Skip to main content

Persembahan Yang Tulus


(Kisah Dua Janda - Part 1)

Ah, janda itu.
Ia telah membikin malu kita.

Ia berjalan pelahan sambil tertunduk, karena ia rumangsa bahwa orang-orang yang memberi persembahan sebelum dia adalah orang-orang berduit, yang waktu menuju peti persembahan berjalan dengan langkah tegap dan kepala mendongak. Janda itu berjalan gemetar karena ia tahu bukan hanya orang-orang kaya yang sedang berada di bait Allah itu, tetapi Seorang Pengajar top, baru saja menyelesaikan khotbah-Nya dan sedang duduk memperhatikan.

Janda itu menggenggam rapat-rapat uang recehnya agar tak ada yang tahu berapa keping dalam genggamannya yang akan dimasukkan ke peti persembahan. Ia begitu miskin.

Semiskin apakah ia? Hari itu ia cuma punya dua peser. Peser adalah mata uang terkecil Yahudi. Jika dikonversi ke Rupiah, 1 peser kira-kira sama dengan Rp. 500 uang sekarang.

Janda miskin itu pada hari itu hanya punya Rp. 1.000. Betapa miskinnya. Ia benar-benar lebih miskin dari pengemis manapun, pemulung manapun, dan gelandangan manapun.

Mungkin janda itu sudah terbiasa melupakan perutnya. Mungkin iapun sudah terlalu biasa dengan yang namanya lapar. Ia bukan hanya hidup pas-pasan, tetapi sangat minim, sangat kurang, sangat papa. Dalam kondisi miskinnya yang tak terperi itu, toh ia masih memberi persembahan kepada Tuhan. Berapa? Seluruhnya, tanpa ia pernah berpikir perutnya yang kosong.

Walau hanya dua peser, pemberiannya mengundang kekaguman Yesus. "Janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi ia memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya," kata-Nya.

Betapa Yesus kagum akan ketulusan janda itu saat memberi dalam kekurangan. Bukan hanya itu, ia memberi semua yang ada padanya, seluruh nafkahnya, hingga tak ada sisa apa-apa. Sedangkan orang-orang kaya itu memberi sebagian kecil dari yang mereka miliki, bahkan mungkin dari sisa-sisa.

Ah, janda itu telah membikin malu kita. Ia menampar rasa bangga kita ketika kita memberi persembahan kepada Tuhan dan menyangka kita telah memberi yang terbaik.

***
Serpong, 19 Jun 2019
Titus J.

Comments

Popular posts from this blog

Eisenhower, The Top Figure Army General, The Modest President

This is a portrait of Dwight D. Eisenhower, a young dreamer, charting a course from Abilene, Kansas, to West Point and beyond. Before becoming the 34th president (two terms from 1953 to 1961), Ike –as he was called–  was a five-star general in the U.S. Army during World War II and served as Supreme Commander of the Allied Expeditionary Force in Europe. This book reveals the journey of the man who worked with incredible subtlety to move events in the direction he wished them to go. In both war and peace, he gave the world confidence in American leadership. In the war period, Ike commanded the largest multinational force ever assembled to fight German troops in leading the Western powers to victory.  During his presidency, he ended a three-year war in Korea with honor and dignity. Not a single American died in combat for the next eight years. He resisted calls for preventive war against the Soviet Union and China, faced down Khruschev over Berlin, and restored stability in Leban...

Bertrand Russell Critical Analysis on Western Philosophy

“Philosophy is something intermediate between theology and science,” said Bertrand Russell. Theology and science occupy their own territory. All definite knowledge belongs to science, all dogma as to what surpasses definite knowledge belongs to theology. Between theology and science there is No Man’s Land, exposed to attack from both sides. For that the philosophy is present. The No Man’s Land is philosophy. Then he added, “Philosophical conceptions are a product of two factors: one, inherited religious and ethical conceptions; the other, the sort of investigation which may be called ‘scientific’.” Bertrand Russell who was born in 1872, he himself was a British philosopher as well as mathematician, logician, historian, writer, and social critic. In this book, which was firstly published in 1945, Russell divided the philosophy chronologically into three parts: Ancient Philosophy, Catholic Philosophy and Modern Philosophy. This book is a widely read and influential philosophical history ...

Jesus Way Tak Segampang Busway

Jesus Way yang diartikan “cara Yesus” atau “jalan Yesus” tampaknya berupa jalan sempit dan sedikit orang menyukainya/memilihnya. Ini pernah dikatakan oleh Yesus sendiri: “ Karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya .” (Matius 7:14). Semua orang, atau sebagian besar orang, memilih jalan lebar tanpa hambatan agar sebisa mungkin lebih cepat sampai tujuan. Jalan sempit hanya memperlama waktu, tidak efektif, dan tidak sesuai tuntutan zaman yang serba cepat dan instan. Sebenarnya jalan sempit tidak apa-apa asalkan lancar. Ternyata tidak. Jesus way bukan seperti jalur khusus bus atau busway di Jakarta. Busway – walaupun sempit, hanya pas untuk satu bus – memberikan privilege karena dikhususkan untuk bus tanpa ada hambatan apapun. Ikut melaju di busway enak sekali, diprioritaskan, tidak ikut ngantri bermacet-macetan di jalan. Jesus way tidak seperti busway . Dulu ada kisah seorang anak muda yang kaya raya, yang sedang mencar...