Sunday, November 30, 2008

Mahalnya Rp. 15 ribu

Sungguh tidak tertata dunia pendidikan di Indonesia ini. Lebih tepat kalau saya katakan: Tidak terurus.

Kemarin saya menonton TV, pada acara “Nusantara”, TV Elshinta menayangkan figur seorang kepala sekolah SD yang merangkap sebagai pemulung. Bapak ini bernama Pak Mahmud. Setiap hari Pak Mahmud mengajar di sekolah itu, dan setiap hari pula sehabis pulang mengajar beliau harus memulung sampah untuk menyambung nafkah keluarganya.

Kita tidak perlu bertanya berapa gaji Pak Mahmud sebagai seorang kepala sekolah di SD reyot itu, karena dengan mengikuti kesehariannya sudahlah dapat diketahui tanpa kita perlu berhitung dulu. Dan jika seorang kepala sekolah harus menjadi pemulung sampah, berapa rupiah murid-murid SD itu membayar biaya sekolahnya? Untuk hal inipun kita tidak perlu bertanya apa-apa.
Jika memulung, Pak Mahmud memakai pakaian yang kumuh, bersandal jepit, berjalan mengais tumpukan sampah, lalu memilah-milahnya untuk barang-barang yang bisa dijual. Tapi jika beliau mengajar di kelas, begitu bersih, begitu rapi, berpakaian batik lengan panjang, berkaca-mata. Siapapun tidak akan menyangka bahwa beliau juga seorang pemulung. Saya kagum. Inilah orang yang sangat mencintai profesinya sebagai guru. Bukan hanya mencintai, tetapi juga menghargai profesinya sendiri. Walau harus memulung sampah, jadi guru tetaplah panggilan. Jadi mengajar haruslah rapi, tidak harus dekil, kucel.

Di sebuah SMP di daerah tempat tinggal saya, yaitu di Serpong, saya mengajar matematika. Bukan, saya bukan guru di SMP itu, saya hanya relawan yang tergerak untuk membantu dan menyumbangkan sedikit waktu, tenaga dan pikiran untuk anak-anak kurang mampu itu. Sekolah itu sudah reyot, dindingnya sudah kusam, plafonnya kotor penuh jaring laba-laba, lantainya dari semen yang sudah banyak retak dan bangku-bangkunyapun sudah reyot.

Pada tiap-tiap hari Sabtu, pada waktu nama saya terjadwal mengajar, saya pergi ke sekolah yang terletak tak jauh dari jalan besar Bumi Serpong Damai (BSD). Jalan masuk ke situ sudah rusak, penuh lubang dan genangan air. Setelah beberapa menit berkelok masuklah mobil saya ke gang sempit dimana sekolah itu berada. Waktu pertama kali saya kesana, saya heran bukan kepalang, karena ternyata ada sekolah reyot seperti ini di balik semarak perumahan mewah BSD. Jika mengajar di sana, peluh saya bercucuran begitu derasnya karena ventilasi buruk dan saya harus mengulang-ulang materi agar anak-anak itu bisa menangkap pelajaran sampai mengerti.

Sekolah itu bukan sekolah negeri. Sekolah itu didirikan oleh seseorang (Kepala Sekolah menyebutnya: Pak Haji) di daerah itu sendiri yang merasa prihatin karena banyak anak-anak di situ yang tidak sekolah. Dan untuk menghidupi sekolah itu, Pak Haji meminta dukungan dari sebuah yayasan kemanusiaan untuk membantu. Karena tidak cukup uang, guru-gurunyapun sangat sedikit jumlahnya. Satu guru bisa mengajar sampai 4 – 5 mata pelajaran. Darimana dana untuk merekrut guru banyak-banyak? Maka jadilah saya dan beberapa teman menjadi guru relawan. Ada yang mengajar matematika, bahasa Inggris, dan komputer (Sekolah ini mendapatkan sumbangan seperangkat komputer dari sebuah lembaga). Saya hanya berpikir, jika tidak ada orang seperti Pak Haji ini, dimana anak-anak itu bisa sekolah? Apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah?

Pak Haji berhasil, karena sejak sekolah itu didirikan, banyak anak-anak di daerah itu yang mau sekolah. Gratis. Namun setelah beberapa tahun berjalan, yayasan itu menyetop bantuannya karena ada pergantian direksi (baca: pergantian policy). Tak ayal, demi tetap menghidupi sekolah itu, anak-anak yang bersekolah di situ dipungut biaya, tidak lagi gratis. Biayanya hanya Rp. 15.000,- per bulan. 15 ribu? Ya, hanya 15 ribu per bulan!

Tetapi tahukah kita dampaknya? Dengan pungutan yang cuma seharga sepiring nasi pecel lele itu, banyak murid yang langsung menghilang dari sekolah itu. Setelah ditelusuri, didapatlah informasi dari para orang-tua murid bahwa mereka tidak sanggup membayar yang 15 ribu rupiah itu. “Lebih baik anak saya di rumah saja, malah bisa bantuin saya cari uang, ketimbang harus sekolah dan keluar uang pula,” kata beberapa orang-tua murid. Ketika ditanya kalau tidak sekolah nanti anaknya mau jadi apa, mereka menjawab: “Jadi kuli proyek, atau tukang ojek, yang perempuan bisa jadi tukang cuci di rumah-rumah orang kaya.”

Se-simple itu? Ya, concern mereka hanya perkara 15 ribu itu! Sebesar itukah nilai 15 ribu rupiah? Kawan, mereka tidak tinggal di daerah terpencil pedalaman hutan atau di kaki gunung. Mereka tidak tinggal di gua-gua yang angker atau di balik tebing-jurang yang sulit dijangkau. Mereka tinggal di sekitar kita, tak jauh dari kita, bertetangga dengan ibu kota Jakarta yang punya segala macam. Dan perkara 15 ribu rupiah itu benar-benar mengusik mereka. Jangan tanyakan arti masa depan, karena yang mereka pikirkan adalah masa kini, apakah perut mereka dan anak-anak mereka aman untuk hari ini, besok dan besoknya lagi.

Jika saya masuk kelas di siang hari dan akan mulai mengajar, selalu saya sapa anak-anak itu dengan senyum, dan mereka membalas dengan teriakan serentak: “Walaikumsalam…!!”. Ingin rasanya saya bertanya: “Adik-adik, apakah semua sudah makan siang?” Namun selalu pertanyaan itu terhenti di tenggorokan, karena sejujurnya saya takut mendengar jika nanti ada yang menjawab: “Belum…”

***

Dekat sekali dengan sekolah reyot dimana saya mengajar sebagai guru relawan itu, bertebaranlah sekolah-sekolah megah. Megah bangunannya, megah fasilitasnya, megah kurikulumnya, megah guru-gurunya, megah murid-muridnya, dan megah mobil-mobil yang mengantar-menjemput mereka. Dan setiap menjelang tahun ajaran baru, sekolah-sekolah itu jor-joran mengadakan pameran di mal-mal megah ataupun mengadakan open house (harusnya open school ya?) di sekolah masing-masing.

Saya, 2 – 3 tahun yang lalu selalu tidak berselera mampir di ajang pameran seperti itu. Buat apa? Saya belum membutuhkannya. Namun, 3 bulan yang lalu saya mengubah pikiran saya. Tentu saya harus menyempatkan diri untuk mengunjungi pameran-pameran itu karena anak saya sudah 2 tahun, dan tahun depan akan 3 tahun, dan ini artinya: sekolah.

Tepatlah apa yang saya duga, sekolah-sekolah itu luar biasa mengemas program pendidikan mereka dengan menonjolkan kurikulum yang diadopsi dari sekolah top luar negeri plus segala kelengkapan fasilitasnya. Dan sekolah-sekolah megah itu luar biasa hebat mempromosikan sekolahnya. Mereka punya seorang public relation yang piawai bicara. Konsekuensi dari semua itu tentu adalah tarip sekolahnya. Dari uang pangkal masuk sekolah sampai monthly fee-nya, satupun tidak ada yang murah (tentu untuk ukuran saya). Semuanya adalah business class atau executive class. Saya mencari-cari tarip kelas ekonomi, tetapi tidak ada. Bayangkan, untuk anak saya yang masih ingusan ini, uang pangkalnya hampir 10 juta, dan uang bulanannya hampir 1 juta.

Saya merasa kepepet. Sekolah-sekolah mahal dan megah itu seperti menyandera kita yang tidak punya banyak uang. Saya merasa dunia pendidikan kita tidak adil sama sekali. Di satu sisi ada sekolah yang langsung kehilangan murid-muridnya hanya gara-gara tarip 15 ribu rupiah per bulan, di sisi lain banyak orang berebut mendaftarkan anaknya sekolah walaupun taripnya 1 juta per bulan. Dan di sekolah-sekolah megah itu tak pernah ada bangku kosong di dalamnya.

Lalu saya teringat anak-anak SMP yang saya ajar matematika itu, kemudian teringat sekolah reyot itu, dan 15 ribu rupiah yang bikin perkara itu. Kepala saya langsung pening.

***

Serpong, 30 Nov 2008
Titus J.

1 comment:

A-teknik said...

pak titus bisa bantu saya kah??
saya ingin jadi guru relawan baca tulis atau bahasa inggris untuk anak-anak SD di daerah jakarta selatan..waktu saya yang bisa dipakai itu hari sabtu...dimana ya saya bisa mengajar??

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...