Wajah kemunafikan
selalu berjumlah dua, tetapi manusia pintar memilih untuk memakai salah
satunya.
D.L. Moody
mengerti siasat manusia seperti itu, maka ia mengatakan, “Character is what a man is in the dark”. Jika di tempat terang
manusia memakai wajah malaikat, di ruang gelap wajah aslinya akan terungkap.
Pada waktu
Yesus menjalankan pelayanan-Nya di tanah Israel sekitar 2000 tahun yang lalu, situasi
masyarakat saat itu terbelah menjadi dua, antara kelompok orang yang disebut
beragama, dan rakyat biasa - yang tidak terlalu paham soal-soal agama.
Orang-orang yang beragama itu sering memandang rendah kepada mereka orang-orang
biasa.
Suatu hari
Yesus bercerita mengenai dua orang yang datang ke bait Allah. Yang seorang
adalah orang Farisi (yang terpandang sebagai orang yang beragama, hafal
ayat-ayat kitab suci, dan melakukan semua yang tertulis dalam kitab sucinya
dengan sangat ketat dan cermat). Yang seorang lainnya adalah pemungut cukai,
yang hidupnya jauh dari aturan hidup beragama, yang bahkan mungkin tidak pernah
mengerti ayat-ayat kitab suci apalagi melakukannya.
Orang Farisi itu
berdiri di barisan terdepan di bait Allah itu lalu berdoa, “Ya Allah, aku
bersyukur karena aku mengerti kitab-Mu, aku berdoa kepada-Mu setiap waktu, aku
berpuasa dua kali dalam seminggu, aku memberikan persembahan kepada-Mu dari
penghasilanku, aku bukan perampok, bukan pezinah, dan akupun tidak seperti
pemungut cukai itu.”
Orang Farisi
itu sengaja menyebut “Aku bukan seperti pemungut cukai itu” seolah menegaskan
betapa kontras perilaku hidupnya dengan pemungut cukai itu. Ia seperti menuduh
bahwa pemungut cukai itu hidupnya sembarangan dan tidak mengenal Tuhan, yang
perilakunya belepotan penuh dosa seperti air comberan yang hitam dan berbau
busuk.
Tetapi
pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh di barisan paling belakang di bait Allah
itu, di ujung, di tempat yang kalau bisa tersembunyi. Ia merasa malu dan tidak
layak menginjakkan kakinya di bait Allah, kemudian menundukkan kepalanya
dalam-dalam, dan sambil memukul dadanya ia berdoa terisak-isak, “Ya Allah…
kasihanilah aku orang berdosa ini…”
Betapa
pemungut cukai itu ‘rumangsa’ (tahu
diri) dan begitu jujur mengakui bahwa ia memang belepotan dosa seperti air
comberan yang tidak pantas untuk mendekati bait Allah apalagi memasukinya. Oleh
sebab itu ia hanya berani berdiri di barisan belakang, dan hanya bisa
menundukkan kepala seperti pesakitan di hadapan algojo yang menyandang pedang
tajam. Pemungut cukai itu merasa begitu hina-dina bahkan siap kalaupun ia harus
dipenggal kepalanya. Yang ia minta hanya belas kasihan dari Allah.
Tetapi
indah sekali Yesus menutup kisah itu, “Orang biasa yang tidak mengerti
soal-soal agama itu pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan oleh
Allah, tetapi orang Farisi itu tidak, sebab barangsiapa meninggikan diri akan
direndahkan, tetapi yang merendahkan diri akan ditinggikan.”
Di
waktu yang lain ketika Yesus sedang mengajar, pada suatu pagi, orang-orang yang
beragama itu datang bergerombol dan menyeret seorang perempuan yang tertangkap
basah berbuat zinah. Mereka menuntut agar perempuan itu dilempari batu sampai
mati. Yesus diam. Ia jongkok lalu mencoret-coret tanah dengan jarinya, entah
apa yang ditulis-Nya. Ia tidak meladeni tuntutan gerombolan orang “suci” itu,
yang satu berkata begini dan yang lain menimpali dengan berkata begitu.
Mereka
semua menuding perempuan itu sebagai biang keberdosaan dan menyudutkannya
seperti tikus yang terpojok di ujung tembok. Yesus tetap diam. Tetapi karena
orang-orang itu terus mendesak-Nya, Ia berdiri dan berkata, “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa,
hendaklah ia terlebih dahulu mengambil batu dan melempari perempuan ini.”
Kemudian Ia jongkok kembali, mencoret-coret tanah dan menunggu.
Suasana
di pagi itu mendadak senyap, padahal ada gemuruh kemarahan dalam hati gerombolan
bigot itu, Mendidihlah darah
kemunafikan dalam dada yang ingin membuncah keluar tetapi tertahan karena malu.
Perkataan Yesus yang pelan tapi tajam itu seperti sorot lampu yang terang, yang
menelusuri setiap lorong dan sudut ruang hati mereka yang gelap gulita. Mereka
seperti ditelanjangi di depan perempuan yang mereka anggap nista itu. Siapa di
antara manusia tidak pernah berdosa?
Mendengar perkataan itu, maka satu demi
satu mereka yang mendakwa perempuan itu beranjak pergi, dimulai dari yang
paling senior – yang jenggotnya paling panjang untuk mengesankan sebagai pemuka
agama yang paling suci - sampai yang paling junior, hingga semuanya ngeloyor pergi tak tersisa.
Sekali
lagi indah sekali Yesus menutup kisah di pagi itu “Dimanakah mereka semua? Tidak adakah yang menghukummu?” tanya Yesus
kepada perempuan itu. “Tidak ada, Guru,” jawab perempuan itu. “Akupun tidak menghukummu. Pergilah, dan
jangan berbuat dosa lagi,” kata Yesus.
Kejadian
di pagi itu sebenarnya mengherankan. Mengapa gerombolan bigot itu hanya membawa perempuan itu saja? Dimanakah laki-laki
“partner zinahnya” yang seharusnya juga adalah seorang pezinah? Bagaimana
mungkin mereka pagi-pagi sudah keluyuran dan menangkap basah perempuan itu
ketika sedang berbuat mesum? Apa mereka tidak ada kerjaan? Ahh.. Mungkin mereka
memang hobby melakukan sweeping,
sambil mengendap-endap sekalian juga mengintip, atau bahkan bisa jadi menjadi
pelanggan perempuan itu.
Yesus
sebenarnya ‘males’ melihat gerombolan bigot
itu, sebab Ia tahu mereka yang mendakwa perempuan itu otaknya juga mesum. Mereka
melabeli perempuan semacam itu sebagai “perempuan berdosa”, padahal di
ruang-ruang gelap mungkin mereka juga mencicipi dosa itu. Mereka berusaha
menutupi pikiran yang kotor dengan pakaian putih, jubah yang panjang, dan
menyangka orang lain tidak tahu perbuatan mereka di tempat tersembunyi. Tetapi
Yesus tahu. “Mereka seperti kuburan yang
dilabur putih, dari luar kelihatan indah tetapi di dalamnya penuh tulang
belulang yang busuk,” kecam Yesus.
“Sometimes it seems that the louder
someone claims sainthood, the bigger the horns they are hiding,” kata Steve Maraboli. Banyak orang berusaha
dengan keras untuk menunjukkan bahwa mereka adalah orang suci. Padahal, semakin
agresif mereka berusaha membuktikan “kesucian” mereka, sesungguhnya semakin
banyak kebusukan yang tersembunyi yang sedang mereka buka sendiri secara
pelahan-lahan.
Kisah
orang Farisi di atas yang menceritakan semua “kesucian”nya di hadapan Tuhan
pada waktu berdoa di bait Allah, sebenarnya adalah sebuah bentuk penghinaan
kepada Tuhan yang Maha Tahu. Ia menganggap bisa membohongi Tuhan. Ia begitu
bangga memamerkan kegiatan keagamaannya di hadapan Tuhan. Tetapi mengapa Tuhan
tidak menerima ibadahnya? Mengapa Tuhan menolak doanya? Karena Tuhan selalu
melihatnya di ruang gelap.
Di
ruang-ruang gelap itu Tuhan selalu ada. Dia tahu, tapi membisu…
***
God has given you one face, and you
make yourself another -- William Shakespeare
Serpong, Sep 2017
Titus J.
No comments:
Post a Comment