Skip to main content

The Power of Ikhlas

(Kisah Dua Janda - Part 2)

Ah, satu lagi seorang janda telah membikin malu kita, pada suatu masa, ketika kelaparan hebat melanda tanah Israel.

Di Sarfat janda itu hidup, tak kalah miskin daripada janda yang mempersembahkan dua peser itu di bait Allah. Lalu mampirlah Nabi Elia.

“Buatkan bagiku sepotong roti,” kata Elia.
“Maaf Tuan, aku hanya punya segenggam tepung dan sedikit minyak, yang hanya cukup untukku dan anakku pada hari ini, dan besok aku tidak punya apa-apa lagi, selain kain kafan yang sudah kusiapkan untukku dan anakku,” jawab janda itu. Tetapi Elia menjawab, “Bikinkan roti untukku terlebih dahulu, baru untukmu dan anakmu.”

"Duhai Nabi, Tuan sungguh tidak punya rasa," pikir janda itu. Wajar ia berpikir demikian, karena Nabi itu meminta makan padanya di saat paceklik dan janda itu hanya punya nafas sehari lagi, dan itupun dimintanya pula?

Janda itu memandang anaknya yang tergolek memegangi perutnya yang mulai perih. Tetapi mata Elia seakan berbicara.

Janda itu, walaupun dengan hati nelangsa, toh merelakan bagiannya untuk diambil bagi orang lain. “Jika makananku kuberikan kepada Nabi ini aku mati sekarang, jika tak kuberikan, aku mati besok. Ah sudahlah, mati hari ini dan besok tak jauh beda,” pikirnya. Dan iapun pasrah, memegangi imannya yang masih tersisa, walau tinggal setitik kecil.

"Ambillah Tuan, redakan rasa laparmu," katanya sambil menyajikan roti yang baru diangkat dari penggorengan. Semerbaklah harum roti yang cuma sekerat itu. Ia melihat anaknya berjuang menahan air liurnya yang hampir menetes. Ia memalingkan muka. Matanya basah.

Apakah kita bangga dengan kekayaan kita karena mampu memberi banyak? Bukankah memberi banyak di saat punya banyak adalah soal biasa? Sebaliknya, bukankah istimewa jika kita masih bisa memberi di saat kekurangan? “We are rich only through what we give, and poor only through what we refuse,” kata Ralph Waldo Emerson.

Dua orang janda itu bukan siapa-siapa. Namanyapun tidak dicatat oleh penulis kitab suci. Tetapi mereka telah menjadi icon persembahan yang tulus dan ikhlas. Merekalah sebenarnya orang-orang kaya yang berbahagia.

***
Serpong, 20 Jun 2019

Titus J.

Comments

Popular posts from this blog

Eisenhower, The Top Figure Army General, The Modest President

This is a portrait of Dwight D. Eisenhower, a young dreamer, charting a course from Abilene, Kansas, to West Point and beyond. Before becoming the 34th president (two terms from 1953 to 1961), Ike –as he was called–  was a five-star general in the U.S. Army during World War II and served as Supreme Commander of the Allied Expeditionary Force in Europe. This book reveals the journey of the man who worked with incredible subtlety to move events in the direction he wished them to go. In both war and peace, he gave the world confidence in American leadership. In the war period, Ike commanded the largest multinational force ever assembled to fight German troops in leading the Western powers to victory.  During his presidency, he ended a three-year war in Korea with honor and dignity. Not a single American died in combat for the next eight years. He resisted calls for preventive war against the Soviet Union and China, faced down Khruschev over Berlin, and restored stability in Leban...

Bertrand Russell Critical Analysis on Western Philosophy

“Philosophy is something intermediate between theology and science,” said Bertrand Russell. Theology and science occupy their own territory. All definite knowledge belongs to science, all dogma as to what surpasses definite knowledge belongs to theology. Between theology and science there is No Man’s Land, exposed to attack from both sides. For that the philosophy is present. The No Man’s Land is philosophy. Then he added, “Philosophical conceptions are a product of two factors: one, inherited religious and ethical conceptions; the other, the sort of investigation which may be called ‘scientific’.” Bertrand Russell who was born in 1872, he himself was a British philosopher as well as mathematician, logician, historian, writer, and social critic. In this book, which was firstly published in 1945, Russell divided the philosophy chronologically into three parts: Ancient Philosophy, Catholic Philosophy and Modern Philosophy. This book is a widely read and influential philosophical history ...

Jesus Way Tak Segampang Busway

Jesus Way yang diartikan “cara Yesus” atau “jalan Yesus” tampaknya berupa jalan sempit dan sedikit orang menyukainya/memilihnya. Ini pernah dikatakan oleh Yesus sendiri: “ Karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya .” (Matius 7:14). Semua orang, atau sebagian besar orang, memilih jalan lebar tanpa hambatan agar sebisa mungkin lebih cepat sampai tujuan. Jalan sempit hanya memperlama waktu, tidak efektif, dan tidak sesuai tuntutan zaman yang serba cepat dan instan. Sebenarnya jalan sempit tidak apa-apa asalkan lancar. Ternyata tidak. Jesus way bukan seperti jalur khusus bus atau busway di Jakarta. Busway – walaupun sempit, hanya pas untuk satu bus – memberikan privilege karena dikhususkan untuk bus tanpa ada hambatan apapun. Ikut melaju di busway enak sekali, diprioritaskan, tidak ikut ngantri bermacet-macetan di jalan. Jesus way tidak seperti busway . Dulu ada kisah seorang anak muda yang kaya raya, yang sedang mencar...