Skip to main content

Rantang Marta


Sejak pagi Marta telah berdandan dengan cantik. Ia menuju ke dapur dan mengecek semua persediaan yang diperlukannya untuk tamunya. Kemudian dengan tergopoh-gopoh ia menuju bilik tempat Maria, saudaranya tidur.

"Kau tidak bersiap menyambut Guru?" sergah Marta dengan nada jengkel. Ditariknya selimut yang masih melingkari tubuh Maria dengan rapat. Ia menuju jendela yang hanya berupa lubang tanpa tirai di tengah bilik itu, lalu menjulurkan kepalanya keluar. "Lihat, Maria, merah di Timur sana sudah mulai pecah, sebentar lagi menguning dan terang!" katanya lagi. Maria bangkit dan bergegas ke belakang.

Sehari-hari kampung di Betania itu begitu damai dan tenang, tetapi hari itu tiba-tiba berubah ramai. Ada kabar melompat dari mulut ke mulut bahwa seorang Pengajar keliling akan lewat dan mampir ke rumah Maria dan Marta.

Matahari sudah tinggi ketika Yesus, Sang Pengajar keliling itu sampai di rumah mereka. Marta melompat ke dapur dan berdenting-dentanglah suara peralatan dapurnya. Ia benar-benar penguasa di situ. Lama ia tenggelam menyiapkan hidangan terlezat demi hormatnya kepada Tamunya. Ia melakukannya dengan total. Kemudian keluarlah ia membawa rantang yang dari dalamnya mengepul asap memenuhi ruangan dengan aroma yang menggugah selera.

"Ya ampuuun..," katanya. 
Ia melihat Maria sedang duduk manis dekat kaki Yesus, mendengarkan Yesus berbicara dan tepekur memandang wajah-Nya tanpa berkedip. Tak sedikitpun Maria melirik rantang yang sedang dibawanya dengan uap panas mengepul, tak pula ia membantunya meletakkan rantang itu di atas meja.

"Guru, tidakkah Engkau melihat saudaraku cuek membiarkan aku pontang-panting menyiapkan ini? Suruhlah ia membantuku dong.. Semua ini untuk-Mu!" Marta nyerocos kesal.

Yesus tersenyum. "Marta, Marta, Aku kemari untuk ngobrol denganmu. Tapi sejak Aku datang kau malah sibuk sendiri, untuk sesuatu yang sementara. Maria telah memilih yang terbaik, yang paling berharga, yang tak akan hilang," kata Yesus.

Tak ada saat yang lebih berharga daripada menghabiskan waktu bersama yang terkasih.
Marta tertegun memegang rantangnya. Aroma harum yang keluar dari rantang itu seperti lenyap seketika.

***
Serpong, 12 Jul 2019
Titus J.

Comments

Popular posts from this blog

Eisenhower, The Top Figure Army General, The Modest President

This is a portrait of Dwight D. Eisenhower, a young dreamer, charting a course from Abilene, Kansas, to West Point and beyond. Before becoming the 34th president (two terms from 1953 to 1961), Ike –as he was called–  was a five-star general in the U.S. Army during World War II and served as Supreme Commander of the Allied Expeditionary Force in Europe. This book reveals the journey of the man who worked with incredible subtlety to move events in the direction he wished them to go. In both war and peace, he gave the world confidence in American leadership. In the war period, Ike commanded the largest multinational force ever assembled to fight German troops in leading the Western powers to victory.  During his presidency, he ended a three-year war in Korea with honor and dignity. Not a single American died in combat for the next eight years. He resisted calls for preventive war against the Soviet Union and China, faced down Khruschev over Berlin, and restored stability in Leban...

Bertrand Russell Critical Analysis on Western Philosophy

“Philosophy is something intermediate between theology and science,” said Bertrand Russell. Theology and science occupy their own territory. All definite knowledge belongs to science, all dogma as to what surpasses definite knowledge belongs to theology. Between theology and science there is No Man’s Land, exposed to attack from both sides. For that the philosophy is present. The No Man’s Land is philosophy. Then he added, “Philosophical conceptions are a product of two factors: one, inherited religious and ethical conceptions; the other, the sort of investigation which may be called ‘scientific’.” Bertrand Russell who was born in 1872, he himself was a British philosopher as well as mathematician, logician, historian, writer, and social critic. In this book, which was firstly published in 1945, Russell divided the philosophy chronologically into three parts: Ancient Philosophy, Catholic Philosophy and Modern Philosophy. This book is a widely read and influential philosophical history ...

Jesus Way Tak Segampang Busway

Jesus Way yang diartikan “cara Yesus” atau “jalan Yesus” tampaknya berupa jalan sempit dan sedikit orang menyukainya/memilihnya. Ini pernah dikatakan oleh Yesus sendiri: “ Karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya .” (Matius 7:14). Semua orang, atau sebagian besar orang, memilih jalan lebar tanpa hambatan agar sebisa mungkin lebih cepat sampai tujuan. Jalan sempit hanya memperlama waktu, tidak efektif, dan tidak sesuai tuntutan zaman yang serba cepat dan instan. Sebenarnya jalan sempit tidak apa-apa asalkan lancar. Ternyata tidak. Jesus way bukan seperti jalur khusus bus atau busway di Jakarta. Busway – walaupun sempit, hanya pas untuk satu bus – memberikan privilege karena dikhususkan untuk bus tanpa ada hambatan apapun. Ikut melaju di busway enak sekali, diprioritaskan, tidak ikut ngantri bermacet-macetan di jalan. Jesus way tidak seperti busway . Dulu ada kisah seorang anak muda yang kaya raya, yang sedang mencar...