Skip to main content

Nyalimu Pak!

“Saya ditakut-takuti, diancam, ada intelijen asing bergerak kalau kita ambil alih Freeport,” kata Presiden Jokowi dalam pertemuannya dengan Bara JP hari Minggu yang lalu.

Cerita Jokowi ini memang sepercik kisah dalam proses panjang pengambil-alihan saham Freeport dimana sebelumnya Indonesia cuma punya 9% saham saja. Jokowi maunya menjadi 51% sehingga bisa menjadi pengendali.

Bicara mengenai Freeport tidak bisa lepas dari sejarah dan politik. Dimulai tahun 1960an ketika Amerika Serikat mendukung dan mengakui bahwa Irian Barat adalah bagian dari wilayah kedaulatan RI. Titik itu merupakan pintu masuk kehadiran Freeport di Papua melalui Kontrak Karya yang ditanda-tangani oleh (alm) Presiden Suharto di tahun 1967. Tetapi bertahun-tahun Indonesia cuma punya saham yang kecil.

Setiap kali Indonesia mengajak berunding dengan Freeport, baik soal pembangunan smelter maupun soal peningkatan saham menjadi pemegang mayoritas, Freeport selalu berada di atas angin. Berbagai ancaman seperti akan membawa perkara ini ke arbitrase, PHK besar-besaran sampai penghentian produksi adalah “senjata” Freeport untuk tidak meladeni Indonesia. Terlebih lagi, CEO Freeport sebelumnya, Bob Moffett memiliki akses langsung ke Presiden. Jadi kalau ada sedikit ganjalan, Moffett langsung “mengadu” ke Presiden, dan hasilnya bertahun-tahun proses tersebut mentah.

Tapi Jokowi berbeda. Ia ngotot.

Ia tidak mau ketemu dengan CEO Freeport Richard Adkerson langsung. Ia tugaskan tiga Menterinya untuk negosiasi.

“Banyak sekali laporan ke saya bahwa kalau kita ambil alih Freeport, saya bisa jatuh sebagai Presiden,” cerita Jokowi.

“Lho kalau saya jatuh, ya jadi rakyat biasa dong.. wong sebelumnya saya juga rakyat kan?”

Proses yang panjang itu akhirnya membuahkan hasil pada tahun 2018. Indonesia bisa mengambil alih saham sebesar 42% lagi senilai USD 3,85 Milyar (setara dengan Rp. 56,1 Trilyun) sehingga total kepemilikan saham Indonesia adalah 51%.

Direktur Utama PT. Freeport Indonesia Tony Wenas mengungkapkan, bahwa apa yang kita bayarkan untuk membeli saham Freeport sebesar USD 3,85 Milyar itu akan segera balik modal di tahun 2024.

Proses itu tidak mudah, tetapi kita harus punya nyali,” kata Jokowi.

Bener, nyalimu itu Pak!

***

Serpong, 20 Jun 2023

Titus J.

Comments

Popular posts from this blog

Eisenhower, The Top Figure Army General, The Modest President

This is a portrait of Dwight D. Eisenhower, a young dreamer, charting a course from Abilene, Kansas, to West Point and beyond. Before becoming the 34th president (two terms from 1953 to 1961), Ike –as he was called–  was a five-star general in the U.S. Army during World War II and served as Supreme Commander of the Allied Expeditionary Force in Europe. This book reveals the journey of the man who worked with incredible subtlety to move events in the direction he wished them to go. In both war and peace, he gave the world confidence in American leadership. In the war period, Ike commanded the largest multinational force ever assembled to fight German troops in leading the Western powers to victory.  During his presidency, he ended a three-year war in Korea with honor and dignity. Not a single American died in combat for the next eight years. He resisted calls for preventive war against the Soviet Union and China, faced down Khruschev over Berlin, and restored stability in Leban...

Bertrand Russell Critical Analysis on Western Philosophy

“Philosophy is something intermediate between theology and science,” said Bertrand Russell. Theology and science occupy their own territory. All definite knowledge belongs to science, all dogma as to what surpasses definite knowledge belongs to theology. Between theology and science there is No Man’s Land, exposed to attack from both sides. For that the philosophy is present. The No Man’s Land is philosophy. Then he added, “Philosophical conceptions are a product of two factors: one, inherited religious and ethical conceptions; the other, the sort of investigation which may be called ‘scientific’.” Bertrand Russell who was born in 1872, he himself was a British philosopher as well as mathematician, logician, historian, writer, and social critic. In this book, which was firstly published in 1945, Russell divided the philosophy chronologically into three parts: Ancient Philosophy, Catholic Philosophy and Modern Philosophy. This book is a widely read and influential philosophical history ...

Jesus Way Tak Segampang Busway

Jesus Way yang diartikan “cara Yesus” atau “jalan Yesus” tampaknya berupa jalan sempit dan sedikit orang menyukainya/memilihnya. Ini pernah dikatakan oleh Yesus sendiri: “ Karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya .” (Matius 7:14). Semua orang, atau sebagian besar orang, memilih jalan lebar tanpa hambatan agar sebisa mungkin lebih cepat sampai tujuan. Jalan sempit hanya memperlama waktu, tidak efektif, dan tidak sesuai tuntutan zaman yang serba cepat dan instan. Sebenarnya jalan sempit tidak apa-apa asalkan lancar. Ternyata tidak. Jesus way bukan seperti jalur khusus bus atau busway di Jakarta. Busway – walaupun sempit, hanya pas untuk satu bus – memberikan privilege karena dikhususkan untuk bus tanpa ada hambatan apapun. Ikut melaju di busway enak sekali, diprioritaskan, tidak ikut ngantri bermacet-macetan di jalan. Jesus way tidak seperti busway . Dulu ada kisah seorang anak muda yang kaya raya, yang sedang mencar...