Skip to main content

Pilpres: Memilih Etika

 

Saya nemu file sepuluh tahun lalu ini. Judulnya “Jokowi or Prabowo?” Artikel ini saya tulis untuk koran The Jakarta Post di Readers’ Forum tanggal 2 April 2014.

Ini awal saya mendukung Jokowi di pilpres. Kemenangannya saya rayakan bersama teman-teman yang sepemikiran: ingin punya pemimpin yang sederhana, merakyat, dan bersih.

Dan keinginan itu terjawab dengan kinerjanya selama lima tahun. Saat itu Jokowi sering dihina dan dilecehkan, tetapi ia tak ambil pusing.

Hal lain yang membesarkan hati, kita melihat keluarganya pun biasa-biasa saja. Gibran jualan martabak, Kaesang jualan pisang, Kahiyang seorang putri yang tidak menonjol sebagai putri Presiden. Ketiga anak ini betul-betul jauh dari sorotan dan tidak pernah ngerecokin bapaknya.

Lalu Jokowi maju lagi di pilpres untuk kedua kalinya. Saya nyoblos dia lagi. Ia adalah role model yang memberi harapan.

Di periode kedua ini, Jokowi punya grip yang semakin kuat dalam memegang kendali pemerintahan. Jika tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi hanya 60 persen di tahun 2021, pelan-pelan menanjak sampai 75 - 80 persen di akhir tahun lalu.

Dengan tingkat kepuasan publik setinggi itu, ia dipuji bagai dewa. Orang melihat apa yang dilakukannya selalu benar.

Benarkah ia tak pernah salah, dan tak bisa salah?

Saya banyak menulis tentang Jokowi, tentang pencapaiannya plus kesederhanaannya. Kombinasi antara pencapaian dan kesederhanaan ini jarang dimiliki oleh seorang pemimpin. Ia pernah mengatakan, jika selesai tugasnya sebagai presiden, ia akan menjadi rakyat biasa. Saya kagum dengan statement ini, seperti kekaguman saya kepada Barack Obama yang setelah lengser sebagai presiden Amerika menjadi rakyat biasa.

Tetapi tiba-tiba dalam beberapa bulan terakhir ini semua gambar saya dalam profil Jokowi menjadi ambyar. Banyak sekali laku politiknya yang sulit dipahami, terutama setelah anak sulungnya dikarbit menjadi cawapres dengan melukai konstitusi.

Pada pilpres ini, betapa etika sangat dihina. Tetapi saya tetap akan berpihak pada etika, walaupun mungkin akan kalah.

(Ethics is knowing the difference between what you have a right to do and what is right to do – Potter Stewart)

***

Serpong, 9 Feb 2024

Titus J.

Comments

Popular posts from this blog

Eisenhower, The Top Figure Army General, The Modest President

This is a portrait of Dwight D. Eisenhower, a young dreamer, charting a course from Abilene, Kansas, to West Point and beyond. Before becoming the 34th president (two terms from 1953 to 1961), Ike –as he was called–  was a five-star general in the U.S. Army during World War II and served as Supreme Commander of the Allied Expeditionary Force in Europe. This book reveals the journey of the man who worked with incredible subtlety to move events in the direction he wished them to go. In both war and peace, he gave the world confidence in American leadership. In the war period, Ike commanded the largest multinational force ever assembled to fight German troops in leading the Western powers to victory.  During his presidency, he ended a three-year war in Korea with honor and dignity. Not a single American died in combat for the next eight years. He resisted calls for preventive war against the Soviet Union and China, faced down Khruschev over Berlin, and restored stability in Leban...

Bertrand Russell Critical Analysis on Western Philosophy

“Philosophy is something intermediate between theology and science,” said Bertrand Russell. Theology and science occupy their own territory. All definite knowledge belongs to science, all dogma as to what surpasses definite knowledge belongs to theology. Between theology and science there is No Man’s Land, exposed to attack from both sides. For that the philosophy is present. The No Man’s Land is philosophy. Then he added, “Philosophical conceptions are a product of two factors: one, inherited religious and ethical conceptions; the other, the sort of investigation which may be called ‘scientific’.” Bertrand Russell who was born in 1872, he himself was a British philosopher as well as mathematician, logician, historian, writer, and social critic. In this book, which was firstly published in 1945, Russell divided the philosophy chronologically into three parts: Ancient Philosophy, Catholic Philosophy and Modern Philosophy. This book is a widely read and influential philosophical history ...

Jesus Way Tak Segampang Busway

Jesus Way yang diartikan “cara Yesus” atau “jalan Yesus” tampaknya berupa jalan sempit dan sedikit orang menyukainya/memilihnya. Ini pernah dikatakan oleh Yesus sendiri: “ Karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya .” (Matius 7:14). Semua orang, atau sebagian besar orang, memilih jalan lebar tanpa hambatan agar sebisa mungkin lebih cepat sampai tujuan. Jalan sempit hanya memperlama waktu, tidak efektif, dan tidak sesuai tuntutan zaman yang serba cepat dan instan. Sebenarnya jalan sempit tidak apa-apa asalkan lancar. Ternyata tidak. Jesus way bukan seperti jalur khusus bus atau busway di Jakarta. Busway – walaupun sempit, hanya pas untuk satu bus – memberikan privilege karena dikhususkan untuk bus tanpa ada hambatan apapun. Ikut melaju di busway enak sekali, diprioritaskan, tidak ikut ngantri bermacet-macetan di jalan. Jesus way tidak seperti busway . Dulu ada kisah seorang anak muda yang kaya raya, yang sedang mencar...