Skip to main content

Kasih Yunarto


Saya tidak kaget jika banyak yang membenci Yunarto Wijaya, Direktur Eksekutif Charta Politika. Tetapi saya kaget ketika tahu bahwa ia menjadi salah satu target pembunuhan bersama dengan empat pejabat tinggi Indonesia yang terungkap baru-baru ini.

Biasanya sebuah plot pembunuhan bermotif politik akan menyasar pejabat penting negara. Tujuannya tak lain adalah membuat geger. Jadi empat target pejabat tinggi yang ada dalam list tersebut merupakan target vital yang bisa berdampak sangat serius secara politik apabila rencana itu terlaksana. Tetapi menyasar target seorang pemimpin lembaga survey?

Toto – panggilan akrab Yunarto – hanya seorang analis politik yang kebetulan mengelola sebuah lembaga survey. Begitu berbahayakah ia bagi seseorang atau sekelompok orang? Ia toh hanya berteman dengan angka-angka, dan semua angka yang direlease oleh lembaganya bisa dipertanggung-jawabkan karena berbasis ilmu. Angka-angka itu berbicara dengan gamblang. Lagipula, bukankah ilmu tak dapat disembunyikan? Maka Toto selalu berani untuk buka-bukaan data jika ada yang menuduhnya bermain-main angka. Ia dengan senang hati akan menjelaskan setiap lekuk dan sudut keilmuannya.

Jika target empat pejabat tinggi negara tersebut jelas bermotif politik, terhadap Toto lebih nyambung jika dikatakan bermotif teror yang rasis mengingat Toto selama ini cukup vokal (lihat tulisan saya “Vivere Pericoloso a la Yunarto Wijaya”).

Tetapi hari ini kita disuguhi sebuah drama menarik, karena sikap Toto yang merespon plot jahat itu dengan kalem. Ia memaafkan perencana maupun eksekutor yang tadinya bakal menarik pelatuk senjata yang sudah disiapkan. “Saya dan keluarga tidak dendam dan sudah memaafkan mereka,” ujarnya. Ketika Toto menyebut kata ‘keluarga’, ia pasti membayangkan bahwa ada seorang istri dan tiga orang anak-anak yang masih kecil yang selalu menunggunya pulang ke rumah. Dan anak-anak kecil ini sekarang mengulurkan maaf kepada yang hendak menghabisi ayahnya.

“Dari situasi seperti ini saya belajar tentang kasih, ketika saya bisa memaafkan mereka yang memusuhi,” sambung Toto.

Ia telah memenangkan perang tanpa sebutir pelurupun dimuntahkan, karena kasih yang ia yakini mengalahkan kebencian.

***
Serpong, 12 Jun 2019
Titus J.

Comments

Popular posts from this blog

Eisenhower, The Top Figure Army General, The Modest President

This is a portrait of Dwight D. Eisenhower, a young dreamer, charting a course from Abilene, Kansas, to West Point and beyond. Before becoming the 34th president (two terms from 1953 to 1961), Ike –as he was called–  was a five-star general in the U.S. Army during World War II and served as Supreme Commander of the Allied Expeditionary Force in Europe. This book reveals the journey of the man who worked with incredible subtlety to move events in the direction he wished them to go. In both war and peace, he gave the world confidence in American leadership. In the war period, Ike commanded the largest multinational force ever assembled to fight German troops in leading the Western powers to victory.  During his presidency, he ended a three-year war in Korea with honor and dignity. Not a single American died in combat for the next eight years. He resisted calls for preventive war against the Soviet Union and China, faced down Khruschev over Berlin, and restored stability in Leban...

Bertrand Russell Critical Analysis on Western Philosophy

“Philosophy is something intermediate between theology and science,” said Bertrand Russell. Theology and science occupy their own territory. All definite knowledge belongs to science, all dogma as to what surpasses definite knowledge belongs to theology. Between theology and science there is No Man’s Land, exposed to attack from both sides. For that the philosophy is present. The No Man’s Land is philosophy. Then he added, “Philosophical conceptions are a product of two factors: one, inherited religious and ethical conceptions; the other, the sort of investigation which may be called ‘scientific’.” Bertrand Russell who was born in 1872, he himself was a British philosopher as well as mathematician, logician, historian, writer, and social critic. In this book, which was firstly published in 1945, Russell divided the philosophy chronologically into three parts: Ancient Philosophy, Catholic Philosophy and Modern Philosophy. This book is a widely read and influential philosophical history ...

Jesus Way Tak Segampang Busway

Jesus Way yang diartikan “cara Yesus” atau “jalan Yesus” tampaknya berupa jalan sempit dan sedikit orang menyukainya/memilihnya. Ini pernah dikatakan oleh Yesus sendiri: “ Karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya .” (Matius 7:14). Semua orang, atau sebagian besar orang, memilih jalan lebar tanpa hambatan agar sebisa mungkin lebih cepat sampai tujuan. Jalan sempit hanya memperlama waktu, tidak efektif, dan tidak sesuai tuntutan zaman yang serba cepat dan instan. Sebenarnya jalan sempit tidak apa-apa asalkan lancar. Ternyata tidak. Jesus way bukan seperti jalur khusus bus atau busway di Jakarta. Busway – walaupun sempit, hanya pas untuk satu bus – memberikan privilege karena dikhususkan untuk bus tanpa ada hambatan apapun. Ikut melaju di busway enak sekali, diprioritaskan, tidak ikut ngantri bermacet-macetan di jalan. Jesus way tidak seperti busway . Dulu ada kisah seorang anak muda yang kaya raya, yang sedang mencar...