Skip to main content

Gen Z Nepal

Tidak terduga tiba-tiba Nepal chaos.

Negara yang alamnya eksotik dan menjadi tujuan para penakluk Mount Everest ini ternyata menyimpan bara tersembunyi dalam jiwa rakyatnya. Jarak waktunya belum sebulan dari kejadian rusuh di Indonesia akhir Agustus yang lalu.

Perlawanan rakyat terhadap penguasa memang menular dari satu negara ke negara lain. Hal ini telah dibuktikan oleh sejarah.

Di tahun 2010 - 2011, kita mengenal “Arab Spring”, dimana protes besar-besaran terjadi bagai gelombang lautan. Maka tumbanglah President Tunisia, Zine El Abidine Ben Ali. Dari Tunisia menular ke Mesir, dan tumbanglah President Hosni Mubarak, menular ke Libya menumbangkan Muammar Gaddafi, menular ke Yaman mendongkel Presiden Ali Abdullah Saleh.

Akar permasalahannya selalu berulang, yaitu korupsi dan kesewenang-wenangan penguasa, krisis lapangan pekerjaan, dan kesenjangan sosial.

Di Indonesia dan di Nepal, penyebabnya mirip dengan Arab Spring, tetapi ditambah trigger baru: para elit suka pamer (flexing) gaya hidup mewah sementara rakyat susah, plus joget provokatif.

Pada waktu Arab Spring itu, ada tool yang sangat efektif menggerakkan massa: media sosial (medsos). Waktu itu Facebook, Twitter dan Youtube. Itu pun sudah sangat powerful. Apalagi sekarang dengan adanya Instagram dan TikTok, yang bisa update kejadian secara live.

Pada rusuh Indonesia kemarin, kita dikejutkan dengan banyaknya anak-anak muda cerdas dan berani yang tampil di medsos. Mereka lebih cerdas daripada anggota DPR dan menteri (atau mungkin belum kelihatan ada menteri yang cerdas)

Apakah Nepal terinspirasi oleh Indonesia? Mungkin saja. Bukankah internet membuat tidak ada yang tersembunyi di bawah matahari? Menurut berita, demonstrasi di Nepal digerakkan oleh Gen Z. Mereka tidak sudi masa depan mereka dirampas oleh penguasa korup.

Kesalahan fatal pemerintah Nepal adalah memblokir akses ke medsos, agar yang buruk-buruk tidak tersebar. Loh, tidakkah mereka mengerti bahwa medsos adalah “3/4 nyawa” Gen Z ini? 

Dan kita tahu apa yang selanjutnya terjadi di Nepal. Dengan sisa 1/4 nyawa ini, para Gen Z yang sudah muak ini meluapkan kemarahan mereka sejadi-jadinya.

Walaupun di Indonesia dan Nepal sama-sama rusuh, para mahasiswa Gen Z di Indonesia masih lebih sabar daripada amuk Gen Z di Nepal. Di Indonesia tidak ada menteri yang dikejar dan ditelanjangi seperti di Nepal.

***

Serpong, 12 Sep 2025

Titus J.


Comments

Popular posts from this blog

Eisenhower, The Top Figure Army General, The Modest President

This is a portrait of Dwight D. Eisenhower, a young dreamer, charting a course from Abilene, Kansas, to West Point and beyond. Before becoming the 34th president (two terms from 1953 to 1961), Ike –as he was called–  was a five-star general in the U.S. Army during World War II and served as Supreme Commander of the Allied Expeditionary Force in Europe. This book reveals the journey of the man who worked with incredible subtlety to move events in the direction he wished them to go. In both war and peace, he gave the world confidence in American leadership. In the war period, Ike commanded the largest multinational force ever assembled to fight German troops in leading the Western powers to victory.  During his presidency, he ended a three-year war in Korea with honor and dignity. Not a single American died in combat for the next eight years. He resisted calls for preventive war against the Soviet Union and China, faced down Khruschev over Berlin, and restored stability in Leban...

Bertrand Russell Critical Analysis on Western Philosophy

“Philosophy is something intermediate between theology and science,” said Bertrand Russell. Theology and science occupy their own territory. All definite knowledge belongs to science, all dogma as to what surpasses definite knowledge belongs to theology. Between theology and science there is No Man’s Land, exposed to attack from both sides. For that the philosophy is present. The No Man’s Land is philosophy. Then he added, “Philosophical conceptions are a product of two factors: one, inherited religious and ethical conceptions; the other, the sort of investigation which may be called ‘scientific’.” Bertrand Russell who was born in 1872, he himself was a British philosopher as well as mathematician, logician, historian, writer, and social critic. In this book, which was firstly published in 1945, Russell divided the philosophy chronologically into three parts: Ancient Philosophy, Catholic Philosophy and Modern Philosophy. This book is a widely read and influential philosophical history ...

Jesus Way Tak Segampang Busway

Jesus Way yang diartikan “cara Yesus” atau “jalan Yesus” tampaknya berupa jalan sempit dan sedikit orang menyukainya/memilihnya. Ini pernah dikatakan oleh Yesus sendiri: “ Karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya .” (Matius 7:14). Semua orang, atau sebagian besar orang, memilih jalan lebar tanpa hambatan agar sebisa mungkin lebih cepat sampai tujuan. Jalan sempit hanya memperlama waktu, tidak efektif, dan tidak sesuai tuntutan zaman yang serba cepat dan instan. Sebenarnya jalan sempit tidak apa-apa asalkan lancar. Ternyata tidak. Jesus way bukan seperti jalur khusus bus atau busway di Jakarta. Busway – walaupun sempit, hanya pas untuk satu bus – memberikan privilege karena dikhususkan untuk bus tanpa ada hambatan apapun. Ikut melaju di busway enak sekali, diprioritaskan, tidak ikut ngantri bermacet-macetan di jalan. Jesus way tidak seperti busway . Dulu ada kisah seorang anak muda yang kaya raya, yang sedang mencar...