Saturday, September 16, 2017

Mumpung masih ada waktu

Kamu sudah sebelas tahun sekarang. Tidak terlalu aku pedulikan cepatnya waktu berlalu, hingga tiba-tiba aku sadari tinggi badanmu sudah sampai di kupingku, dan aku tak bisa lagi menggendong kamu seperti dulu.

Time flies…

Sebentar lagi kamu akan melepaskan masa kanak-kanakmu dan menjadi gadis remaja. Aku tak bisa lagi menganggapmu sebagai anak kecil, karena cara berpikirmu pasti akan berbeda, jauh berbeda dengan jalan pikiranku semasa aku seumur kamu dulu.

Sekarang aku harus lebih sabar mendengarkan dan menyambut pertanyaan-pertanyaanmu, walau terkadang pertanyaan-pertanyaanmu membuat aku tergagap. Dari situlah aku menyadari bahwa tidaklah mungkin mengurung pikiranmu di dalam ruang yang sempit, apalagi menahan langkahmu yang panjang dan cepat, langkah kaki yang akan membawamu meraih cita-cita dan masa depan.

Mumpung masih ada waktu.
Seandainya aku bisa meminta agar waktu melambatkan putarannya sedikit saja, agar aku punya lebih banyak waktu bersamamu dan menebus waktu-waktu yang hilang.

Aku bersyukur kamu begitu sederhana. Kamu menerima apapun yang diberikan oleh aku dan mamimu tanpa pernah komplain. Ketika teman-temanmu sudah memiliki smartphone dan iPad, kamu tak pernah cemburu, apalagi merengek-rengek, walaupun aku tahu hatimu ingin memilikinya. Mungkin kamu bosan dengan nasihatku untuk bersabar dan menunda sebentar lagi, sebentar saja, sampai usiamu cukup mengerti untuk menggunakan alat-alat teknologi pintar itu dengan bertanggung-jawab.

"Pinjamlah punya mami," kataku. Dan kamu pun tak keberatan memakai hp pinjaman, untuk sekedar chatting dengan teman-teman sekolahmu. Setelah selesai, mamimu akan mengintip sedikit-sedikit apa yang kamu obrolkan dengan teman-temanmu melalui alat teknologi yang menakjubkan itu. Kamu pasti tahu hal itu, tapi kamu tak pernah komplain.

Kamu sudah berteman akrab dengan teknologi, tetapi kamu selalu memintaku untuk menceritakan masa kecilku. Walaupun aku selalu beralasan bahwa masa kecilku tidak menarik, tetapi cerita masa kecilku itu bagimu tetaplah merupakan kisah yang luar biasa, dan kamu selalu menyimaknya dengan antusias dan mata yang berbinar; tentang petualanganku bermain lumpur di sawah dan kerbau di kubangan, tentang kenakalanku, tentang rotan yang acapkali mendarat di kakiku, dan  tentang rapor sekolahku yang angka-angkanya selalu biru.

Mumpung masih ada waktu, aku rindu untuk bisa setiap hari mengantarmu ke sekolah, agar di perjalanan bisa kuceritakan apa saja kepadamu.

Banyak temanku bilang kamu sangat mirip denganku; rupamu, gayamu, sifatmu, bahkan kegemaranmu dalam banyak hal. Aku tak tahu apakah benar demikian.
Tapi kamu memang pernah bilang bahwa kamu kelak ingin seperti aku. "
I want to be like papi," katamu suatu hari dalam perjalanan ke sekolah.

Aku ragu, benarkah kamu ingin seperti aku? Seandainya kamu telah mendengar dengan lengkap seluruh riwayat hidupku, masihkah kamu ingin menjadi seperti aku?

Ah. Harusnya kutulis ini semalam seusai kita makan bersama, tepat di hari ulang tahunmu, tetapi terpaksa aku tunda karena mataku berat.

Selamat ulang tahun, Nak. Jika kelak kamu telah menjadi orang nanti, tetaplah menjadi sederhana, kerjakanlah panggilan hidupmu untuk melayani, sebab nilai dari seseorang bukanlah dari seberapa banyak yang ia punyai, melainkan seberapa banyak yang ia berikan. Semoga Tuhan Yesus bangga kepadamu.

***

Serpong, 16 Sep 2017
Titus J.

No comments:

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...