Skip to main content

Dia sudah tersalib di Getsemani


--Renungan Jumat Agung--
Pergumulan terberat Yesus Kristus sebenarnya bukan di Golgota, tetapi di taman Getsemani. Di Getsemani itulah kita melihat potret seorang manusia sejati yang memiliki segala rasa seutuhnya sebagaimana kita, manusia dengan darah dan daging ini.
Di Getsemani itu jiwa yang tertekan di ambang kekejaman salib didemonstrasikan apa adanya, sejujurnya, dan sewajar-wajarnya.
Banyak dari kita yang sebenarnya tidak rela Yesus mempertontonkan adegan di Getsemani itu, karena hal itu menjadi sebuah titik balik dari kehebatan-Nya yang selama 3,5 tahun ditunjukkan-Nya. Ia memerintahkan badai dan angin ribut untuk diam dan tenang, dan angin ribut itu taat. Ia memerintahkan gerombolan setan yang bernama Legion itu keluar dari seorang yang kerasukan di Gadara, dan kawanan setan itu lari terbirit-birit masuk jurang bersama duaribuan kawanan babi. Ia memanggil Lazarus yang sudah empat hari terkubur dan Lazarus pun hidup dan keluar dari kuburan. Ia berulang kali mengatakan kepada murid-muridNya bahwa Ia datang ke dunia untuk menyelesaikan pekerjaan yang diberikan oleh Bapa-Nya. Dan untuk menyelesaikan tugas itu, hanya ada satu jalan, yaitu jalan salib.
Ia dengan segenap hati sadar akan panggilan dan tugas-Nya.
Tetapi di Getsemani itu Yesus seolah kehilangan keperkasaan-Nya dan berubah menjadi Seorang yang lemah tak berdaya dan penakut. Kita seperti tidak mau mendengar Ia mengucapkan sebuah keluhan, “Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya.” Tak cuma itu, Ia kemudian harus mengucapkan sebuah doa yang sama sekali tidak menggambarkan Seorang yang pemberani menghadapi saat paling kritis dalam hidup. “Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu, ambillah cawan ini daripada-Ku,” ucap-Nya.
Ia memohon, wholeheartedly begging, kepada Yang Maha Menentukan Segalanya: “Bapa, seandainya mungkin ada sebuah jalan yang lain.”
Bagaimana mungkin Yesus yang kita kagumi mencoba menghindari komitmen-Nya sendiri? Bagaimana mungkin Ia mengucapkan doa kepada Bapa-Nya dengan permohonan yang sudah Ia ketahui tak bakal dikabulkan? Cawan penderitaan yang berisi dosa seisi dunia itu sudah tersedia di hadapan-Nya, dan perintah Bapa cuma satu kata: “Minum!”
Apakah Ia hanya bersandiwara saja?
Tidak. Saat itu ia benar-benar tercekam oleh rasa gentar karena Ia tahu benar apa yang bakal terjadi atas diri-Nya. Kita tidak bisa mengingkari dimensi kemanusiaan-Nya yang melekat pada diri-Nya, walaupun kita percaya bahwa Ia datang dari Surga, bahwa Ia datang dari Bapa.
Ia datang dari Bapa, dan Bapa memanggil-Nya: “Anak-Ku yang Kukasihi”. Ia adalah Firman Allah – sebagaimana ditulis pada Injil Yohanes 1:1. Sebutan apa yang lebih tepat untuk menggambarkan diri-Nya selain sebagai Anak Allah karena Ia adalah Firman Allah yang berinkarnasi menjadi manusia? Ia, ketika wewujud manusia, adalah sungguh-sungguh manusia utuh yang memiliki perasaan sebagaimana manusia pada umumnya. Kala itu, Ia adalah manusia seperti kita, hanya bedanya, Ia tidak berbuat dosa dan tidak bisa berbuat dosa. Tidak mungkin Ia mengatakan kepada orang berdosa: “Dosamu sudah diampuni” jika Ia sendiri adalah seorang pendosa.
Maka di Getsemani itu Ia menghadapi pergumulan yang maha berat, karena Ia – Anak Allah yang berkuasa – harus menanggalkan kuasa-Nya dan menjadi seperti anak domba yang siap disembelih sebagai kurban. Ia sengaja merelakan untuk tidak menggunakan kuasa-Nya. Ketika Ia ditangkap oleh prajurit Romawi, murid yang sedang bersama-Nya tiba-tiba menghunus pedang, tetapi Ia berkata, “Masukkan pedangmu. Sangkamu Aku tak dapat meminta kepada Bapa-Ku untuk mengirimkan duabelas pasukan malaikat untuk membantu Aku?” Dengan kata lain Ia seolah ingin mengatakan, “Tahukah kau bahwa jalan untuk menyelesaikan tugas dari Bapa memang hanya ini? Bapa-Ku tak bersedia memberikan jalan alternatif.”
Getsemani adalah tempat pergumulan batin Yesus Kristus. Injil Lukas menulis di situlah Ia meneteskan peluh seperti titik-titik darah. Di situlah hati-Nya yang suci itu tercabik dan terpaku. Ia merasa begitu sendiiri. Ia merasa dibiarkan. Ia sudah berusaha meminta kepada ketiga murid-Nya untuk menemani-Nya di saat yang mencekam, tetapi kenyataannya mereka tertidur lelap. Sampai tiga kali Ia mengucapkan doa yang sama: “Father… if possible..” Tetapi Bapa-Nya membisu, tak menjawab sama sekali selain menunjukkan sebuah cawan sebagai jawaban tanpa kata-kata.
Adakah yang lebih menyiksa batin seseorang yang harusnya punya kuasa tetapi dalam suatu situasi justru tidak bisa menggunakan kuasa-Nya? Yesus memilih mengosongkan diri-Nya secara total padahal Ia memiliki segala kepenuhan Allah. Kesadaran inilah yang membuat-Nya melanjutkan doa-Nya, “Tetapi jangan kehendak-Ku yang jadi, melainkan kehendak-Mu ya Bapa.”
Ia akhirnya memilih untuk taat, walaupun konsekuensinya Ia harus mati. Ia bisa saja memilih pulang ke Surga saat itu daripada melangkah ke Golgota, tetapi kasih-Nya kepada para pendosa lebih kuat menarik-Nya untuk menjalani via dolorosa. Max Lucado mengatakan, “He saw you in your own Gethsemane and He didn't want you to be alone. He would rather go to hell for you than to heaven without you.”
Pergumulan-Nya di Getsemani dan kegentaran yang ditunjukkan-Nya dengan jujur bukanlah ketakutan menghadapi cambukan tentara Romawi yang merobek daging-Nya, bukanlah ketakutan terhadap paku yang akan menembus tangan dan kaki-Nya, dan bukan pula ketakutan terhadap tombak yang bakal menancap di lambung-Nya. Ia sudah tahu semua itu jauh-jauh hari sebelum Ia dihadirkan ke dalam dunia. Tetapi kesedihan dan ketakutan-Nya disebabkan oleh keterpisahan diri-Nya dengan Bapa yang mengasihi-Nya. Dari sinilah kita mengerti situasi batin-Nya ketika Ia mengatakan: “Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya.”
“Eloi… Eloi… Lama Sabakhtani..?” adalah seruan yang memilukan dari seorang Anak yang direnggut secara paksa dari pangkuan Bapa-Nya. Seruan itu berkumandang nyaring di langit kosong karena Bapa-Nya tak sanggup melihat dosa keji seluruh dunia ditimpakan kepada-Nya.
Keterpisahan-Nya dengan Bapa-Nya sudah terjadi di Getsemani, ketika doa-Nya kepada Bapa-Nya berlalu ditelan sepi.

Gethsemane is where He died; the cross is only the evidence --Leonard Ravenhill

***

Serpong, 25 Mar 2018
Titus J.

Comments

Doyan Main said…
Permainan Poker Paling Seru Bersama Winning303...
Menghadirkan IG poker & IDN poker ....

Dengan 1 User ID, Sudah Dapat Bermain 8 Games Kartu Populer :
1. Texas Poker
2. Omaha Poker
3. Domino QQ
4. Ceme Keliling
5. Bandar Ceme
6. Capsa Susun
7. Bandar Capsa
8. BIG 2

Bonus New Member Slot 15%
Bonus New Member Poker 10%
Bonus New Member Sabung Ayam 10%
Bonus New Member Sportsbook & Live Casino 20%
Bonus Deposit 10% Setiap Hari
Bonus Deposit 10% Slot Setiap Hari
Bonus Deposit Sabung Ayam 5%
Bonus Cashback 5-10%
Bonus 100% 7x Kemenangan Beruntun Sabung Ayam
Diskon Togel Hingga 65%
Bonus Rollingan Slot 1%
Bonus Rollingan Poker dan Live Casino 0.5%

Tunggu Apa Lagi, Ayok Segera Daftarkan Diri Anda Bersama Kami Di Winning303
Dapatkan juga berbagai macam Bonus menarik dalam bermain Poker bersama kami.

Informasi Lebih Lanjut, Silakan Hubungi Kami Di :
- WA : +6287785425244

Popular posts from this blog

Eisenhower, The Top Figure Army General, The Modest President

This is a portrait of Dwight D. Eisenhower, a young dreamer, charting a course from Abilene, Kansas, to West Point and beyond. Before becoming the 34th president (two terms from 1953 to 1961), Ike –as he was called–  was a five-star general in the U.S. Army during World War II and served as Supreme Commander of the Allied Expeditionary Force in Europe. This book reveals the journey of the man who worked with incredible subtlety to move events in the direction he wished them to go. In both war and peace, he gave the world confidence in American leadership. In the war period, Ike commanded the largest multinational force ever assembled to fight German troops in leading the Western powers to victory.  During his presidency, he ended a three-year war in Korea with honor and dignity. Not a single American died in combat for the next eight years. He resisted calls for preventive war against the Soviet Union and China, faced down Khruschev over Berlin, and restored stability in Leban...

Bertrand Russell Critical Analysis on Western Philosophy

“Philosophy is something intermediate between theology and science,” said Bertrand Russell. Theology and science occupy their own territory. All definite knowledge belongs to science, all dogma as to what surpasses definite knowledge belongs to theology. Between theology and science there is No Man’s Land, exposed to attack from both sides. For that the philosophy is present. The No Man’s Land is philosophy. Then he added, “Philosophical conceptions are a product of two factors: one, inherited religious and ethical conceptions; the other, the sort of investigation which may be called ‘scientific’.” Bertrand Russell who was born in 1872, he himself was a British philosopher as well as mathematician, logician, historian, writer, and social critic. In this book, which was firstly published in 1945, Russell divided the philosophy chronologically into three parts: Ancient Philosophy, Catholic Philosophy and Modern Philosophy. This book is a widely read and influential philosophical history ...

Jesus Way Tak Segampang Busway

Jesus Way yang diartikan “cara Yesus” atau “jalan Yesus” tampaknya berupa jalan sempit dan sedikit orang menyukainya/memilihnya. Ini pernah dikatakan oleh Yesus sendiri: “ Karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya .” (Matius 7:14). Semua orang, atau sebagian besar orang, memilih jalan lebar tanpa hambatan agar sebisa mungkin lebih cepat sampai tujuan. Jalan sempit hanya memperlama waktu, tidak efektif, dan tidak sesuai tuntutan zaman yang serba cepat dan instan. Sebenarnya jalan sempit tidak apa-apa asalkan lancar. Ternyata tidak. Jesus way bukan seperti jalur khusus bus atau busway di Jakarta. Busway – walaupun sempit, hanya pas untuk satu bus – memberikan privilege karena dikhususkan untuk bus tanpa ada hambatan apapun. Ikut melaju di busway enak sekali, diprioritaskan, tidak ikut ngantri bermacet-macetan di jalan. Jesus way tidak seperti busway . Dulu ada kisah seorang anak muda yang kaya raya, yang sedang mencar...