Skip to main content

Hanya Satu Yang Kembali


Pra-Paskah 2019 - hari#28

Desa di perbatasan Samaria dan Galilea itu begitu terpencil. Di sanalah sepuluh orang kusta itu hidup dalam kesepian dan tak punya harapan. Mereka harus tetap disana, dilarang bergaul dengan manusia, terkucil, dan digerogoti kusta yang tak berhenti memakan tubuh mereka. Sampai suatu hari ada kabar sampai di telinga mereka, bahwa Yesus akan lewat. Tetapi kapan?

Akhirnya hari yang dinantikan itu tiba. Kesepuluh orang kusta itu nekat keluar ke jalanan. Ketika Yesus dan rombongannya lewat, dari jauh mereka berseru: "Yesus! Kasihanilah kami!"

Yesus memperlambat langkah-Nya, "Perlihatkanlah dirimu kepada imam!" Hanya itu perintah-Nya, sebuah perintah yang aneh. Harusnya mereka ada tanda-tanda sembuh (tahir) dulu, baru datang kepada imam untuk diperiksa, sebab hanya imamlah yang berwenang untuk "mengesahkan" kesembuhan seorang kusta.

Mereka pun saling berpandangan, yang satu berbisik kepada sebelahnya. "Mengapa Ia tak menjamah kita terlebih dulu?" Tapi mereka taat. Mereka pergi dalam keadaan masih najis. Tak ada ruginya pergi kepada imam. Paling-paling kena damprat seandainya kusta itu masih sangat jelas terlihat. Tak masalah, mereka sudah biasa diusir orang.

Ajaib. Sementara mereka berjalan, kusta yang menjijikkan itu lenyap, kulit mereka berubah selembut kulit bayi. Mereka saling berpelukan. Ada yang menangis haru, ada yang melompat girang.

Tetapi, di sela tangis bercampur tawa itu, salah seorang berkata kepada yang sembilan, "Kita harus mengejar Yesus ke arah Yerusalem." Tetapi mereka menggeleng, "Ngapain lagi? Kita sudah sembuh." Lalu mereka lari berpencaran menuju rumah masing-masing.

Tetapi yang satu itu berbalik. Ia mengejar Yesus lalu tersungkur di kaki-Nya. Dengan tangis haru ia mengucapkan terimakasih, lalu mencium kaki-Nya sehormat-hormatnya. Yesus memandangnya kagum. "Hanya satu orang inikah yang kembali? Dimana yang sembilan lainnya?" tanya-Nya heran. "Pulanglah, imanmu telah menyelamatkanmu," kata Yesus kepadanya.

Betapa cuma sedikit, satu dari sepuluh, yang mencari dan menemukan hal terpenting dalam kehidupan.

***
Serpong, 6 Apr 2019
Titus J.

Comments

Popular posts from this blog

Eisenhower, The Top Figure Army General, The Modest President

This is a portrait of Dwight D. Eisenhower, a young dreamer, charting a course from Abilene, Kansas, to West Point and beyond. Before becoming the 34th president (two terms from 1953 to 1961), Ike –as he was called–  was a five-star general in the U.S. Army during World War II and served as Supreme Commander of the Allied Expeditionary Force in Europe. This book reveals the journey of the man who worked with incredible subtlety to move events in the direction he wished them to go. In both war and peace, he gave the world confidence in American leadership. In the war period, Ike commanded the largest multinational force ever assembled to fight German troops in leading the Western powers to victory.  During his presidency, he ended a three-year war in Korea with honor and dignity. Not a single American died in combat for the next eight years. He resisted calls for preventive war against the Soviet Union and China, faced down Khruschev over Berlin, and restored stability in Leban...

Bertrand Russell Critical Analysis on Western Philosophy

“Philosophy is something intermediate between theology and science,” said Bertrand Russell. Theology and science occupy their own territory. All definite knowledge belongs to science, all dogma as to what surpasses definite knowledge belongs to theology. Between theology and science there is No Man’s Land, exposed to attack from both sides. For that the philosophy is present. The No Man’s Land is philosophy. Then he added, “Philosophical conceptions are a product of two factors: one, inherited religious and ethical conceptions; the other, the sort of investigation which may be called ‘scientific’.” Bertrand Russell who was born in 1872, he himself was a British philosopher as well as mathematician, logician, historian, writer, and social critic. In this book, which was firstly published in 1945, Russell divided the philosophy chronologically into three parts: Ancient Philosophy, Catholic Philosophy and Modern Philosophy. This book is a widely read and influential philosophical history ...

Jesus Way Tak Segampang Busway

Jesus Way yang diartikan “cara Yesus” atau “jalan Yesus” tampaknya berupa jalan sempit dan sedikit orang menyukainya/memilihnya. Ini pernah dikatakan oleh Yesus sendiri: “ Karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya .” (Matius 7:14). Semua orang, atau sebagian besar orang, memilih jalan lebar tanpa hambatan agar sebisa mungkin lebih cepat sampai tujuan. Jalan sempit hanya memperlama waktu, tidak efektif, dan tidak sesuai tuntutan zaman yang serba cepat dan instan. Sebenarnya jalan sempit tidak apa-apa asalkan lancar. Ternyata tidak. Jesus way bukan seperti jalur khusus bus atau busway di Jakarta. Busway – walaupun sempit, hanya pas untuk satu bus – memberikan privilege karena dikhususkan untuk bus tanpa ada hambatan apapun. Ikut melaju di busway enak sekali, diprioritaskan, tidak ikut ngantri bermacet-macetan di jalan. Jesus way tidak seperti busway . Dulu ada kisah seorang anak muda yang kaya raya, yang sedang mencar...