Skip to main content

Barabas Pulang

Renungan Jumat Agung

Hari Jumat itu, di sebuah warung remang-remang, Barabas minum anggur hingga mabuk. Ia merayakan pembebasannya bersama dengan kawan-kawannya yang sebenarnya sudah melupakannya.

Sebenarnya mereka telah mencoret nama Barabas dari anggota gerombolan para pemberontak itu begitu mereka tahu Barabas telah dijatuhi hukuman mati. Mereka menantikan kabar kapan eksekusi mati di tiang salib akan dilakukan, lalu mereka akan memberikan penghormatan terakhir ala kadarnya.

Tetapi tiba-tiba di Jumat pagi itu terjadi hiruk-pikuk di depan gedung pengadilan di Yerusalem. Berita begitu cepat menyebar ke segala penjuru kota bahkan hingga ke bilik-bilik tertutup tempat gerombolan kawan-kawan Barabas itu bersembunyi.

“Ada lotre!” kata seseorang.

“Tuan Gubernur akan melotre satu orang kriminal untuk dibebaskan!” kata yang lain.

Benar. Pada hari raya Paskah orang Yahudi, sesuai tradisi, penguasa Romawi akan membebaskan satu orang terpidana mati. Ada banyak terpidana mati yang meringkuk dalam penjara, dan keputusan pada hari Jumat itu benar-benar seperti lotre karena tak seorang pun tahu siapa yang bakal dibebaskan.

Semua orang menanti dengan berdebar-debar.

Dari atas balkon gedung pengadilan, Pilatus berteriak, “Siapa yang kalian kehendaki untuk kubebaskan, Yesus atau Barabas?”

Dua-duanya nama yang terkenal.

Barabas sudah mendekam dalam penjara beberapa tahun. Yesus baru ditangkap semalam sebelumnya di taman Getsemani, diadili semalam-malaman secara marathon oleh para pemuka agama, dan hari itu mereka menyerahkan Yesus kepada Pilatus untuk menuntut vonis.

“Yesus atau Barabas, saudara-saudara???!!!” Pilatus mengulangi pertanyaannya dengan teriak yang lantang.

Pertanyaan Pilatus ini sebenarnya hanyalah basa-basi belaka, karena kedua calon yang disebut itu bukanlah calon yang sepadan dan seimbang. Sebelumnya Pilatus telah menginterogasi Yesus, tetapi tidak menemukan kesalahan apapun. Bolak-balik ia keluar masuk gedung, berbicara dengan Yesus sebagai terdakwa, lalu bertanya kepada massa sebagai penuntut, tetapi tetap tidak ada dasar hukum untuk menghukum Yesus.

Tiba-tiba entah siapa yang memulai, dari antara kerumunan massa ada yang berteriak, “Bebaskan Barabas!”

Pilatus kaget. Seluruh rakyat tahu bahwa Barabas adalah penjahat yang berbahaya karena selain seorang pemberontak juga pembunuh yang brutal.

Pilatus terdiam. Dalam benaknya ia berpikir, rakyat seharusnya memintanya agar segera mengeksekusi Barabas, tetapi mengapa mereka malah menghendaki Barabas dibebaskan?

Dengan ragu Pilatus bertanya, “Jadi… hmm… apa yang harus kulakukan kepada Yesus ini?”

“Salibkan Dia!!!” kata seseorang dari antara kerumunan. Seruan ini begitu lantang dan nadanya begitu memprovokasi. Bagaikan bensin yang disiramkan ke atas bara api, suasana di depan gedung itu menjadi semakin panas membakar.

Dan, demi mendengar seruan itu, maka yang lain pun berteriak, “Salibkan Dia! Salibkan Dia!”

Massa mengepalkan tangan dan merangsek maju mendekati tentara yang berjaga membentuk pagar betis.

“Kalian menuntut agar aku menyalibkan Yesus, tetapi kejahatan apa yang telah dilakukan-Nya?” teriak Pilatus kepada massa. Tetapi teriakan “Salibkan Dia!!!” makin membahana membelah langit.

Pilatus masih berbicara, tetapi suaranya tertelan oleh gemuruh massa yang makin keras berteriak: “Salibkan Dia!!!”

Betapa dalil “pokoknya” sungguh berkuasa, lebih berkuasa daripada penguasa Romawi di Yerusalem saat itu.

Akhirnya massa menang dengan teriakan mereka. Mereka menang karena dalil “pokoknya”, terserah mau pakai alasan apa, pokoknya Yesus harus mati.

Pilatus mengambil baskom berisi air dan mencuci tangannya di depan massa, dan memberi kode kepada komandan tentaranya.

Lalu Yesus digelandang oleh tentara dengan tangan terbelenggu. Massa yang sempat mendekat kemudian meninju muka-Nya dan meludahi wajah-Nya.

Beberapa saat kemudian, terlihat Barabas digelandang oleh tentara keluar gedung pengadilan dengan pergelangan tangan yang lebam bekas belenggu. Tidak jelas, apakah belenggu yang mengikat tangan Yesus adalah belenggu bekas dari tangan Barabas.

Barabas menghirup dalam-dalam udara bebas. Baginya udara pagi itu begitu segar walaupun di luar gedung pengadilan begitu pengap karena penuh sesak dengan massa yang terus berteriak.

Hari Jumat itu menjadi hari yang sangat indah bagi Barabas. Ia melihat gedung pengadilan dengan pandangan tak percaya, karena disitulah beberapa tahun yang lalu ia divonis mati.

Malam sebelumnya ia hanya melihat tiang salib yang bakal menggantung tubuhnya. Ia tak bisa membayangkan kesakitan yang bakal dirasanya ketika paku menembus tangan dan kakinya, lalu salib ditegakkan. Tentara-tentara Romawi yang dingin itu akan membiarkan matahari terik memanggang tubuhnya yang mengucur darah… sampai darahnya mengering, sampai ia mati pelan-pelan.

Dari tempat duduknya di warung minum itu, bulu kuduknya tiba-tiba berdiri ketika pikirannya melayang ke bukit Golgota, tempat para terpidana mati dieksekusi di atas tiang salib. Bukit yang berarti “tempat tengkorak” itu memang menyeramkan karena penuh tumpukan tengkorak dan tulang-belulang yang berserakan.

Ia menuangkan lagi anggur ke gelasnya, lalu menenggaknya dengan cepat.

“Mimpi apa kau semalam, Barabas? Semestinya besok atau lusa tubuhmu sudah membusuk di bukit itu,” kata pemilik warung itu.

“Hmmm…”

“Beruntung kau, Barabas!” kata salah satu kawannya.

Kawan-kawannya tahu persis Barabas yang hidupnya penuh kekerasan dan kebengisan.

“Hmmm…”

Barabas hanya bisa menjawab dengan sendawa karena terlalu banyak minum anggur. Ia tak mengerti mengapa nyawanya yang siap terbang itu masih melekat di raganya. Ia tak memperjuangkan apa-apa untuk nyawanya yang cuma sehelai itu. Yang ia tahu tadi pagi tentara Romawi itu tiba-tiba menyuruhnya pulang.

Dan begitulah, ia pulang begitu saja.

Malam semakin larut. Barabas terkapar di bale-bale warung itu.

Sementara itu, salib yang harusnya untuk menggantung tubuhnya telah berdiri tegak di Golgota, berlumuran darah, tetapi bukan darahnya.

“You contribute nothing to your salvation except the sin that made it necessary." - Jonathan Edwards.

***

Serpong, 14 Apr 2022

Titus J.

Comments

Popular posts from this blog

Eisenhower, The Top Figure Army General, The Modest President

This is a portrait of Dwight D. Eisenhower, a young dreamer, charting a course from Abilene, Kansas, to West Point and beyond. Before becoming the 34th president (two terms from 1953 to 1961), Ike –as he was called–  was a five-star general in the U.S. Army during World War II and served as Supreme Commander of the Allied Expeditionary Force in Europe. This book reveals the journey of the man who worked with incredible subtlety to move events in the direction he wished them to go. In both war and peace, he gave the world confidence in American leadership. In the war period, Ike commanded the largest multinational force ever assembled to fight German troops in leading the Western powers to victory.  During his presidency, he ended a three-year war in Korea with honor and dignity. Not a single American died in combat for the next eight years. He resisted calls for preventive war against the Soviet Union and China, faced down Khruschev over Berlin, and restored stability in Leban...

Bertrand Russell Critical Analysis on Western Philosophy

“Philosophy is something intermediate between theology and science,” said Bertrand Russell. Theology and science occupy their own territory. All definite knowledge belongs to science, all dogma as to what surpasses definite knowledge belongs to theology. Between theology and science there is No Man’s Land, exposed to attack from both sides. For that the philosophy is present. The No Man’s Land is philosophy. Then he added, “Philosophical conceptions are a product of two factors: one, inherited religious and ethical conceptions; the other, the sort of investigation which may be called ‘scientific’.” Bertrand Russell who was born in 1872, he himself was a British philosopher as well as mathematician, logician, historian, writer, and social critic. In this book, which was firstly published in 1945, Russell divided the philosophy chronologically into three parts: Ancient Philosophy, Catholic Philosophy and Modern Philosophy. This book is a widely read and influential philosophical history ...

Jesus Way Tak Segampang Busway

Jesus Way yang diartikan “cara Yesus” atau “jalan Yesus” tampaknya berupa jalan sempit dan sedikit orang menyukainya/memilihnya. Ini pernah dikatakan oleh Yesus sendiri: “ Karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya .” (Matius 7:14). Semua orang, atau sebagian besar orang, memilih jalan lebar tanpa hambatan agar sebisa mungkin lebih cepat sampai tujuan. Jalan sempit hanya memperlama waktu, tidak efektif, dan tidak sesuai tuntutan zaman yang serba cepat dan instan. Sebenarnya jalan sempit tidak apa-apa asalkan lancar. Ternyata tidak. Jesus way bukan seperti jalur khusus bus atau busway di Jakarta. Busway – walaupun sempit, hanya pas untuk satu bus – memberikan privilege karena dikhususkan untuk bus tanpa ada hambatan apapun. Ikut melaju di busway enak sekali, diprioritaskan, tidak ikut ngantri bermacet-macetan di jalan. Jesus way tidak seperti busway . Dulu ada kisah seorang anak muda yang kaya raya, yang sedang mencar...