Skip to main content

Ia Tak Bisa Ditiru

Bersikap natural atau apa adanya ternyata tidak gampang. Tidak semua orang bisa, karena ia muncul dengan sendirinya dari dalam, tanpa settingan.

Jokowi itu natural. Ia apa adanya, mulai dari cara bicaranya sampai cara bertindaknya. Jika kita melihatnya tanpa kebencian, kita akan rela mengakui hal itu. Seorang Jokowi bukanlah sosok yang suka berpura-pura.

Dulu pada waktu ia masih walikota Solo, dalam satu talkshow di salah satu radio swasta, host-nya berkomentar, "Pak Jokowi, wajah Bapak sangat sederhana," lalu berderai-derailah tawa keduanya. Saya juga ngakak, sebab yang dimaksud host radio soal wajah Pak Jokowi yang sederhana itu sebenarnya adalah "sederhana".

Yang lebih mengesankan dari naturalnya Jokowi itu adalah gaya hidupnya. Setelah menjabat Presiden, ia tidak lantas berubah menjadi raja yang menuntut orang membungkuk-bungkuk menghormatinya. Ia tidak minta dilayani dengan khusus, tidak minta diistimewakan. Memang ia harus mengikuti protokoler kepresidenan yang acap kali membelenggunya. Tapi ia sudah banyak memutus rantai dan memperpendek pagar.

Mungkin bagi Jokowi, Presiden cuma jabatan yang sementara, sedangkan dirinya tetaplah manusia yang tidak perlu berubah karena sebuah jabatan. Orang bisa mencolek pundaknya ketika ia mengendarai 'moge' saat konvoi di Sukabumi. Ia juga makan soto di warung, ngopi di kedai pinggir jalan, jajan gorengan di pasar tradisional, naik KRL, ngobrol dengan anak-anak muda, ngevlog.

Jokowi tidak pernah jaim. Walaupun kelihatan 'klemar-klemer', tapi kerjanya "gila". Makanya kemana-mana ia suka pakai jeans dan sneakers, untuk menunjukkan bahwa ia memang orang lapangan, orang yang turun ke bawah, tidak hanya duduk di kantor dan menunggu laporan.

Itulah sebabnya kemanapun Jokowi berkunjung, orang merubungnya, memanggilnya, menyalaminya, mengajaknya selfie. Karena naturalnya itu, para pembencinya geram. Mereka geram karena cemburu. Mereka cemburu karena tidak bisa menjadi natural. Ini yang tidak bisa ditiru.

Enak sekali menjadi natural, apa adanya, sebab berpura-pura itu capek. Wajah yang "sederhana" juga anugerah Tuhan, tidak perlu bingung operasi plastik.

***
Serpong, 14 Mar 2019
Titus J.

Comments

Popular posts from this blog

Eisenhower, The Top Figure Army General, The Modest President

This is a portrait of Dwight D. Eisenhower, a young dreamer, charting a course from Abilene, Kansas, to West Point and beyond. Before becoming the 34th president (two terms from 1953 to 1961), Ike –as he was called–  was a five-star general in the U.S. Army during World War II and served as Supreme Commander of the Allied Expeditionary Force in Europe. This book reveals the journey of the man who worked with incredible subtlety to move events in the direction he wished them to go. In both war and peace, he gave the world confidence in American leadership. In the war period, Ike commanded the largest multinational force ever assembled to fight German troops in leading the Western powers to victory.  During his presidency, he ended a three-year war in Korea with honor and dignity. Not a single American died in combat for the next eight years. He resisted calls for preventive war against the Soviet Union and China, faced down Khruschev over Berlin, and restored stability in Leban...

Bertrand Russell Critical Analysis on Western Philosophy

“Philosophy is something intermediate between theology and science,” said Bertrand Russell. Theology and science occupy their own territory. All definite knowledge belongs to science, all dogma as to what surpasses definite knowledge belongs to theology. Between theology and science there is No Man’s Land, exposed to attack from both sides. For that the philosophy is present. The No Man’s Land is philosophy. Then he added, “Philosophical conceptions are a product of two factors: one, inherited religious and ethical conceptions; the other, the sort of investigation which may be called ‘scientific’.” Bertrand Russell who was born in 1872, he himself was a British philosopher as well as mathematician, logician, historian, writer, and social critic. In this book, which was firstly published in 1945, Russell divided the philosophy chronologically into three parts: Ancient Philosophy, Catholic Philosophy and Modern Philosophy. This book is a widely read and influential philosophical history ...

Jesus Way Tak Segampang Busway

Jesus Way yang diartikan “cara Yesus” atau “jalan Yesus” tampaknya berupa jalan sempit dan sedikit orang menyukainya/memilihnya. Ini pernah dikatakan oleh Yesus sendiri: “ Karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya .” (Matius 7:14). Semua orang, atau sebagian besar orang, memilih jalan lebar tanpa hambatan agar sebisa mungkin lebih cepat sampai tujuan. Jalan sempit hanya memperlama waktu, tidak efektif, dan tidak sesuai tuntutan zaman yang serba cepat dan instan. Sebenarnya jalan sempit tidak apa-apa asalkan lancar. Ternyata tidak. Jesus way bukan seperti jalur khusus bus atau busway di Jakarta. Busway – walaupun sempit, hanya pas untuk satu bus – memberikan privilege karena dikhususkan untuk bus tanpa ada hambatan apapun. Ikut melaju di busway enak sekali, diprioritaskan, tidak ikut ngantri bermacet-macetan di jalan. Jesus way tidak seperti busway . Dulu ada kisah seorang anak muda yang kaya raya, yang sedang mencar...