Skip to main content

Lagu Terakhir di Atlantik

Entah apa yang ada di benak Wallace Henry Hartley ketika ia memainkan lagu “Nearer, My God, to Thee” dengan gesekan biolanya yang menyayat hati di tengah malam yang dingin tanggal 15 April 1912. Peristiwia itu sudah terjadi lebih dari 100 tahun yang lalu, namun namanya tak pernah tidak disebut setiap kali orang membicarakan tenggelamnya kapal Titanic.

Ia adalah pemimpin band yang sehari-hari bertugas menghibur para penumpang first class di kapal mewah itu. Selain itu, tugasnya adalah memainkan musik di waktu dinner, setelah dinner dan di kebaktian hari Minggu selama Titanic berlayar mengarungi samudera dari Southampton, Inggris ke New York, Amerika.

Hartley, yang waktu itu berumur 33 tahun, adalah seorang Kristen Methodist yang taat. Di masa kecilnya ia adalah anggota paduan suara anak-anak di gerejanya. Ia dikirim oleh ayahnya untuk belajar musik di George Street School, Colne, Inggris dan memperdalam biola. Karirnya sebagai pemain biola membawanya dari satu kapal pesiar ke kapal pesiar lainnya sampai akhirnya ia diterima menjadi bandmaster di kapal mewah Titanic. Ketika ia akan memulai pelayarannya, ia pamit dan mengucapkan salam perpisahan kepada tunangannya, Maria Robinson.

Ia tak tahu bahwa hari itu benar-benar pertemuannya yang terakhir dengan tunangannya. Karena, 4 hari setelah Titanic berlayar dengan anggun, hari Minggu tanggal 14 April 1912 jam 23:40, Titanic menabrak gunung es (iceberg) di samudera Atlantik. Gunung es itu merobek lambung kapal dan menyebabkan 5 kompartemen di kapal itu bocor dan mulai terisi air. Betapa malangnya, sebab Titanic didisain untuk tetap bisa bertahan mengapung walaupun 4 kompartemen terisi air. Seandainya lambung kapal yang robek itu tidak menerus ke kompartemen ke-5, Titanic tak bakal tenggelam. (kompartemen adalah ruang-ruang yang disekat-sekat di bagian bawah kapal dengan tujuan agar jika terjadi kebocoran dari badan kapal, maka air laut yang masuk akan dilokalisir dalam kompartemen yang berada tepat di bagian yang bocor itu sehingga kapal tetap mengapung sementara kebocoran bisa diperbaiki/ditambal).
Kebocoran 5 kompartemen itu begitu cepat menyedot air laut untuk masuk, dan hanya dalam waktu 45 menit, lambung kapal itu telah terisi sekitar 13.000 ton air yang tak sanggup diatasi oleh pompa-pompa kapal yang kapasitasnya hanya 1.700 ton per jam. Ketika kapal sudah mulai miring, nahkoda kapal Kapten Edward Smith tahu benar bahwa Titanic tak mungkin tertolong.
Pelan tapi pasti, air menggenangi ruang demi ruang. Semua penumpang panik dan berlari menuju sekoci, lalu saling berebut. Dapatkah kita membayangkan suasana pada malam itu? Sebanyak 2.229 penumpang berlarian menghindari air yang bergerak pelahan mengepung mereka. Dinginnya samudera Atlantik seakan menjadi hangat oleh tangis dan jerit ketakutan serta teriak orang-orang yang saling berebut untuk mencari selamat sendiri-sendiri.
 
Dalam situasi genting itu, Wallace Hartley, dengan 7 orang anggota band-nya, datang ke First Class Lounge lalu memainkan musik untuk menenangkan penumpang yang panik. Ketika keadaan semakin memburuk, Hartley dan anggotanya menuju ke geladak dan kembali memainkan musiknya. “Aku dengar mereka terus memainkan lagu-lagu sementara semua orang berlarian untuk menyelamatkan diri,” kata salah seorang yang selamat.
Survivor yang lain, Mrs. John Murray Brown, menyaksikan bahwa mereka seakan tidak peduli ketika air semakin menggenang dan merayap naik sampai ke lutut mereka. “The band played marching from deck to deck, and as the ship went under I could still hear the music," kata Mrs. Brown.

Entah apa yang ada di benak Hartley. Ia tidak berpikir untuk menyelamatkan diri. Mungkin hatinya pilu menyaksikan orang-orang, terutama wanita dan anak-anak, juga orang-orang tua, tak bisa berbuat apa-apa selain menangis. Sebagai musisi, Hartley tak mengerti tata-cara dan aturan keselamatan di laut. Ia bukan Pendeta yang bisa berkhotbah, dan dalam situasi seperti itu, barangkali khotbah juga tak mampu menundukkan kepanikan. Hartley hanya bisa bermain musik dan ia ingin berbuat sesuatu untuk menenangkan mereka. Maka ketika sudah banyak lagu ia mainkan, ia lalu menggesek biolanya dan memainkan “Nearer, my God, to Thee”.
Nearer, my God to Thee, nearer to Thee.
E'en though it be a cross, that raise me,
Still all my song shall be.
Nearer, my God, to Thee,
Nearer, my God, to Thee,
Nearer to Thee
Kita tak pernah tahu mengapa ia memilih lagu itu. Udara Atlantik begitu dingin menusuk di tengah malam itu ketika ia melihat masih begitu banyak penumpang belum terangkut sekoci sementara air semakin meninggi dan Titanic semakin miring.
Hartley benar-benar tak memikirkan dirinya. Yang dipikirkannya adalah bagaimana membuat orang-orang itu tenang. Betapa saya kagum kepada Hartley, kagum atas ketiadaan selfishness pada dirinya. Ia hanya seorang pemain biola, tetapi egonya ia tanggalkan untuk sebuah pengorbanan. Dalam keadaan paling sulit, bukankah biasanya yang akan nampak terlebih dahulu dari seseorang adalah selfishness? Selfishness memang tidak menjahati orang dengan menyerang atau membunuh, tetapi selfishness sama jahatnya dengan kejahatan lain karena di dalamnya terkandung perasaan mau menang sendiri, tidak peduli nasib orang lain bahkan tega melihat orang lain celaka asal dirinya tidak.
Tanpa sadar, sikap selfishness ini yang sering mewarnai pola hidup kita sehari-hari, bukan? Ketika kita di jalanan waktu berkendara, ketika kita di kantor, di rumah, bahkan di gereja, kita sering lupa ada orang lain yang layak untuk kita dahulukan. Apakah kita tidak mau tahu barangkali kepentingan orang lain lebih urgent daripada kepentingan kita? Kita selalu merasa kepentingan kita yang lebih urgent sehingga ingin dilayani lebih dulu dan ingin menjadi yang pertama tanpa mau mengalah. Tidakkah kita mau mengerem keinginan kita sedikit saja dan mempersilakan orang lain untuk mengambil bagian kita karena mungkin ia lebih membutuhkan daripada kita saat ini?
Andaikan hidup ini kita jalani dengan sikap saling mendahulukan orang lain, mungkin dunia akan berputar sedikit melambat dan bergerak sedikit lebih relaks. Dunia kita saat ini begitu terburu-buru karena kita terus menginjak pedal gas akibat segala sesuatu kita anggap urgent dan kritis.
Sekitar jam 2 tengah malam, ketika air laut semakin bergelora menguasai semua ruangan, dan ketika sudah tak memungkinkan lagi memainkan musik, Hartley menghentikan lagunya. Itulah lagu terakhir di samudera Atlantik malam itu, yang menjadi saksi tentang seorang anak manusia yang rela mengorbankan dirinya untuk orang lain. Sesudah Hartley mengemasi biolanya dan memasukkannya ke dalam leather case, ia dan anggota band-nya membubarkan diri. Sayup-sayup terdengar Hartley berucap pelahan: “Gentlemen…I bid you farewell..” Lalu ia dan teman-temannya menghilang di kerumunan.
Dan Titanic yang naas itu terbelah menjadi 2 bagian, kemudian pelahan tenggelam ke kedalaman samudera Atlantik membawa lebih dari 1500 penumpang yang tak kebagian sekoci. Waktu itu jam 2.20 tengah malam.
Tubuh Hartley ditemukan oleh tim pencari tanggal 4 Mei 1912, masih berpakaian seragam band-nya, lengkap dengan sepatu hitam dan kaos kaki hijau. Sekitar 30.000 pelayat memadati Chapel tempat jenasahnya dibaringkan hingga ke pemakaman. Di situlah paduan suara kembali menyanyikan “Nearer, my God, to Thee” dalam kesyahduan untuk mengenangnya.
There in my Father's home, safe and at rest,
There in my Saviour's love, perfectly blest,
Age after age to be,
Nearer, my God, to Thee,
Nearer, my God, to Thee,
Nearer to Thee
Dan 100 tahun berlalu begitu cepat…
Pada tanggal 19 Oktober 2013, dalam sebuah lelang di Inggris, biola milik Hartley yang ditemukan berdekatan dengan mayatnya yang terapung di samudera Atlantik, laku seharga 1.46 juta Dollar atau lebih dari 16 milyar Rupiah.
Nilai fantastis itu tentu bukan hanya karena biola kuno itu sudah berumur lebih dari 100 tahun, tetapi karena biola itu menyimpan kisah luar biasa yang ditorehkan oleh pemiliknya: W.H.H (Wallace Henry Hartley) – A man with no selfishness.
*) Lagu “Nearer, my God, to Thee” diciptakan oleh Sarah Flower Adams (1805 – 1848). Lagu ini ada di buku KPPK no. 405.
***
Serpong, Nov 2013
Titus J.

Comments

Popular posts from this blog

Eisenhower, The Top Figure Army General, The Modest President

This is a portrait of Dwight D. Eisenhower, a young dreamer, charting a course from Abilene, Kansas, to West Point and beyond. Before becoming the 34th president (two terms from 1953 to 1961), Ike –as he was called–  was a five-star general in the U.S. Army during World War II and served as Supreme Commander of the Allied Expeditionary Force in Europe. This book reveals the journey of the man who worked with incredible subtlety to move events in the direction he wished them to go. In both war and peace, he gave the world confidence in American leadership. In the war period, Ike commanded the largest multinational force ever assembled to fight German troops in leading the Western powers to victory.  During his presidency, he ended a three-year war in Korea with honor and dignity. Not a single American died in combat for the next eight years. He resisted calls for preventive war against the Soviet Union and China, faced down Khruschev over Berlin, and restored stability in Leban...

Bertrand Russell Critical Analysis on Western Philosophy

“Philosophy is something intermediate between theology and science,” said Bertrand Russell. Theology and science occupy their own territory. All definite knowledge belongs to science, all dogma as to what surpasses definite knowledge belongs to theology. Between theology and science there is No Man’s Land, exposed to attack from both sides. For that the philosophy is present. The No Man’s Land is philosophy. Then he added, “Philosophical conceptions are a product of two factors: one, inherited religious and ethical conceptions; the other, the sort of investigation which may be called ‘scientific’.” Bertrand Russell who was born in 1872, he himself was a British philosopher as well as mathematician, logician, historian, writer, and social critic. In this book, which was firstly published in 1945, Russell divided the philosophy chronologically into three parts: Ancient Philosophy, Catholic Philosophy and Modern Philosophy. This book is a widely read and influential philosophical history ...

Jesus Way Tak Segampang Busway

Jesus Way yang diartikan “cara Yesus” atau “jalan Yesus” tampaknya berupa jalan sempit dan sedikit orang menyukainya/memilihnya. Ini pernah dikatakan oleh Yesus sendiri: “ Karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya .” (Matius 7:14). Semua orang, atau sebagian besar orang, memilih jalan lebar tanpa hambatan agar sebisa mungkin lebih cepat sampai tujuan. Jalan sempit hanya memperlama waktu, tidak efektif, dan tidak sesuai tuntutan zaman yang serba cepat dan instan. Sebenarnya jalan sempit tidak apa-apa asalkan lancar. Ternyata tidak. Jesus way bukan seperti jalur khusus bus atau busway di Jakarta. Busway – walaupun sempit, hanya pas untuk satu bus – memberikan privilege karena dikhususkan untuk bus tanpa ada hambatan apapun. Ikut melaju di busway enak sekali, diprioritaskan, tidak ikut ngantri bermacet-macetan di jalan. Jesus way tidak seperti busway . Dulu ada kisah seorang anak muda yang kaya raya, yang sedang mencar...