment